Kata seorang kenalan, ketika
seseorang mati karena kecelakaan, maka jasadnya akan terbujur kaku dan perlahan
membusuk sedangkan ruhnya menunggui sejenak untuk lalu menghilang. Terbang ke
langit dan tak dapat lagi ditemukan di kehidupan. Sang ruh lalu menyatu dengan
udara, menyaksikan dalam diam cerita cerita tentang si mendiang semasa berjaya;
lengkap dengan bumbu bumbu cerita yang mendramatisirnya. Tetapi sang ruh tak
lagi dapat mempengaruhi pikiran manusia hidup, apalagi merubah keadaan. Tentu
ia menjadi semacam saksi bisu yang memendam semua perasaannya dengan sepenuhnya
tidak berdaya. Sang Kenalan juga menceritakan bagaimana menderitanya si ruh karena penyesalan yang membebani
semasa hidupnya. Penyesalan terbesar bagi orang mati adalah tidak memanfaatkan
waktu, daya dan kekuasaannya untuk kebaikan. Sesungguhnya, manusia adalah
mahluk Tuhan yang paling dapat menjadi bengis dan keji, melebihi kejahatan
semua jenis mahlukNya. Bahkan terhadap orang alim dan baik semasa hidupnyapun,
si ruh tetap menyesali karena masih banyak perbuatan baik di dunia yang tak
sempat dikerjakannya.
Cerita sang kenalan seperti
menterjemahkan sebuah perceraian antara kehidupan dan kematian, menggambarkan
sebisa mungkin inti residu dari kematian itu sendiri. Sesuatu yang hidup sekian
lama tentu meninggalkan jejak kisah yang panjang, beranak pinak menjadi cerita
cerita peradaban. Rahasia rahasia tercipta, sebagian tersimpan tetap menjadi
rahasia. Kemisteriannya akan abadi dan hanya hidup dalam ingatan si empunya
kisah rahasia. Jika sebuah kematian layak ditangisi, hal itu semata mata karena
kesedihan mendalam atas putusnya rantai riwayat. Putus dan yang tak mungkin
akan tersambung lagi meskipun dengan cerita cerita surgawi sekalipun, meskipun
dengan dongeng dongen tentang kegaiban dan keajaiban. Mati adalah mati,
berhentinya sebuah siklus dan yang tidak akan terulang lagi.
Bagi sebagian orang, kematian justru
diharapkan. Aneh memang, ketika Tuhan menganugerahkan kehidupan yang begitu
sempurna dan indahnya, si penerima pemberian justru tidak mengiginkannya.
Demikianlah sifat manusia, yang terkadang dihadapkan kepada persoalan dunia
yang demikian liat sehingga melemahkan seluruh keyakinan bahkan mengikis dengan
deras perasaan bersyukurnya. Dunia menjadi tempat yang tragis, dikendalikan
oleh pengusasa penguasa –yang juga manusia – yang berhati bengis. Di dunia
modern yang laju peradabanya dikendalikan oleh kapital, nilai manusia hanya
diukur berdasarkan angka angka. Ajaran luhur bahwa kewajiban manusia adalah
memanusiakan manusia (Multatuli) telah
luntur menjadi serpihan kata tanpa makna bagi kaum pemuja kuasa. Ajaran
kebaikan yang pernah diterima sebagai jatidiri terlupakan hanya demi predikat
baru ciptaan penjajah bernama profesionalisme salah kaprah.
Sebagian dari kita terkadang terlalu
bangga menjadi bangsa jajahan. Terlalu mudah mengelu elukan orang yang
samasekali asing hanya karena dia didapuk sebagai pimpinan. Budaya yang
terbentuk hanya bertujuan untuk menyenangkan sang pimpinan. Pimpinan yang belum
tentu menjadi tauladan, tetapi diagungkan sebagai yang menentukan kehidupan.
Kebiasaan dan tradisi kerja seperti itu hanya mengajarkan orang untuk memandang
ke atas, tanpa memperhatikan pijakan. Orang orang pada kelas terendah cukup
bahagia dengan dapat mengekspresikan pemujaanya kepada pimpinannya, sedangkan
mereka pada level menengah tiba tiba menjadi raja raja kecil di areanya masing
masing dengan tingkat kebengisannya masing masing. Semua menjalankan system
dengan ambisi menguasai, ambisi mengkudai orang lain, menyenangkan pimpinan dan
mempromosi diri sendiri. Tanpa disadari, lingkungan politik kerja seperti itu
menciptakan manusia manusia egois dan kebal kemanusiaan.
Ketika seorang manusia yang
bersikeras menjadi manusia biasa dengan sifat kemanusiaannya berhadapan dengan
system feudal modern, maka ia kan menjadi manusia kerdil diantara para raksasa
pengusa. Para penguasa yang menentuka segala sesuatu atas orang lain dalm
bentuk angka. Menghadapi gempuran demi gempuran ketidak adilan dengan ketidak
berdayaan terkadang melahirkan pikiran untuk berhenti melawan dan mencari jalan
damai yang tak melukai siapapun. Jalan pertapa, dimana tak seorangpun manusia dapat
bersinggungan didalam simpang pikiran maupun ambisi pribadinya. Sedangkan bagi
yang mampu untuk tetap berdiri ketika badai dan taufan keangkuhan menerpa
berulang ulang hanya ada dua jenis manusia yaitu mereka yang memang memiliki
keikhlasan dalam hati dan pikirannya dan mereka yang memang tidak memiliki
pilihan lain oleh sebab tuntutan yang mengharuskan demikian. Kedua duanya hanya
komponen dari sebuah system yang tak menghargai kemanusiaan dengan manusiawi,
yang menjalankan roda kekuasaan dengan tanpa menggunakan konsep kemanusiaan.
Jalan pertapa hanyalah berisi
keintiman terhadap dzat pencipta, dengan merendahkan hati serendah rendahnya
bahkan lebih rendah dari pada tanah. Hidup sang pertapa tidak ada lain kecuali
menghamba kepada kemanusiaan dengan keikhlasan sepenuhnya. Mengupayakan semua
tindakan demi manfaat untuk orang lain disekitarnya. Jalan pertapa tak mengenal
ambisi duniawi, hanya sekedar kebutuhan naluriah semata mata. Diri sendiri
menjadi nomor dua karena yang utama adalah diri orang lain disektarnya. Jalan
pertapa adalah pilihan tersulit sebagai pengakuan atas kekalahan terhadap laju
peradaban yang mengutamakan grafik serta angka.
Pun demikian, memilih jalan pertapa
akan tetap mengihidupkan kenangan akan
bengisnya manusia terhadap manusia lainnya, sebagai kisah empiris yang akan
tertinggal menjadi ruh.
Rewwin, 170310
No comments:
Post a Comment