Tuesday, June 26, 2007

Mengenang Kesedihan

Kesedihan adalah bagaikan beling yang menancap di tulang usia kita. Caranya muncul begitu misterius bahkan tanpa firasat, lalu menghancurkan begitu saja segala hal yang kokoh untuk tunduk pada kuasa bumi, luruh jadi debu begitu saja. Tak ada lagi tenaga tersisa, tak ada lagi suara yang mampu menembus udara. Semua menyerah takluk pada kuasa mengasihani diri yang parah. Amat parah. Rasa perih membenamkan cahaya alam fikiran, membunuhi setiap jentik harapan yang baru muncul dari balik tanah. Sebuah harapan yang menjajikan buah dari pohon kecil yang semula kecambah, untuk melunasi tugas kehidupan. Dan kesedihan telah membantainya jauh sebelum biji diciptakan.

Mengenang kesedihan jadinya seperti menonton cerita sinetron secara berulang ulang, sampai kita memiliki adegan adegan favorit yang kita anggap sebagai pencerminan atas pribadi kita sebagai penonton kehidupan yang kita pertunjukkan sendiri. Rasa mengasihani diri mengandung sebuah drama yang kaya akan penciptaan rasa. Seorang pujangga besar sering terlahir dari kepiawaian si pujangga dalam mengekspresikan dramatisasi penderitaan bathin. Bathin yang menderita kesedihan! Dan sedih karena ketidak adilan, sedih karena tidak bisa mencegah kebathilan disekelilingnya. Dan sedih karena tidak berdaya melepaskan diri cengkeraman celaka itu. Pramoedya dengan luar biasanya mendramatisir kesedihan sendiri menjadi karya tulis monumental yang sulit dicari tandingannya di zaman ini.

Bagi masa depan, kesedihan adalah cara mengenang kehidupan yang paling indah. Menyublimkan diri kita sendiri pada ketiadaan dan ketidak berdayaan, kecuali mengikuti arus hidup yang katanya sudah direkam jauh hari sebelumnya, sebelum kita ada dimuka bumi dan menjadi manusia. Duka yang mendalam terkadang terasa bagai palu godam yang mengingatkan kepada nurani kita untuk lebih bijaksana. Menempatkan kita pada titik terendah level kehidupan sehingga kita tidak punya peluang seujung jarumpun untuk bersombong diri. Luluh lantak tak berharga, teraniya oleh rasa kalah sehingga satu satunya pilihan adalah menyerah. Ya, menyerah pasrah kepada bantingan dan belitan lawan, mengikuti arus tanpa perlawanan. Itulah makna kompromi. Berhenti melawan dan tetaplah bernafas. Dari nafaslah maka segala benih bisa ditumbuhkan, segala sakit bisa disembuhkan bahkan segala kesedihan akan menjadi sebuah kenangan yang indah.

Bathin sendirilah sebenarnya yang menciptakan dan kemudian mengundang para iblis untuk berpesta pora di ingatan setiap saatnya. Setiap detail kehidupan telah terjangkit oleh nafsu kesedihan dan hanya berhubungan dengan kesedihan berlipat ganda lagi. Seperti asap yang membekap paru paru kita tanpa kita bisa melawanya dengan tenaga. Seperti orang bodoh yang berkelahi dengan diri sendiri, tangan kanan melawan tangan kiri. Kesedihan itu bisa juga lucu, betapa dewasanya diri mengalir hanya mengikuti seutas hati. Menyaksikan kehancuran yang perlahan dengan cara yang amat memilikan; membiarkan diri menangis dipojokan dalam kegelapan. Dari kegelapan demi kegelapan yang panjang layaknya mulut sumur berwarna hitam, satu dua kata tersaring dari langit kejauhan, satu dua kata yang kemudian tertoreh jadi pengingat masa depan.

Menghayati kesedihan ibarat menikmati setiap set cerita dari diri sendiri, dan proses yang mengikuti sesudahnya, kemudian mundur ke penyebabnya dan selanjutnya selanjutnya hingga kembali berputar ke keadaan yang membedakan hari ini dan masa lalu. Seorang kuat yang pengalah jauh lebih mulia dan perkasa dari pada seorang kuat yang pemenang melawan si lemah. Sifat ksatria yang sejati barangkali adalah yang bisa mematikan kepentingan diri sendiri, dan mengabdikan diri untuk hidup bagi kehidupan lain kecuali dirinya sendiri. Tidak perlu pengakuan soal siapa si juara dan siapa si pecundang. Peperangan hanya melahirkan korban, dan peperangan bathin hanyalah kedua tangan kita yang berkelahi, saling melukai. Memperkenalkan rasa sakit terhadap sesama, pada saat sakit harus diderita sendiri.

Kehidupan diciptakan dengan penuh keindahan disana sini, disetiap detail dari inti hidup itu sendiri. Semuanya begitu sempurna untuk memuaskan kebutuhan dan kemauan kita, sebatas kempuan. Kegembiraan dan kesedihan sama sama hanyalah unsur unsur kecil dari hidup yang membuat kita menjadi kaya akan pengetahuan rasa. Yang kemudian menjadi pilar kokoh yang akan melindungi hati dari sedih yang serupa nanti. Jika kita tidak pernah merasakan sedih, maka kita belum pernah merasakan hidup. Dan jika sebagian dari kita sedang merasakan sedih, selamat menjalani kehidupan! Di kedalaman kesedihan, tersimpan keindahan yang tak terlukiskan hanya dengan tulisan ataupun kata kata.


Gempol, 070625