Kehilangan momentum bertubi tubi ternyata bisa membuat
orang frustrasi. Seseorang yang tidak lagi merasa punya kampung halaman sama
halnya telah kehilangan akarnya, kehilangan rumah sejatinya, dimana segala
persoalan bermuara, diamana semua jenis kebahagiaanpun menyegara. Rumah dimana
setiap pengembaraan berakhir dengan cerita kisah kisah tempat yang jauh dan
menyenangkan. Dan kehilangan kepemilikan secara batiniah terhadap rumah
menjadikan jiwa seolah yatim piatu, bocah lola yang tidak memiliki tempat
sebgaimana mestinya.
Kampung halaman yang sering dilewatkan tanpa kehadiran
pada moment moment hari raya, moment istimewa, sejatinya tetap berada dalam
kalbu, menjadi penaung dan pengingat semua ajaran tentang kesederhanaan dan
budi pekerti. Manakala kampung halaman itu kemudian kehilangan bobot karena
habisnya masa pakai, rontok satu demi satu dimakan zaman dan digantikan dengan
cerita cerita baru yang dianggap lebih seru, maka pulang kampung hanya akan
menjadi acara seremonial penyemarak ritual tahunan.
Ketika jutaan orang berbondong menuju timur, kaki akan
melangkah ke selatan, beda tujuan. Menyaksikan orang begitu bergembira
menyambut hari raya, paling tidak ada juga terbersit kegembiraan yang tak perlu
dikatakan. Sebuah kegembiraan yang maha sunyi, empati diam diam sambil
membenamkan keinginan. Toh jika kita kembali kepada kesahajaan, hari raya hanya
akan berlangsung paling lama dua hari. Kedua duanya pun sama, berasal dari
siklus waktu yang berulang tak henti itu; antara Seinin hingga Minggu. Ada baiknya juga
mengistimewakannya, pertanda memberi hormat kepada warna peradaban. Mudik
adalah ritual ziarah kenangan masa kecil, satu bab tentang awal muasal
kehidupan manusia.
Wajah wajah lelah terslemurkan oleh ceria, harapan
berlimpah akan datangnya saat bertemu dan berbagi cerita dengan sanak saudara,
handai taulan yang lama tidak dijumpa. Jalalnan menjadi riuh oleh para musafir,
kegembiraan meluap kemana mana disepanjang jalan. Dan sebagian lagi menyaksikan
ingar bingarnya dengan diam diam, dengan perasaan nelangsa yang ditekan
sedemikian rupa sehingga tidak terlihat di permukaan. Dunia berjalan dalam
sunyi, senyap yang menyergap. Segalanya berjalan dalam diam, angan angan dan
keinginan semua dibenamkan dalam percakapan monolog tentang lebaran.
Di jalanan, jutaan orang hilir mudik mengangkuti rindu
yang menjadi energi langkah melaju, menziarahi masa lalu. Sejenak mempecundangi
bumi perantauan dengan lagak dan gaya
sebagai orang baru.
Tasikmalaya 120816
No comments:
Post a Comment