Monday, January 30, 2006

Langkah kaki

Dikehampaan udara kaki berpijak, kepada kabut berwarna kelabu langkah terayun dimana mata angin adalah garis horizon yang melingkar mengurung. Inilah kegamangan yang harus berjalan dan dianggap sebagai kehiduapan peradaban. Mimpi, kenangan dan harapan lebur dalam debu yang memusingkan asa.

Malaikat datang dari gelap, yang memang hanya ada gelap bermil mil luasnya. Disamudera yang bisu sebisu cangkir berisi coklat panas diri bergumul berkelahi dengan badai, badai bisu tanpa suara yang menenggelamkan jiwa dalam sesak, kalbu kehilangan oksigenya sementara energi harus terus diperas untuk melawan, melawan dan melawan. Terus melawan. Melawan ego sendiri yang terkoyak dan tergulung ombak.

Pertempuran ini begitu sunyi sampai lukapun tak lagi terasa, kecuali kesadaran yang timbul tenggelam antara mati dan entah hidup, antara mimpi dan entah sekedar sisa harapan yang tak lagi punya tempat teduhan.

Aku tahu,
Dikehidupan terang benderang dimana matahari datang dan pergi sesuai jadwal, kematianku telah begitu dipersiapkan dengan upacara dan bumbu kesedihan. Kehilangan menjadi judul dari seremoni, dimana puing dan patahan patahan jiwa, sisa perkelahian akan dikumpulkan dan jadi kenangan abadi, sekedar dramatisasi kehidupan yang pernah singgah dengan warnanya yang mencolok penuh kesan. Ya, dia akan mencatat sebuah kematian ketika separuh hati hanyut, lenyap bersama badai yang menenggelamkanya suatu ketika…


Duren Tiga, 060129 – 2128hrs