Thursday, December 08, 2005

Ketika Logika siuman dari pembiusan.


(kepada seorang istimewa, yang tengah dilanda peperangan)
Hari hari belakangan ini seperti hitungan mundur. Hajat besar dalam hidup yang amat pribadi itu mau tidak mau melibatkan segala unsur yang ada didalam alam bathin yang dikuasai dua kutub bertentangan; kubu tuan hati dan kubu tuan logika. Mereka adalah dua majikan yang mengendalikan emosi dan sikap. Dua duanya penguasa, hanya bergantian saja in charge dalam hidup. Tidak ada yang langgeng sebagai penguasa, terus bertentangan kadang dan saling kalah juga kadang saling menang.

Dua kubu itu memiliki pasukanya sendiri sendiri, andalanya sendiri sendiri, juga senjatanya sendiri sendiri. Kubu tuan hati memiliki pasukan bernama romantisme, kasih sayang dan ketenteraman dengan kehendak kebahagiaan sebagai senjatanya. Sedangkan kubu logika, memiliki pasukan bernama kepatutan, tenggang rasa, dan perhitungan matematis dengan pengalaman sebagai senjatanya. Keduanya sama sama hebat, sama sama kuat. Masing masing kubu ketika memenangkan pertempuran itu akan membawa dampak dan konskwensi yang berbeda beda. Manifestasi peperangan itu adalah munculnya perasaan ragu, bimbang, takut bahkan bingung.

Sudah jadi pengalaman bahwa mengikuti hati sepenuhnya dan membiarkan logika mati suri terlalu lama bisa berakibat fatal, bikin logika tak henti memaki dan memojokkan diri sendiri, menyalahkan tuan hati yang terlalu mengabaikan logika. Tetapi ada kalanya juga hati mendesis geram kepada logika yang terlalu penakut untuk menciptakan perbuatan seperti yang pernah disarankan hati. Penyesalan kerap datang dari hati karena logika yang terlalu bawel dan banyak berhitung, merintangi kemauan hati. Kontradiksi itu tercipta ketika nurani (baca: sifat baik manusia) menjadi ajang perebutan simpati antara hati dan logika.

Pada moment tertentu, dua kubupun bisa bekerja dalam harmoni, selaras saling mengisi dan melengkapi. Ialah ketika hal hal spontan terjadi, atau ketika kedua kubu memberi kontribusi seimbang dalam menentukan sikap. Idealnya begini; hati menginginkan sesuatu lalu logika setelah menghitung resiko dan menyimpulkan kemungkinan konskwensinya bisa ditolerir mengizinkan. Inilah yang disebut hidup harmoni, hidup suasana ideal. Kebahagiaan yang tidak berdampak pada beban moral oleh nurani, kalis dari kecemasan dan kekhawatiran macam macam.

Sayangnya hidup tidak selamanya berjalan ideal. Setiap masa punya catatan peristiwanya sendiri sendiri, dan setiap peristiwa terjadi karena keputusan yang diambil dan dibuat oleh hati maupun logika. Setiap peristiwa adalah konskwensi dari kemenangan hati maupun logika, dan sebenarnya itulah inti kehidupan setitik debu bernama manusia. Ya, hidup manusia sebenarnya hanya menjalani setiap keputusan yang pernah dibuat. Keyakinan yang terlalu kuat akan kebenaran tentang sesuatu terkadang terbukti salah apabila berakhir sebagai sesuatu yang dianggap kegagalan. Dan sebagai penghiburan diri sendiri, kegagalan itu disimpulkan sebagai kecelakaan, padahal kecelakaan selalu bisa diminimalisir atau dihindarkan jika memahami prinsip prinsip kejadian.

Hajat besar sang ego adalah juga perang besar ketika tuan logika mulai terusik dan siuman dari efek bius tuan hati yang bermain sekilit. Perang besar antara hati dan logika! Dimana mana, perang selalu melelahkan bahkan menyisakan kepedihan. Dua kubu punya kesempatan yang sama untuk menang juga untuk kalah.
Setelah perang usai, kita tinggal akan menjadi hamba sahaya dari siapapun yang memenangkan peperangan itu, entah hati entah logika, entah hina entah mulia…

Selepas hujan badai, kamar kost 7 Desember 2005, 2350.