Masih ingatkah kamu?
Waktu itu hujan turun riwis riwis
seperti saat ini, suatu sore diatas bus AKDP. Kita bertemu tanpa sengaja,
setelah sekian tahun saling menjauh dan tak lagi berkabar. Tatapan mata yang tiba tiba itu ibarat
segumpal salju yang membentur di tebing karang. Menghentak lalu amblas ditelan
kejut. “ Sebaiknya sekarang kita
menjalani hidup kita masing masing” ucapmu sambil lalu. Dan seluruh isi dunia
diam membeku sejak saat itu. Tatapan matamu kosong kedepan, mengimpikan tempat
tujuanmu segera datang. Sedangkan aku, bergelantungan memandang pepohonan dan
rumah rumah berlarian. Hampa.
Tas punggung di gendonganku
berisi baju celana bekas, hasil dari meminta. Oleh sebab keadaanku yang sedang
di dasar jurang kesengsaraan, tak mampu membeli pakaian untuk anakku. Sedangkan
kamu, tengah berada dipuncak kejayaan masa mudamu, seolah tak aka nada satupun
duka yang akan sanggup menaklukkanmu. Dan aku tengah menghitung jasa dari
sesiapa yang berjasa untuk tetap ada dalam hatiku ketika dunia seolah
membelakangiku. Tak sedikitpun itu kudapat darimu. Kamu terbuai dengan segala euphoria
masamuda, hanyut oleh keinginan melampaui langit batas yang kelak ternyata
membantingmu dalam gelap tak beratap.
Empatbelas tahun berlalu, lalu
tiba tiba kita bertemu.
Kita telah kehilangan begitu
banyak cerita selama itu. Waktu berputar seolah kita tidak berada didalam
pusarannya. Ribuah mozaik kehidupan kita susun dalam ketidak tahuan, serpihan
masa lalu telah membangkai dan kita hanya bisa mencatatnya dalam kenangan
masing masing; penuh rahasia. Wajahmu menjadi layu, bersama keriput yang tumbuh
satu satu di garis wajahku. Senyummu masih senyum yang dulu, sinis tapi
mengandung madu. Kita bebicara, seolah olah masa lalu tidak pernah ada. Betapa
kita sadar ketika itu, bahwa sungguhlah putaran kisah hidup seolah tak
mempedulikan kita. Semua yang terjadi di kehidupan kita sebelumnya membias
layaknya asap rokok yang memenuhi ruang tamu rumahmu.
Sejak itu aku berusaha memaksa
diri, mencari sesuatu yang hilang dari hidupku atas dirimu. Dan tak kutemui jua
apa yang kucari. Empatbelas tahun telah menghapus sebagian besar kekagumanku,
berganti dengan halaman baru dalam buku komik yang berisi kisah biasa tentang
dunia dari dua orang asing yang berbeda. Bukan orang baru yang mengandung
misteri keajaiban tentang sebuah pribadi, melainkan dunia lama yang tertayang
nyata dalam realita. Bedanya, kali ini hambar terasa. Kita telah menjalani apa
yang seharusnya terjadi, dan kitapun akan menjalani apapun yang Tuhan
kehendaki. Dunia berputar cepat, segala cerita manusiapun perlahan lindap dalam
lilitan waktu.
Lalu waktu berjalan lagi seperti
yang seharusnya. Aku mengenalmu sebagai pribadi baru yang suka mengeluh dan
menonjolkan kemalangan sebagai symbol mentahnya jiwamu. Sungguh sekian lama
waktu dan sekian banyak luka dan tawa tak mendewasakanmu. Tak juga menjadikanmu
sebagai kanak kanak seperti halnya engkau ingin dianggap oleh setiap orang yang
ada dalam kehidupanmu. Seolah engkaulah manusia paling malang di muka bumi dan
berharap semesta alam akan jatuh kasihan terhadapmu. Padahal sesungguhnya,
mengasihani diri tidak ubahnya pamer diri yang tidak perlu. Bahkan wajahmupun
tak semenarik dulu, pun tiap hari kau pajang di jendela dunia agar semua orang
mengagumimu.
Perlahan aku menjadi muak dengan
ketidak dewasaanmu. Kecerdasan yang menjadi butir butir benih kekagumanku dulu
telah lenyap ditelan waktu. Ya, memang sebaiknya kita menjalani hidup kita
masing masing, diam diam.
Medan 131115
1 comment:
ok
Post a Comment