dedicated to : MSC
Sungguh ada perasaan tertindas yang meronta ronta menuntut pembebasan ketika rasa keadilan menjadi sumir oleh karena sikap palsu, oleh karena subyektifitas atas pandangan yang dangkal. Tulisan ini tidak akan mengulas apa yang terjadi disana secara mendetail maupun menelaah point demi point untuk mencari titik kelemahan dan kesalahan melainkan merupakan ulasan singkat dari pandangan dari luar kotak ‘kesemestian’ yang memang dibudidayakan demikian baik dalam komunitas kita. Pembudidayaan itu sendiri dimulai dari pengkultusan individu, budaya cuci tangan dan tentu dramatisasi post power syndrome. Sayangnya dalam komunitas kita, pengkotakan power sudah begitu jelas dalam embel embel status.
Pengkultusan individu sebagi produk kuno dari sebuah counter ketertindasan zaman purbapun masih ada hingga hari ini. Feodalisme barangkali lebih tepat. Di masyarakat suku saya, feodalisme amat mudah ditemukan tanpa harus dimengerti bahwa itu namanya feodal. Budaya itu adalah ketika satu orang menjadi penguasa yang tidak pernah salah meskipun itu perbuatan salah. Patriark. Falsafah itu juga dulu yang punya andil meruntuhkan dinasti orde barunya Pak Soeharto barangkali, sebuah dinasti adem ayem, sebuah organisasi bernama negara yang tenang tanpa kejadian apa apa. Hal itu nampaknya juga diciptakan dalam komunitas kita. Kondisi itu secara otomatis akan melahirkan anak anak emas yang pada giliranya berubah warna darah dari merah menjadi biru. Darah biru menjadi unsur pendukung dan pelestari klan feodalis itu, menjadi pupuk pengokoh dengan pengakuan bahwa feodalisme memang ada serta layak dilestarikan. Klan darah biru sebagai anak rohani dari feodalis mutlak diperlukan sebagai tiang, dan sang feodal akan melakukan pembelaan yang diperlukan untuk tetap menghidupkan darah biru ini. Nah, ketika kita harus berbenturan dengan klan darah biru inilah kita dihadapkan pada penindasan nurani yang luar biasa yang membuat kita bisa terkejut bahwa praktek jahiliyah masih ada disekitar kita bahkan dalam komunitas tempat kita menitipkan sedikit banyak hidup dari keluarga maupun orang orang yang kita hormati dan sayangi.
Memang idealnya pemimpin adalah pengayom, pelindung dan tentu pembimbing. Pemimpin ideal (yang ada dikepala saya) adalah pemimpin yang mumpuni, yang memiliki kepekaan dua kali lebih tebal dari anak buahnya. Kuncinya keikhlasan untuk mengabdi, melayani anak buah. Nah, apakah keikhlasan itu terasa dikomunitas kita? Menurut saya tidak, karena yang ada dalam pandangan saya adalah beberapa individu yang duduk diatas tandu dengan pandangan nanar jauh dari perencanaan dan sumbangsih yang ikhlas terhadap komunitas yang mengusungnya, dibawah pantatnya, dibawah kakinya. Kecurangan, kekurangajaran, bahkan pendustaan menjadi seperti legal oleh karena powernya dari atas tandu. Dia bisa mendorong salah satu kepala pengusungnya dengan jempol kakinya untuk melakukan sesuatu.
Pada scope yang lebih sempit –hanya sebatas komunitas kita- nuansa ‘orde baru’ yang memuakkan memang kental terasa. Kita akan dengan mudah menemukan kepalsuan tanpa harus bisa melakukan banyak hal untuk memupus kepalsuan yang lagi lagi menindas rasa keadilan nurani itu, bahkan sampai kepada kenistaan materi yang kita tahu terjadi. Apa boleh buat? Kita memang harus pintar menjadi elemen kecil dari mesin kapitalisme, mengesampingkan banyak kata hati maupun bisik nurani.
Sebenarnya yang paling fundamental adalah bahwa kita menjalani konskwensi dari pilihan hidup kita sendiri untuk menjadi elemen kecil dari mesin organisasi itu. Pilihan kita waktu itu lahir dengan ari ari bernama pengharapan bahwa kita akan terlibat dengan orang orang yang pantas menjadi panutan. Bijak, baik hati dan kapabel. Wah, kadang kadang pengharapan maupun standard pencapaian kita sendiri terelalu tinggi barangkali ketika ketemu dengan beberapa orang yang culas dalam kenyataan sehari hari. Mengecewakan hati akhirnya, dan kita tidak bisa menyalahkan keadaan atas itu semua maupun melaporkanya kepada Tuhan agar Dia memberi teguran kepada si culas karena memang si culas sudah ada dimuka bumi sejak mungkin komunitas pertama diciptakan.
Hanya jiwa yang merdeka yang bisa menyaksikan ketimpangan dan pengkacauan system itu terjadi. Jiwa merdeka akan lebih percaya kepada system ketika harus menjadi elemen dari sebuah mesin organsisai, dan tetap menjaga nurani tetap hidup, memandang hidup sebagai anugerah penuh nilai estetika, melihat kepongahan bahkan –maaf – kebodohan orang lain sebagai kemalangan yang kita tidak bisa berbuat apa apa untuk membantunya. Jiwa yang merdeka, hati yang merdeka akan menyingkirkan segala bentuk emosi negatif mesikpun kita sedang dikerubung dan dikeroyok oleh negatifisme itu. Percayalah, bahwa masing masing individu telah memiliki rel rel yang tak terlakkan. Sebagian orang diberkati dengan kebaikan hati, sebagian orang juga diberkati dengan kebengisan dan keculasan. Itu terjadi tanpa ada persamaan tanpa satupun dari seberapapun banyak manusia yang pernah hidup. Bersyukurlah, bahwa kita diberkati dengan banyak kebaikan dalam hati kita, diberkati dengan logika dan nurani yang matang. Bersyukurlah karena hari ini kita bisa menilai apa yang sebenarnya terjadi...
Balikpapan, 21 Januari 2005
Sungguh ada perasaan tertindas yang meronta ronta menuntut pembebasan ketika rasa keadilan menjadi sumir oleh karena sikap palsu, oleh karena subyektifitas atas pandangan yang dangkal. Tulisan ini tidak akan mengulas apa yang terjadi disana secara mendetail maupun menelaah point demi point untuk mencari titik kelemahan dan kesalahan melainkan merupakan ulasan singkat dari pandangan dari luar kotak ‘kesemestian’ yang memang dibudidayakan demikian baik dalam komunitas kita. Pembudidayaan itu sendiri dimulai dari pengkultusan individu, budaya cuci tangan dan tentu dramatisasi post power syndrome. Sayangnya dalam komunitas kita, pengkotakan power sudah begitu jelas dalam embel embel status.
Pengkultusan individu sebagi produk kuno dari sebuah counter ketertindasan zaman purbapun masih ada hingga hari ini. Feodalisme barangkali lebih tepat. Di masyarakat suku saya, feodalisme amat mudah ditemukan tanpa harus dimengerti bahwa itu namanya feodal. Budaya itu adalah ketika satu orang menjadi penguasa yang tidak pernah salah meskipun itu perbuatan salah. Patriark. Falsafah itu juga dulu yang punya andil meruntuhkan dinasti orde barunya Pak Soeharto barangkali, sebuah dinasti adem ayem, sebuah organisasi bernama negara yang tenang tanpa kejadian apa apa. Hal itu nampaknya juga diciptakan dalam komunitas kita. Kondisi itu secara otomatis akan melahirkan anak anak emas yang pada giliranya berubah warna darah dari merah menjadi biru. Darah biru menjadi unsur pendukung dan pelestari klan feodalis itu, menjadi pupuk pengokoh dengan pengakuan bahwa feodalisme memang ada serta layak dilestarikan. Klan darah biru sebagai anak rohani dari feodalis mutlak diperlukan sebagai tiang, dan sang feodal akan melakukan pembelaan yang diperlukan untuk tetap menghidupkan darah biru ini. Nah, ketika kita harus berbenturan dengan klan darah biru inilah kita dihadapkan pada penindasan nurani yang luar biasa yang membuat kita bisa terkejut bahwa praktek jahiliyah masih ada disekitar kita bahkan dalam komunitas tempat kita menitipkan sedikit banyak hidup dari keluarga maupun orang orang yang kita hormati dan sayangi.
Memang idealnya pemimpin adalah pengayom, pelindung dan tentu pembimbing. Pemimpin ideal (yang ada dikepala saya) adalah pemimpin yang mumpuni, yang memiliki kepekaan dua kali lebih tebal dari anak buahnya. Kuncinya keikhlasan untuk mengabdi, melayani anak buah. Nah, apakah keikhlasan itu terasa dikomunitas kita? Menurut saya tidak, karena yang ada dalam pandangan saya adalah beberapa individu yang duduk diatas tandu dengan pandangan nanar jauh dari perencanaan dan sumbangsih yang ikhlas terhadap komunitas yang mengusungnya, dibawah pantatnya, dibawah kakinya. Kecurangan, kekurangajaran, bahkan pendustaan menjadi seperti legal oleh karena powernya dari atas tandu. Dia bisa mendorong salah satu kepala pengusungnya dengan jempol kakinya untuk melakukan sesuatu.
Pada scope yang lebih sempit –hanya sebatas komunitas kita- nuansa ‘orde baru’ yang memuakkan memang kental terasa. Kita akan dengan mudah menemukan kepalsuan tanpa harus bisa melakukan banyak hal untuk memupus kepalsuan yang lagi lagi menindas rasa keadilan nurani itu, bahkan sampai kepada kenistaan materi yang kita tahu terjadi. Apa boleh buat? Kita memang harus pintar menjadi elemen kecil dari mesin kapitalisme, mengesampingkan banyak kata hati maupun bisik nurani.
Sebenarnya yang paling fundamental adalah bahwa kita menjalani konskwensi dari pilihan hidup kita sendiri untuk menjadi elemen kecil dari mesin organisasi itu. Pilihan kita waktu itu lahir dengan ari ari bernama pengharapan bahwa kita akan terlibat dengan orang orang yang pantas menjadi panutan. Bijak, baik hati dan kapabel. Wah, kadang kadang pengharapan maupun standard pencapaian kita sendiri terelalu tinggi barangkali ketika ketemu dengan beberapa orang yang culas dalam kenyataan sehari hari. Mengecewakan hati akhirnya, dan kita tidak bisa menyalahkan keadaan atas itu semua maupun melaporkanya kepada Tuhan agar Dia memberi teguran kepada si culas karena memang si culas sudah ada dimuka bumi sejak mungkin komunitas pertama diciptakan.
Hanya jiwa yang merdeka yang bisa menyaksikan ketimpangan dan pengkacauan system itu terjadi. Jiwa merdeka akan lebih percaya kepada system ketika harus menjadi elemen dari sebuah mesin organsisai, dan tetap menjaga nurani tetap hidup, memandang hidup sebagai anugerah penuh nilai estetika, melihat kepongahan bahkan –maaf – kebodohan orang lain sebagai kemalangan yang kita tidak bisa berbuat apa apa untuk membantunya. Jiwa yang merdeka, hati yang merdeka akan menyingkirkan segala bentuk emosi negatif mesikpun kita sedang dikerubung dan dikeroyok oleh negatifisme itu. Percayalah, bahwa masing masing individu telah memiliki rel rel yang tak terlakkan. Sebagian orang diberkati dengan kebaikan hati, sebagian orang juga diberkati dengan kebengisan dan keculasan. Itu terjadi tanpa ada persamaan tanpa satupun dari seberapapun banyak manusia yang pernah hidup. Bersyukurlah, bahwa kita diberkati dengan banyak kebaikan dalam hati kita, diberkati dengan logika dan nurani yang matang. Bersyukurlah karena hari ini kita bisa menilai apa yang sebenarnya terjadi...
Balikpapan, 21 Januari 2005