Cerita ini akan sedikit berbeda
dengan cerita cerita tentang Candi Tawang Alun yang ada di blog blog di
internet. Bukan soal legenda tentang empat tokoh; Resi Tawangalun, Putri Alun,
Ario Damar dan Prabu Brawijaya II. Kalau soal legenda itu ada punya pendapat
sendiri. Jadi begini;
Semua tempat hebat peninggalan
sejarah di Indonesia selalu memiliki legendanya sendiri sendiri, mitos yang
hidup diantara masyarakat menjadi symbol kearifan sosial sekitar situs situs
bersejarah itu. Pesan moral dari mitos itu begitu jelas: jangan merusak. Maka
sudah lazim jika situs bersejarah akan ada dan hidup bersama dengan cerita
cerita mistisnya. Kisah kisah mistis yang berujung kepada larangan dan
keharusan ternyata mujarab sebagai peringatan bagi kalangan masyarakat pada
masanya untuk tidak berbuat cela. Cara yang lebih elegan adalah dengan
memelihara konstruksi pemahaman bahwa situs situs sejarah masa silam adalah
tempat yang dibangun sebagai tempat suci, dan siapapun harus bertanggung jawab
kepada kelestarian kesuciannya.
Selayaknya kita menghormati
legenda yang hidup bersama keberadaannya; sama seperti legenda legenda lain
yang kita temui di situs situs kuno lainnya. Meskipun hanya tersisa tumpukan
bata merah setinggi sekitar dua meter dengan lebar masing masing sisi sekitar
empat meter, tetapi sisa kemegahannya masih dapat hidup dalam bayangan khayal. Candi
itu dibangun diatas perbukitan kecil, ditepian pesisir selat berupa rawa yang
kemudian sekarang menjadi tambak tambak bandeng. Bukit kecil tempat candi itu
berdiripun tidak kalah menariknya, karena limapuluh meter dari candi, terdapat
tanah lapang yang terus menerus mengeluarkan lumpur dengan bau belerang
menyengat dari perut bumi. Dan itu sudah terjadi sejak zaman purba. Lumpur itu
sama persis dengan yang ada di bekas pengeboran PT Minarak Lapindo yang
kemudian jebol tidak terkendali, atau
juga sama dengan pori pori bumi di Bledug Kuwu di Blora. Patut diduga,
berdirinya candi tersebut sangat erat hubungannya dengan lumpur hangat yang
membentuk comberan comberan dan mengalir menuju tanah rendah. Lokasi perbukitan
kecil disebelah candi Tawang Alunpun telah berubah menjadi tempat pemakaman
umum bagi masyarakat sekitar Buncitan.
Candi Tawang Alun dibangun pada
masa kerajaan Majapahit. Hal itu jelas terlihat dari material bangunan berupa
bata merah padat, dengan corak Hindu yang mencuat. Fungsinya adalah sebagai
pendarmaan raja, atau tempat untuk pemujaan raja yang sudah mangkat dan juga
sekaligus sebagai monument bagi sang raja, juga tempat orang mengheningkan
cipta, semedi mendekatkan diri kepda Yang Maha Kuasa. Ini tentang candi candi
di Jawa Timur, yang tentu memiliki karakteristik berbeda dengan candi candi di
Jawa Tengah (Kecuali candi Cetho di Karanganyar) karena memang candi candi
tersebut merupakan cerminan dari pemerintahan yang ada pada saat itu. Candi
candi di Jawa Timur cenderung lebih kecil ukurannya dibanding candi candi di
Jawa Tengah, namun lebih artistik. Termasuk candi Tawangalun adalah candi candi
Hindu dengan ciri yang sangat menonjol.
Konon, candi Tawangalun dulunya
adalah sebuah sumur. Sebagian masih menyebutnya sebagai candi Sumur Windu. Jika
demikian, maka besar kemungkinan bahwa candi ini hanyalah salah satu bangunan
dari kompleks candi Tawang Alun dan bukan merupakan candi utamanya. Patut
diduga, gundukan tanah yang berubah menjadi pemakaman umum disebelah timur
candi itulah candi utamanya yang sudah runtuh disikat usia. Kalau diperhatikan,
konstruksinya sama persis dengan candi Pari di kawasan Porong Sidoarjo, dimana
limapuluh meter dari candi utama terdapat sebuah bangunan candi yang berukuran
lebih kecil, bernama candi Sumur. Kedua bangunan candi tersebut dipisahkan oleh
jalan, gang dan rumah rumah penduduk, juga pemakaman umum. Hal sama juga dapat ditemui
di candi Jabung yang terletak di daerah antara perbatasan Paiton dan Kraksaan
di Probolinggo. Besar kemungkinan bahwa candi yang berisi sumur atau sumber air
adalah bangunan pendukung untuk
mensucikan diri sebelum seseorang melakukan pemujaan dan tirakat di candi
utama. Candi itu berlobang ditengahnya, dengan ukuran satu meter persegi. Ada
bekas struktur konstruksi undak undakan yang dipakai untuk menaiki perut candi,
kemudian parit kecil sebagai penghubung dengan kolam penampungan di pojok
candi.
Candi Tawang Alun seperti
kebanyakan nasib candi di negeri cantik kita ini, terkesan terabaikan dari
perhatian pemerintah. Perawatan yang sekedarnya oleh juru rawat candilah yang
sampai sekarang membuatnya bertahan ditepi pemukiman penduduk yang semakin
merangsak mendekati kompleks candi. Berada di areal candi Tawang Alun akan
sangat mudah merasakan kesegaran udara disana, dengan hamparan tambak tampak di
kejauhan; diseberang gundukan tanah makam. Sesekali bau belerang menghampiri
indra penciuman, menambah kesan mendalam tentang kejayaan masasilam ketika
candi ini masih berfungsi sebagaimana mestinya. Masa dimana nilai nilai
kehidupan dipelajari dan dipegang teguh sebagai panutan. Sesungguhnya dari masa
lalu kita bisa belajar banyak mengenai kebajikan. Tawang Alun, seperti halnya
situs lainnya juga menancapkan kesan mendalam tentang nilai kebijaksanaan masa
silam. Sayangnya, sejarah selalu saja memiliki kesamarannya sendiri, oleh sebab
berbagai versi yang menyertai dengan tujuannya sendiri sendiri.
Candi Tawang Alun tidak banyak
diperhatikan orang, untuk sekedar mengunjungi dan memunjungnya dengan rasa
takjub diam diam. Padahal kata Pramoedya, mengetahui sejarah adalah sesuatu
yang sangat penting. Dengan mengetahui sejarah, maka manusia akan tahu kemana
tujuannya berdasarkan sejarahnya. Tanpa mengetahui sejarah, maka manusia
sebenarnya tidak memiliki tujuan yang selaras dengan asal mula kejadian. Teori
ini mungkin bisa kita hubungkan dengan kondisi sekitar Sidoarjo yang memiliki
kulit bumi yang tipis. Kegagalan PT Lapindo Minarak dan pemerintah membendung
limpahan lumpur dari perut bumi terjadi karena pemilik modal dan penguasa lokal
mengabaikan sejarah dan karakter alam setempat. Raden Brawijaya telah
menandainya dengan membangun candi di salah satu pori bumi, semestinya pengusa masa
kini lebih arif dalam membuat kebijakan. Lumpur Porong tidak ubahnya putusnya mata rantai sejarah peradaban, yang
disebabkan semata mata oleh nafsu duniawi manusia; keuntungan materialistik
dengan mengabaikan nilai nilai asli tentang alam dan kehidupan.
Candi Tawang Alun, meskipun hanya
tersisa reruntuhan batu bata tetapi menandakan keabadian sejarah peradaban
manusia. Keberadaannya tidak bisa tergantikan oleh peradaban baru yang berumur
pendek. Secanggih apapapun teknologi yang digunakan, reruntuhan Tawang Alun
tetap menyimpan jejak sejarah dan menyuguhkan kekaguman diam diam. Hanya
keserakahan umat manusia yang mengatasnamakan nafsu saja yang kelak dapat
menghapus jejak agung sejarah candi Tawang Alun. Sungguh beruntung bagi sesiapa
yang masih bisa menyentuh untuk membaca sisa kemegahan yang hanya bisa terterjemahkan
sebagai ziarah. Tawang alun membawa pikiran menyelam jauh kepada kisah kisah
masa silam, sebagai pengalaman empiris yang sangat mengagumkan.
Rewwin, 140209
No comments:
Post a Comment