Friday, November 20, 2009

Rafflesia

Langit Bali biru bersih seolah lahir kembar dengan biru laut dari kejauhan pantai, disinari penuh oleh matahari yang panas mengangas terang benderang. Derai tawa bercumbu debur ombak menyatu dalam otak dari kejauhan jarak pandangan; lantai tiga hotel bintang lima.

Musim telah menenggelamkan pengetahuan di kedalaman lumpur waktu, meninggalkan kejadian masa lalu sebagai cerita bisu. Dan catatan seribu tahun yang telah tanggal terkoyak oleh datangnya kisah yang menggebu. Jalan batin setapak dimana dulu kita bertemu, telah bercabang seribu lalu menyisakan jaring jaring kenyataan, pagar pelarang bagi asmara yang membuncah bagai bunga Rafflesia Arnoldi (Patma Raksasa) yang tumbuh di belantara tak bertuan. Kehidupan yang tiba tiba menyeruak dari ketiadaan panjang. Membuat seolah olah kita terputuskan oleh kisah yang tak sempat kita selesaikan, ketika semuanya bermula dari dialog bisu di dalam diary berwarna biru.

Pertemuan seolah menuntun langkah menyusuri pantai, mengeja jejak masa lalu yang sebagian besar telah lenyap tersapu ombak peradaban. Dan jejak itu kita temukan hanya dalam angan angan sebab kaki kita tak menapak di lembutnya pasir pantai kehidupan, tempat segala batas dan kisah kisah perantauan terhempas lunas. Semuanya mati, semuanya baru. Dunia bisa menjadi sangat aneh, dimana sikap malu malu membungkus perasaan senang bukan kepalang. Kisah kehidupan yang sepakat kita jalani ini memang penuh keajaiban, misalnya kita yang dipertemukan setelah menjadi bukan gadis dan bujang lagi.

Mungkin kita selayaknya menghormat tunduk kepada masa lalu sebab ia adalah kesaksian atas utas jatah hidup yang terurai panjang dan bersimpul ketika kita dipertemukan lagi. Tetapi masalalu dan kekinian yang kia jalanipun mengandung anomali yang tak terbantahkan; perbedaan atas kenyataan yang ada. Menggambarkannya mungkin seperti hamparan keajaiban di jarak pandang dari lantai tiga ke arah lautan, menembus pantai Kuta dimana biru langit berkawin dengan biru lautan. Mereka berdua tak bersentuhan di keagungan semesta ini, tetapi mereka berdua ada dan memiliki arah asal kedatangannya masing masing.

Jika perasaan adalah sesuatu yang hidup dan menciptakan kehidupan, mungkin kita biarkan menjadi seperti Rafflesia Arnoldi yang menyeruak tiba tiba dari perut bumi tanpa bentuk pohon tertentu, lalu hidup untuk 5 – 7 hari, setelah itu layu dan mati dan sirna kembali ditelan bumi. Ia tak berbatang, tak berdaun dan hanya tumbuh dari menghisap unsur organik dan anorganik dari tanaman inang. Seluruh jaringan yang membentuk kelopak bunga Patma Raksasa tak memiliki bentuk konstruksi batang tubuhnya, apalagi masa lalunya. Tetapi Rafflesia tetap akan hidup dan ada ditimbunan bumi, untuk suatu hari nanti menggemparkan isi dunia dengan kemunculan kelopanya yang raksasa secara tiba tiba; laksana nostalgia cinta yang sekonyong konyong membuncah seolah nyata di hati manusia.
Ah, dunia memang dipenuhi dengan keajaiban....



Legian, 091119

Tuesday, November 10, 2009

Republik Sinetron

Ini hanya kabarnya;
Di republik ini bermacam tata tertib diterbitkan, untuk menjadi pagar yang melindungi kepentingan umum dan pribadi yang disepakati berdasarkan rasa adil. Sebagai republik yang demokrasi, orang orang yang duduk di management pemerintahan, abdi negara pelaksana konstitusi dipilih seolah olah atas kehendak rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Mereka dititipi amanah oleh rakyat untuk menjadi pamong yang pembimbing dan pelindung. Hukum didasarkan atas keadilan, sebab keadilan adalah hal yang tidak bisa dirubah sebagai manifestasi suatu kebenaran hakiki. Keadilan tidak pernah bisa diperjual belikan, tetapi pengadilanlah yang bisa diperdagangkan, dilelang, di obral, atau dijajakan. Dan ketika boss boss besar ‘penguasa’ keadilan saling bertengkar membenarkan diri sendiri, maka rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi - ditulis sekali lagi – disuguhi tontonan seru menyerupai sinetron (tayangan jelek menyerupai sandiwara yang ditayangkan banyak stasiun tivi dari pagi sampai malam hari). Sinetron di tivi menghipnotis penontonya, melupakan kesulitan hidup dan kecutnya harapan dengan kehidupan utopis tapi penuh konflik, intrik dan segala sesuatu yang jauh dari kewajaran, apalagi masuk akal.

Ketika boss boss bertengkar menyemburkan ludah yang berhamburan ke wajah rakyat (apalagi rakyat jelata; kalau masih ada!), maka saling tuding dan saling bantah, saling tuduh dan saling sanggahpun tak urung memunculkan banyak nama pemeran kebobrokan lawan masing masing, dan untungnya semuanya dari kalangan boss boss. Tidak ada kalangan rakyat jelata yang terlibat langsung di skenario setengah jadi yang di ekspose oleh Mahkamah Konstitusi, lewat rekaman pembicaraan telepon yang direkam tanpa sepengetahuan si penelpon dan si penerima telpon. Siapapun tahu, pengadilan dan peradilan adalah komiditas dagang, mulai dari level kecamatan sampai kemana mana. Sebuah kebohongan dapat diubah menjadi fakta hukum yang memvonis, dan uang bicara banyak tentang justifikasi keadilan. Kekuasaan adalah magnet bagi uang, dan pamong juga manusia yang bisa mengkonsumsi uang tanpa batas jumlah tertentu. Bossnya KPK, bossnya Polisi, bossnya Jaksa dan sindikat perkoncoannya saat ini sedang menunjukkan kepada rakyat betapa dahsyatnya kekuatan magnet itu kepada rakyat (terutama rakyat jelata – ditulis 2x) .

Ketiga institusi kepunyaan rakyat yang didaulat untuk mengawal tegaknya hukum yang adil bagi rakyat itu sedang congkrah hanya oleh hasutan kakak beradik Anggoro dan Anggodo; yang kaya uang tapi tidak terlalu berkuasa, dan lalu menitipkan kekuasaan kepada segepok uang; dan berhasil. Konon, uang pulalah yang punya kekuatan memutar balikkan fakta, membenarkan dusta dan mendustakan kesejatian. Ukuranya hanya moral, dan moralitas adalah hal paling rahasia yang dimiliki setiap orang. Tetapi boss ketiga institusi itu sepakat untuk menghipnotis rakyat dengan lakon yang dikarang masing masing, lakon realitas yang disajikan oleh pers ke mata, kuping dan pikiran rakyat (termasuk rakyat jelata – kemungkinan kata rakyat jelata adalah sebuah frase untuk menggambarkan golongan kelas masyarakat yang seolah olah melata karena miskin, susah hidupnya; wong cilik kata Ivan).

Rasanya sinetron di republik ini tidak cukup hanya ada di tivi tivi. Kisah klasik permainan kekuasaan ketiga institusi itu sendiri adalah sinetron, sebuah tontonan jelek menyerupai sandiwara. Sikap dan perkataan para pejabat menjadi dialog yang berisi kebohongan kebohongan baru yang dipaksaakan untuk diterima sebagai sebuah ’yang paling benar’. Rakyat disuguhi terlalu banyak kebohongan, yang akan mampu meracuni kepercayaan yang diamanahkan. Jika sudah demikian, maka yang dapat rakyat lebih percayai adalah opini publik yang dibentuk oleh media massa. Keadilan hukum akan dilandaskan pada opini dan empati semata, mengabaikan aturan tata tertib apalagi guna kekuasaan.

Lembaga lembaga peradilan yang notabene lembaga kepunyaan rakyat harusnya bersih dari orang orang bermoral bejat. Sebab jika hukum dan rasa adil dipercayakan kepada lembaga yang dikelola oleh orang orang bejat, sifat dan istilah ”adil demi hukum” hanya tinggal slogan kosong pematut prestise. Ditangan para bejat, lembaga lembaga peradilan dapat difungsikan sebagai legitimasi penindasan dan pemerasan, oleh pamong kepada kawula. Sebuah kebenaran yang hakiki hanya Tuhan yang mengetahui. Sedangkan sebuah kebenaran dari aspek hukum adalah fakta yang didukung oleh alat alat bukti dan saksi saksi. Dan di Republik Sinetron, hal paling mendasar soal syarat sebuah sangkaan hukum itu tidak lagi dihormati. Meskipun republik ini punya begitu banyak alat dan tempat untuk menjalankan proses hukum tetapi polemik kasus Polisi, KPK, Kejagung dan Anggodo – Anggoro cs dibiarkan menjadi gumpalan gumpalan opini liar yang tidak kondusif. Proses peradilan hukum sudah dibuat sedemikian detail oleh para pendahulu kita sebagai satu satunya jalur yang harus ditaati oleh segenap rakyat dan juga rakyat yang pejabat.

Mumpung hari ini adalah peringatan hari pahlawan, maka mari kita buat bangga para pahlawan kita dengan berlaku adil dan benar, sebab hanya kebenaran dan keadilan yang diperjuangkan oleh para pahlawan. Dengan demikian, kita akan selalu menghormati jasa para pahlawan kita; mereka yang saat ini menangis prihatin menyaksikan prahara peradilan di Republik Sinetron.

Surabaya - 091110