Sunday, September 28, 2008

Kisah Sebuah Buka Puasa

Suatu hari, menjelang sore ditengah bulan Ramadhan. Dari pagi terkungkung pekerjaan, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Janji bertemu di tempat parkiran, dimana nanti motor tebengan diberangkatkan. Lalu bebarengan meliuk dikubangan kemacetan sepanjang Tendean hingga Cawang, bermanufer diantara padat kendaraan dan berjejalnya kepentingan. Cerita mengalir sepanjang jalan, membius bising knalpot dan klakson kendaraan yang mengintimidasi kesabaran. Kadang pecah tawa, kadang pula pikiran sibuk mengulum udara.

Waktu matahari perlahan tersesat diantara gedung di barat daya, seluruh isi kota bergegas menjelang buka puasa tiba. Rumah adalah tempat dimana hati berada, dan bebuka dirumah sungguhlah cita2 mereka yang bepuasa. Kesemrawutan lalulintas yang seusia dengan ukuran kecerdasan pejabat pengelolanya memberi jaminan pasti bahwa tepi jalan adalah tempat berbuka puasa massal; rela tidak rela. Kekusutan tata kelola lalu lintas Jakarta sungguh tidak perlu diragukan lagi. Kondisi genting setiap hari seperti itu sudah puluhan tahun dipertahankan dengan sukses oleh Jakarta. Pengguna (yang tidak punya akses kemana mana dikawal forerider tentunya) hanya punya satu hak; menerima keadaan! Dijalanan manusia bisa dengan mudah bermimikri menjadi mahluk buas atas sesamanya. Pantat pedas, mesin panas, isi kepalapun mudah tertular virus ganas bernama angkara murka!

Gambar baginda sang penguasa kota terpampang raksasa ditepi jalan, tersenyum lebar bebaju gamis, seolah siap berangkat tarawih, sedangkan bedug magribpun belumlah tiba waktunya. "Selamat menunaikan ibadah puasa" demikian pesan sang baginda. Ah, negeriku tercinta, bahkan para pemimpinpun bisa melucu di bulan puasa. Sayang, lucuannya tak lucu! Atau barangkali poster baginda memang salah satu bentuk propaganda supaya mereka sepersaudaraan korban kemacetan dapat lebih melatih kesabarannya selama menjalankan puasa? Hmm, poster yang menggoda untuk membatalkan puasa dengan mengumpat! Dengan banyolan wagu itu pula pemimpin kota ini memprovokasi pengguna jalan untuk lebih bersabar menghadapi ironi kota praja. Pameo ‘bukan Jakarta kalau tidak macet’ melambangkan betapa terbelakangnya pola pemikiran yang seperti antisolusi itu. Maka inilah jalanan Jakarta kita, an organized chaos it is!!

Ketika bedug bertalu, kemacetan telah berlalu. Matahari telah benar benar pergi dari sudut mata, laju roda perlahan menepi mencari tempat akan berhenti. Warteg dekat pemakaman jadi pilihan, teh manis hangat jadi ta'jil andalan dengan bumbu penyedap keramahan sang pelayan. Dua gelas teh manis hangat dan dua batang rokok lesap sebagai hadiah kemenangan hari ini. Dua puluh lima ribu rupiah terakhir di saku celana menenangkan pikiran atas tagihan berdua. Sungguh amat membahagiakan, berbuka puasa dengan kesederhanaan; teh manis hangat warteg jamuan perayaan kemenangan bersama seorang teman seperjalanan, di ruas jalan kehidupan yang sunyi.

Rasa lapar dipertahankan, sebagai imbalan bagi mereka yang dirumah, yang telah dengan segala upaya menyiapkan hidangan untuk jamuan nanti jika yang seharian bekerja pada pulang. Jarak masih setengah perjalanan, sampai ke nanti kita berpisah sehabis pertigaan.

Hari ini kita telah menang dengan tenang tenang, ...


Halim kira kira 080912

2 comments:

pyuriko said...

Inga-inga,...

Pantat pedas, mesin panas, tetapi kepala harus tetap dingin... :D

Yang penting, kemenangan sudah berhasil mas raih saat itu.

Selamat!

iteung said...

wah...buddy lewat cawang juga toh! gw dulu familiar loh sama daerah sana, hehehehehe tiap liburan sekolah pasti ke sana, soalnya di sanalah rumah nenekku berada :D *curhat mode on*