Jamal lain lagi, dia supir
omprengan biasa, hidup pas pasan di rumah kontrakan, jauh dari kenyamanan. Dia
hanya mencari rizki, mengitari kota saban hari sejak dua puluh tahun terakhir
ini. Suatu hari yang kacau, Jamal mendapat sewa, seorang mahasiswi UI. Anak
baru di Jakarta, tak paham jalan jalan ibukota, maka sopir angkot jadilah
navigator andalannya. Ketika ternyata ia salah naik, lalu ia jadi panic.
Melompat sejadi jadinya dari angkot yang melaju, dikira Jamal berniat mesum
seperti kabar di Koran Koran belakangan. Daripada dirampok, diperkosa lalu
dibunuh, mendingan menyelamatkan diri. Walhasil kepala mahasiswi UI membentur
aspal, terseret sebenatar kemudian terkapar; tewas pula. Maka hukum pidana
berlaku, bersamaan dengan tata acaranya.
Rasyid tidak ditahan, otaknya
masih shock oleh kecerobohannya yang menyebabkan orang sengsara batinnya;
kehilangan orang orang yang dicintainya. Rumah sakit mewah menjadi pilihan,
tameng hukum yang melegalkan alasan keculasan. Konon dia harus rajin berobat
dan beristirahat oleh sebab kondisinya yang tidak sehat. Nasibnya terbalik 180
derajat dengan Jamal. Sebab Jamal yang kemudian kaget mengetahui penumpangnya
melompat, kemudian membawanya ke rumah sakit untuk diobati. Nahas memang, sebab
penumpangnya akhirnya mati. Maka Jamal melapor ke polisi. Detik ia melapor
itulah awal dia kemudian ditahan, masuk ruang tahanan polsek yang njekut dan
kumuh. Bersama bajingan dan penjahat lainnya yang menganggap diri mereka
bernasib apes. Dijauhkannya Jamal dari
istri dan anaknya, dari keluarganya. Demi hukum, maka ia harus berhenti mencari
makan untuk keluarganya. Terkurung dalam kerangkeng tahanan dengan masa depan
yang penuh kekhawatiran.
Jika dipikir pikir, para petinggi
negeri ini memang banyak yang otaknya tercampur feses. Di negeri yang
berlandaskan hukum ini, hukum berjalan pincang pincang, tebang pilih dan
pandang bulu. Untuk pejabat, orang kaya dan orang orang ternama, hukumannya tak
perlu berat, sebab dengan menjalani ketidaknyamanan penjara saja dianggap sudah
merupakan hukuman yang berat. Cara berpikir yang imbisil itu nyata nyata pernah
disampaikan didepan khalayak oleh seorang yang menyandang gelar ahli hukum.
Untuk orang miskin sekelas Jamal, maka hukum diterapkan sesuai apa adanya,
sesuai yang seharusnya. Tidak ada yang mempedulikan akibat yang timbul dari
proses hukum yang harus ia jalani, sebab Jamal bukan anak pejabat, apalagi kaya
raya. Terkenalpun namanya sejak malapetaka sore itu saja.
Memang tambah apes bagi orang
kecil di negeri penuh retorika ini. Menjadi obyek dari mesin politik yang
berjalan mempengaruhi segala lini. Sikap sikap petinggi tak lagi patut untuk
jadi tauladan, yang semestinya pimpinan adalah imam yang mendidik dengan
contoh; hidup dengan jujur. Tatkala hukum menyambangi mereka yang Berjaya, maka
hukum pula akan menjadi ajang kepandaian meramu fakta. Azas kepastian, azas
keadilan dan manfaat hanya tinggal menjadi ajaran yang dilupakan, seperti
layaknya pelajaran membaca abjad untuk kali pertama. Hukum tajam kebawah,
menghujam bumi dan menjepit mereka yang tak cukup punya piti. Kuat melilit
sehingga menyebabkan sesak nafas secara psikologis, sedangkan untuk mereka yang
kaya, longgar dan melar seperti trampoline.
Memang keadilan tidak perlu sama
rata sama rasa, karena keadilan bersifat abstract lagi subyektif. Hukum
bukanlah sarana balas dendam, sebab hukum merupakan satu satunya tiang suar
bagi keadilan. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab moral yang tidak
ringan oleh sebab mereka adalan tentakel pengelola Negara yang berkewajiban
mejalankan amanat konstitusi. Ketika pejabat hukum tidak terkontaminasi dengan
kekaguman dan materi, maka bisa dipastikan bahwa hukum akan menjadi komoditi
menakjubkan dan menguntungkan. Akibatnya, tata cara penghukuman orang akan
diabaikan, sebab mata penegak hukum tak lagi melihat bahwa setiap orang sama
dihadapan hukum.
Bagaimanapun kita sepakat bahwa
kita berpijak pada konsep negara hukum, dimana semua orang memiliki hak yang
sama didepan hukum. Meskipun, sebenarnya hukum yang berjalan sendiri sudah
memberi peluang kepada bemracam macam diskriminasi. Ditambah lagi, mental penegak
hukum yang reyot di negeri ini memberi peluang menganga distribusi ketidak
adilan, khususnya pada rakyat jelata. Maka tidak akan mengherankan jika pada
akhirnya nanti Rasyid Rajasa yang nyata nyata bersalah karena atas kelalaiannya
menyebabkan jatuhnya korban jiwa, akan menerima vonis sejenis lelucon.
Sedangkan Jamal dan para sopir angkutan umum yang memiliki bobot kesalahan yang
sama dengan motivasi berbeda, tentu akan tunduk pada hukuman badan apa adanya.
Bambuapus 130218
No comments:
Post a Comment