Gerbang stasiun perlahan tertutup, seiring lampu lampu peron
yang perlahan meredup. Senja turun mengikat satu demi satu cahaya. Sepasang
sepasang orang terbuang berkerumun di tepi kali, bersiap melintasi malam sialan
sekali lagi. Mata mata waspada, ketika iblis menggeliat disepanjang trotoar dan
balik rimbun bunga liar. Tinggallah dingin yang membelah tulang! Gedung gedung megah
menjulang menyimpan kemewahan menjadi penghias langit belaka bagi siklus
kehidupan sisa sisa disepanjang rel kereta dan pintu air Jagir. Nyala lilin
seolah melantunkan lagu lagu pilu tentang masa silam dan orang orang dalam
kenangan. Tiba saatnya sadar, bahwa ternyata masa lalu tertimbun jauh lebih
banyak ketimbang jumlah masa depan. Tiba tiba hidup menjadi terasa usang.
Bangku kayu panjang kedai kopi beratap terpal, menjadi
terminal pikiran bagi setiap pejalan. Sesekali angin membawa debu bercampur
asap knalpot, beraroma air kencing basi yang tertimbun kencing lain lagi di
pojok parkir stasiun. Inilah dasar dari sebuah peradaban kota, ampas dari cita cita perjalanan masa muda. Mimpi mimpi
terdapar pada lapak lapak dekil Pasar Maling, yang memberi nafas pada kehidupan
malam di sebuah lorong kota metropolitan. Orang orang begitu kesepian, dengan
wajah wajah gelisah seolah takut sendirian. Sungguh, sebenarnya setiap orang
selalu sendirian, meskipun ditengah keriuhan. Sungguh sebenarnya setiap manusia
adalah invididu yang membawa dunianya sendiri sendiri, hidupnya sendiri sendiri
dengan cara yang paling rahasia.
Segelas kopi menunggu arloji. Berteman gumpalan gorengan dan
rupa rupa jajanan. Bangku kayu ini oase sederhana ditengah gurun
karbondioksida. Seolah memberikan panorama kehidupan dunia yang berjalan ibarat
gerbong berbong kereta yang melaju meninggalkan waktu. Cerita demi cerita diri
sendiri, rahasia demi rahasia diri sendiri dan juga rahasia milik setiap orang.
Hidup begitu keras, toh tidak harus diperlihatkan sebagai sesuatu yang buas.
Kemiskinan yang perih ternyata juga hanya salah satu kisah yang hanya tnggal
harus dijalani. Semua kisah ada masanya, ada tempo dan iramanya. Dan semuanya
berjalan tak berjeda. Waktu telah menjadi belenggu tak kasat mata, rantai gaib
yang menggandengkan antara kejadian masa silam dengan kemungkinan di masa yang
akan datang. Sedangkan, di bangku kayu kedai kopi tepi jalan, kenang kenangan
menggenang bersama nelangsa yang menikam diam diam.
Sepotong maros yang hampir terasa hambar adalah gerbang
masuk miliaran nostalgi masa kecil. Masa kanak kanak yang tumbuh remaja dimana
manusia belajar membedakan diri dari binatang. Kemiskinan memberikan banyak
dispensasi moralitas, oleh karena idealisme yang harus takluk oleh keperkasaan
sang lapar. Dan kemiskinanlah sesungguhnya guru paling bijaksana bagi setiap
umat manusia kota. Oleh sebab daripadanya, manusia diajarkan untuk tidak
melimbahkan apapun dalam hidup. Kemiskinan juga motivator yang alim, sebab
daripadanya lahir mimpi mimpi besar, harapan harapan lebar. Yang diperlukan
hanya kekuatan untuk menjalaninya. Itu saja. Ketika dogma dijejalkan sebagai
surga dan neraka yang sama sama tak ada di muka bumi, maka hidup memberi
kebijaksanaan tinggi atas ajaran mulia itu sebagai nilai penenang hati.
Lunak gumpalan maros membawa runcing tajamnya kenangan masa
silam, ketika sekeluarga petani tanpa suami hidup pada suatu masa. Lima bocah
dan satu ibu, bersama ketidak mengertian dan ribuan makian yang disembunyikan. Keluarga
compang camping yang tidak memiliki banyak pilihan, dan hanya memiliki terlalu
banya keinginan. Dunia seolah olah lahir dengan ketidak berdayaan, dan anak
anak lahir dari krisis yang tak berujung dan tak berpangkal. Setiap hari
terjadi perebutan kekuatan, antara harapan dan keputus asaan. Keajaiban
ditunggu tunggu setiap bangun dari tidur di pagi hari, bahwa dunia akan
memberikan kemuliaan sepenuhnya dengan tiba tiba. Berpuluh puluh tahun
terjalani, dan rupanya memang semuanya harus seperti yang terjadi. Suka cita
bisa datang dengan berbagai sarana dan cara, meskipun kemelaratan mengepung
dari enambelas penjuru angin.
Suapan terakhir maros di tangan menghadirkan sensasi kenangan akan masa silam
yang jauh dari dimensi ruang dan waktu. Ketika sekeluarga petani tanpa suami,
lima bocah satu ibu membagi segumpal darah ayam kental goreng; darah dari ayam
jago yang disembelih untuk kenduri, mengirim doa bagi para leluhur dan para
wali. Ayam jago ayam piaraan, yang terlalu berharga untuk dilimbahkan oleh
keluarga yang kelaparan. Mereka mungkin menawar perintah Tuhan, tetapi sungguh
mereka tak hendak mencelakakan sesama. Sesungguhnya, mereka hanya mensyukuri
setiap nikmat yang diberikan oleh kehidupan, tanpa banyak bertanya.
Terimakasih ibu, atas jasamu mengajari kebijaksanaan hidup
yang tak ada di dalam buku.
Pasar Maling – Wonokromo 130403
No comments:
Post a Comment