Ini kisah dunia biasa, proses alam yang menjadi kendalinya. Bahwa segala
yang hidup akan mati, bahwa niscaya semua yang bermula akan berakhir di dunia
ini. Dari kisah cinta yang menggebu hingga berubah menjadi debu, dari masa muda
yang gemilang menjadi hari tua yang suram dan kesepian. Kejadian demi kejadian
adalah rangkaian proses dari metamorfosa kehidupan, sedangkan perasaan hati
sebenarnya adalah pewarna hari hari; agar hidup tidak melulu berwarna sephia.
Suatu ketika Pak Urip adalah lelaki gagah perkasa, yang begitu kokoh
menjadi sandaran jiwa dan gantungan hati bagi si pemuja. Di dalam setiap
geraknya menimbulkan birahi, dan utas demi utas kalimatnya menjadi cahaya. Pak Urip
adalah malaikat tanpa sayap bagi seorang bidadari yang terbuang diluar sangkar
emasnya. Terlunta lunta dan tersesat sendirian diburu oleh pendendam. Di ketiak
Pak Urip semua luka dapat disemayamkan, sedangkan luas hatinya laksana telaga
sejuk yang tak pernah kering walau kemarau berlangsung ribuan tahun. Disana pula
segala resah dialamatkan.
Dia yang membangun keikhlasan dari kehancuran atas kebanggaan pribadinya
sebagai lelaki. Tak perlu diceritakan kepada dunia, sebab ia tersembunyi di
kuburan hati, tersimpan pada bilik sunyi setelah melewati lorong panjang
labirin kerahasiaan. Bahkan seorang pemujapun bisa palsu. Luka imitasi yang
hanya dipergunakan selama menguntungkan, selama menyenangkan. Kiranya memang
jalan hidup harus demikian, Pak Urip mengikhlaskan hatinya dijadikan alas
kesetan; material pembersih dari gedibal tengik
yang menempel di telapak kaki.
Kiranya harta juga ikut mengendalikan manusia. Menjadi salah satu faktor
penentu perilaku antar sesama. Harta jugalah yang sanggup memodifikasi
romantisme kenang kenangan menjadi sekedar masalalu tanpa sejarah. Oleh karena
ketersediaannya yang semakin terpangkas oleh kewajiban usia, pak Urip perlahan
menjadi benda mati yang usang didalam hati. Sesosok manusia tawar tanpa cahaya,
tidak lagi bedaya pikat; membeku seperti self
portrait di dinding ruang sembahyang. Kebersamaannya telah ditebus dengan
angka demi angka, tualang demi tualang jiwa raga diantara gang dan selokan
rimba beton. Itu lebih dari cukup, bagi pak Urip yang bukan apa apa.
Di dalam hidupnya, pak Urip dimatikan dari arti keberadaan. Senar senar
pengantar suara telah putus, rantas oleh datangnya kekaguman baru atas sesuatu
yang lebih berwarna, lebih baru dan memesona. Untuknya, telinga telinga dipatri
mati, mata mata dibutakan bahkan hati sendiri dapat ditipui. Derai tawa yang
meletupkan birahi mejadi pengganti photo
profile; agar seluruh dunia tahu hati sedang berbahagia. Agar seluruh dunia
tahu, bahwa kecongkakan diijinkan bagi yang mampu. Agar seluruh dunia tahu
tentang kehebatannya melalui status statusnya; biksu karbitan baru berjubah
musang.
Bagi penipu, Pak Urip tak ubahnya nisan kayu yang akan segera lapuk
dimakan waktu. Lalu hilang dari pandangan bahkan dari ingatan. Dia telah mati,
dimatikan dengan perlahan, lalu dikubur di bawah dipan. Tak layak dirindukan,
apalagi dipikirkan. Sebab, dunia tak berhutang kenang kenangan atas hidupnya.
Bambuapus 120822
No comments:
Post a Comment