Friday, October 14, 2005

Perjalanan Ragu

Berabad terapung disamudera kebencian dan cinta, menunggu badai reda, menunggu matahari tiba. Usia terus merambati kecemasan dan melapukkan semangat yang porak poranda. Hati meletih dalam penantian akan datang malaikat dari kegelapan yang menuntun arah ketanjung pengharapan. Kesunyian dalam gemuruh ini begitu sempurrna menggigilkan jiwa. Bimbang hati menyeret langkah menyusuri cakrawala berbingkai keniscayaan. Dalam ketelanjangan ribuan petimbangan mendorong dorong logika untuk percaya, tetap mengayuh menuju keraguan lain lagi.

Maafkan aku wahai pelangi karena mencabut pedang berkarat bernama kewajiban yang menancap dipunggung tembus kedada. Tak ada kehidupan didalam perihnya kecuali ratapan panjang atas batu batu nisan yang berjajar tak bernama, di pekuburan ingatan. Jiwa jiwa telah lama mati menyisakan beku membatu sedangkan diladang ketiadaan tetumbuhan kebahagiaan tampak menyembul dari balik tanah sisa peperangan. Hanya jika perkelahian ini usai, kita akan bertemu daratan yang menjadi tuan, entah karena tujuan entah karena terdamparkan nanti.

Dijagat manusia perkawinan hanya tinggal selembar kertas dan segudang kepurapuraan. Tamu tamu hati datang membawa ceritanya sendiri sendiri, dari keculasan demi keculasan dunia. Betapa peradaban telah terbeli hanya oleh egoisme. Tamu tamu yang membawa cerita perjalanannya masing masing melengkapi cerita perjalananku menoreh sejarah tentang keragu raguan yang menjadi tujuan, sampai satu lagi nisan tercipta dengan sempurna.


Simatupang, 14 Oktober 2005