Thursday, January 26, 2006

Ketika tak lagi sanggup berdiri

Ketika kaki tak kuat lagi menopang untuk berdiri, maka waktunya membiarkan lutut mencium tanah bumi. Membiarkan hati rebah ketanah, tinggal berharap dan hanya berharap. Diam, biarkan sepi mengelilingi sehingga hanya isak tangis paling bisu yang terjadi. Rubuhkan kesombongan diri, tunduk takluk pada keagungan sang pemilik semesta kehidupan; Gustialah (baca: Gusti Allah).

Membiarkan sunyi mengurung bathin, justru mendatangkan jutaan iblis yang berpesta pora mentertawakan dan menyiksa. Ataukah hanya diri yang terlalu menganggap kesempurnaan menjadi hak milik hingga beban menjadi begitu berat terasa?

Jalan kedepan yang gelap dan tak tertebak tetap jadi tempuhan, kaki yang kelelahan harus segera dibiasakan untuk menerima rute perjalanan, meskipun harus melewati lumpur dan bebatuan, bahkan kadang tenggelam dikedalaman kubangan air, mendaki dan menuruni lembah sendirian. Itulah kehidupan, kata teman yang hanya tahu penderitaan dari judulnya, bukan dari penghayatan.

Ketika kaki tak sanggup lagi berdiri, kalbu mengadu meminta dikasihani. Air mata tak mungkin kering karena dia ada sebagai lambang kelukaan yang tak terlihat mata, bukan sekedar cairan pencuci pipi. “Menerima, menerima, menerima. Ikhlas, ikhlas..ikhlas…” nurani terus memompakan sloganya. Mengharap hati sudi mendengarkanya. Sedangkan logika mencak mencak merasa dipecundangi oleh orang yang justru dilindungi.

Dan ketika lutut tak lagi sanggup menyangga beban, biarkan diri duduk bersimpuh, menikmati keberagaman keperihan yang datang bertubi tubi dalam sanubari. Kiranya diri tak sekuat yang disangka, kiranya hati tak seperkasa yang diduga.

Lalu biarkan semua peristiwa tertayang, semua catatan perjalanan terkuakkan, bahwa ini hanya perjalanan biasa menuju kematian, bahwa Tuhan yang memberikan semuanya kepada diri termasuk kebahagiaan yang pernah ada juga ketika kebahagiaan direnggutkan. Bahwa kehilangan inipun miliknya jua. Sungguh diri tak berarti apa apa.

Duh Gustialah,
Ampunkanlah hamba, atas kesombongan diri dan ego yang menjadi pisau tajam penyiksa diri. Juga ampunkanlah dia laki laki yang menyepelekanku, menganggapku hanya debu semata. Ampunilah ketidak mengertianya, dan berikanlah rahmat dan karuniamu bagi kemuliaan hidupnya. Dan kepada perempuan yang mendustai, juga menganggapku hanya kertas pembersih lubang anusnya, ampunilah ketidak mengertianya tentang tenggang rasa, berkatilah dia dengan rasa kemanusiaan yang wajar dan muliakanlah kehidupanya. Jauhkanlah mereka berdua dari kesengsaraan dan penderitaan bathin dunia, ya Gustialah…

Ya Gustialah,
Ampunkanlah kami, para pendosa yang kotor dengan segala kepentingan diri, menganggap Engkau ada hanya untuk mengawasi….
Ceger on an empty morning, 060126.

3 comments:

me said...

bukankah Allah "tidak akan memberikan sesuatu yang melebihi batas kemampuan umatnya" .. Nasake ha hitono tame ni narazu

buderfly said...

Dan Allah yang menentukan orang orang pilihan untuk diberiNya sesuatu, Nana...

Semoga Dia memberkati hidup orang orang malang yang menganiaya bathin sesama...

Anonymous said...

Best regards from NY! Buy ionamin discount 85