Akhirnya euphoria lebaran datang lagi. Kali ini seperti tahun
sebelumnya, dimulai dengan ketidak pastian oleh pajabat negeri. Pejabat di
negeri ini memang semakin gemar membuat bingung rakyatnya. Semakin tidak
bermutu. Dulu dulu, hari lebaran itu sudah bisa diketahui setahun sebelumnya,
hingga dalam setahun itu semua orang bersiap siap untuk merayakannya hingga
hari H.
Semangatnya sama, kegembiraan dan ritual fenomenalnya sama. Yang membedakan
ada beberapa, diantaranya prestise dan rasa kewajiban untuk memberi
kegembiraan. Sedangkan dulu sewaktu kecil moment lebaran adalah keadaan yang
paling menggembirakan, datang dengan sendiirinya. Rupanya kebahagiaan anak anak
itu disokong oleh para orang yang dewasa. Pakaian baru dan uang saku berrlimpah
adalah identitas lebaran masa kecil, dan sekarang dirubah persepsinya menjadi sebaliknya;
penyedia pakaian baru dan uang fitrah lebaran.
Diumumkan di tivi maupun tidak, lebaran tetap harus terjadi. Ritual
pulang kampung para perantau sudah dimulai dua minggu sebelum hari lebaran
sesuai dalam calendar. Ucapan ucapan selamat dan permaafan menjadi nuansa yang
mendamaikan. Permintaan maaf dilahirkan dalam lafal kata kata serta diucapkan didalam batin serta ditujukan untuk satu
pribadi secara spesifik. Zaman berubah, orang sekarang lebih gemar menyebar
pesan broadcast permintaan maaf secara massal dan di rapel dalam satu kali klik
tombol send. Ucapan selamat dan
permintaan maaf yang dilahirkan dari text di gadget menjadi kehilangan bobot
makna. Hanya seremonial, tidak ada pendekatan secara up close and personal. Jadi hambar
rasanya.
Ini lafal lebaran yang diajarkan dari tahun ke tahun di masa kecil dulu:
Suasana kalal bikalal begitu sacral. Yang muda mendatangi yang tua
secara berkelompok, dan yang tua membuka diri untuk yang muda. Si muda dengan
sikap taklim akan menjabat tangan si tua dengan kedua tangan, dan menunduk
(pantang menatap mata senior). Si muda lalu berucap “ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sedoyo kalepatan lair lan
batos”suaranya harus lirih, khidmat seolah dengan segenap perasaan ucapan
selamat dan permohonan maaf disampaikan. Harus tertib, berurutan satu persatu. Si tua dengan santun dan berwibawa akan menjawab runtut :”Iyo, podo podo, semono ugo aku, wong tuwo akeh lupute mugo dilebur
ing dino rioyo iki”. Ketika semua sudah selesai sungkeman, maka pecahlah
suasana menjadi ceria. Si tuan rumah mempersilahkan tamu tamunya mencicipi
hidangan. Dari rengginang, permen, kacang, tape, roti maupun kue kue aneka
rupa.
Idealnya semangat seperti itu dipertahankan meskipun dengan cara yang
jauh lebih modern. Pesan massal itu ibaratnya menempelkan secarik kertas berisi
tulisan, ditujukan kepada siapapun yang membacanya. Sungguh tidak ada
hormatnya. Akan sangat berarti jika pesan itu disampaikan seperti halnya pesan
pribadi, ditujukan untuk pribadi si penerima. Indikasinya adalah panggilan atau
nama si penerima disebutkan.
Diluar dari itu semua, lebaran selalu menghadirkan wajah wajah gembira
penuh sukacita. Masing masing orang melewati dengan keadaan dan caranya sendiri
sendiri. Sebagian besar berbagi bahagia bersama keluarga, kerabat dan sanak
famili; pokoknya orang orang tercinta. Sebagian lagi melewatkan hari raya
dengan tetap berada ditempatnya bekerja seolah lebaran tidak lewat di pos jaga.
Yang lebih mengenaskan lagi adalah mereka yang mlewatkan hari raya di dalam
penjara atau tergolek sakit di pembaringan. Tetapi lebaran tetap terjadi,
menghadirkan kesan dan suka dukanya sendiri, untuk diperbandingkan dengan
lebaran tahun mendatang. Itupun jika Tuhan masih mengizinkan kita ikut dalam
peryaan lebaran tahun depan.
Selamat Idul Fitri 1433, semoga semua mahluk selalu berbahagia. Saling
memaafkan tulus dari jiwa.
Bambuapus 120819
No comments:
Post a Comment