Wednesday, May 24, 2006

Balada Boss

1. Pertama, boss tidak pernah salah.
2. Kalau salah, lihat peraturan pertama.

Joke gaya srimulat itu sekilas enteng tanpa bobot, bagi yang membaca dan tidak mengalami tekanan ‘implementasi’ gurauan itu. Begitupun peribahasa dan kata kata mutiara yang dirangkai sedemikian indah sekalipun, menjadi sekedar bacaan pengetahuan selama tidak bersinggungan dengan pengalaman empiris pembacanya. Bagi yang mencicipinya dalam pengalaman hidup, prinsipnya tetap sama bagi yang mengalaminya; benar adanya!!

Memanglah benar bahwa selamanya tidak ada kehidupan yang normal, karena yang ada hanyalah kehidupan. Titik. Ceritanya saja yang beragam, termasuk inti dari tulisan ini; tentang dua peraturan baku untuk sang boss, sebuah cerita yang terjadi di suatu sudut bumi kolong langit, sekuku hitam dari miliaran cerita kehidupan yang sedang terjadi.

Sebagian bakat manusia adalah menjadi patriark, pengontrol arah kehidupan setiap benda hidup dan benda mati sesuai keinginan dan harapanya. Terkadang hidup menempatkan seseorang pada kursi empuk dimana ia bisa mengembangkan bakatnya dengan baik, sementara untuk kepentingan sang bakat alam itu harus ada orang lain yang mau tidak mau, rela tidak rela mengemban posisi menggelesot dibawah sebagai pelaksana sistim patriarkinya. Kelak golongan ini lebih nyaman menamakan diri sebagai bawahan. Telunjuk jari, perkataan dan pikiran sang patriark adalah remote control yang menggerakan aktifitas kontrolnya. Kursi empuk dan kedudukan yang lebih tinggi menempatkan dirinya di titik yang strategis pengembangan bakat itu. Kelak patriark patriark berbakat ini mendapat predikat baru; boss.

Ketika sang boss entah karena kedangkalan akal fikiranya, entah karena kerendahan budinya atau barangkali kebobrokan moralnya melakukan kesalahan, maka kesalahanpun memiliki wadahnya yaitu sang bawahan. Tak perlu ada risau memikirkan bahwa si bawahan bisa juga menilai bossya mempraktekkan sistim bersikap yang sangat mentah, jauh dari bayangan ideal seorang boss yang cerdas, arif dan tentu pelindung. Menumpahkan kesalahan kepada bawahan yang seharusnya samasekali tidak berhak membuat si boss terlalu sibuk hingga terabaikan langkah langkah pencegahan dampak dari resiko kesalahan yang dibikinya sendiri. Jikapun resikonya menjadi semakin parah, maka keparahanyapun akan menjadi hak milik si bawahan. Demikianlah sebagian aturan kehidupan dunia dijalankan.

Cerita paragraph diatas tentu tak terjadi di zaman elektronik saat ini, sebab boss sudah berganti titel menjadi pemimpin, dan bawahan berganti label menjadi pekerja. Pemimpinlah yang menentukan kebijakan, merencanakan arah dan laju organisasi, dan melakukan pemantauan yang cermat terhadap pelaksanaan dari rencana rencana yang dibuatnya. Kesalahan terjadi hanya di kadang kala, dan itu mutlak manusiawi. Menjadi pemimpin adalah semata mata pengejawantahan dari makan harafiah ‘pemimpin’, zonder kepentingan dan nuansa individual. Penyelesaian suatu masalah maupun kesalahan yang terjadi dengan arif dan cerdas akan menempatkan si pemimpin pada kursi yang layak untuk dihormati, ditunggu arahan dan didengar serta ditaati setiap imbauanya.

Disisi lain, pendekatan kesamaan status sebagai pekerja dengan beda wewenang dan tanggung jawab, juga kesamaan sebagai manusia yang rentan terhadap sakit hati dan tekanan psikis menempatkan pemimpin pada posisi yang dihormati, disegani yang sekaligus menghapuskan dua aturan kolot tentang pimpinan. Bukan sebagai boss patriarkis yang hanya tahu mengumpat dan menyalahkan, dan mendapat hadiah kentut serta cibiran setiap kali membelakangi kita. Kasihanlah orang orang yang bodoh tapi beruntung seperti ini, yang menerapkan dua aturan tentang ke-boss-an yang primitif dan dangkal nalar.

Gempol, 060524