Gedung gedung kusam itu tampak
membatu. Pepohonan dan pagar pagar rumah
dikuasai debu yang membungkam kehidupan. Kemegahan masalalu menjadi runcing oleh
peperangan dalam kenang kenangan. Nyatanya iblis memang tidak pernah mati
meskipun zaman menelantarkan sebegitu lama. Memenjaranya dalam kuburan waktu
sendirian.
Luka yang mati suri memprovokasi
damai dalam hati. Bahkan pada saat malam malam riuh oleh khayalan. Aku meminta
maaf kepada batu yang telah tergores oleh kisah dan menjadi prasasti, benda
mati yang tak mungkin tergeser dalam hati. Lukisan di dinding sejarah
mengandung bekas bercak darah, oleh hati ungu yang terseblak kasih salah kisah.
Barangkali nanti kuasa waktu akan mengangkuti butir butir debu yang tersangkut
di ranting ranting prasangka.
Sewaktu matahari kuning meredup
di tepi bumi, semua luka datang menghiba hiba. Mempertontonkan rekaman demi
rekaman memar yang terperangkap oleh
cahaya; kisah suatu masa pada enam tahun berlalu. Pada angin tinggeng di kota
mati, pikiran terbelah oleh perih dari pedang bermata ganda. Antara ketakutan akan
tragedi laten dan takjub atas keajaiban misteri kehidupan. Perebutan dominasi
atas masa lalu dan masa depan; mengesampingkan hari ini. Menapakkan kaki di
kota mati ternyata bukan sekedar ziarah ketiadaan, tetapi juga mencicipi
kembali beling masa lalu yang menempel di telapak kaki dan sela jari jari.
Pada waktu malam turun mengurung
kota mati, jiwa jiwa menari dalam gelapnya.
Tidak lagi menjadi soal siapa yang ada dalam genggaman, sebab ternyata
kegelapan telah membutakan mata dari cahaya. Di dalam hitam maha luas, pikiran
mengayun mengikuti irama nostalgi; kiranya hanya perih melulu yang muncul
kembali. Rupanya di dalam gelap hanya
ada pedang bermata dua, yang melahirkan keragan tak kira kira. Nyanyian angin,
nyenyanyian bulan dan bintang bintang telah turut mati bersama sonyaruri. Tinggal
angin udara bediding yang tersesat disela palawija, bingung mencari selimut
yang tersembunyi di rumah rumah batu.
Ah, kota mati tidak ubahnya
gunung batu yang menjulang menghalangi jarak pandang. Mendakinyapun hanya bisa
dengan angan angan. Sedangkan pada tebing tebih jurang dan hamparan lembah
tandus itulah seretan jejak jejak kaki membekas sewaktu perkelahian tidak
mendatangkan pahlawan untuk mengadu. Catatan dendam terbawa berkeliling dunia,
memetiki buah buah pengalaman yang kemudian kita sembunyikan. Sebagiannya
menjadi penawar sempurna sehingga tak patut untuk diberitakan. Luka itu begitu
sempurna, sehingga tidak ada satupun penawar atas perihnya.
Sedangkan aku, telah kutetapkan
arah laju perahu, meninggalkan kota mati dan melangkah mengikuti garis langit. Ia
akan menjadi catatan masa lalu yang tersimpan rapi di rak kenangan. Tidak ada
kuasa dan daya untuk menghapusnya, kecuali melihatnya sebagai fragmen fragmen masa
yang tak lagi punya nafas dan tunas. Kepada rumah pelangi layar terkembang
memuja angin.
Rupanya perang telah menyisakan
biji bijian yang terabaikan, hingga tumbuh menjadi monumen pengingat bahwa di
pematang ladang itu cinta pernah lahir prematur dan kemudian mati suri. Kita pernah
membangun mimpi di rumah kayu di kota itu, yang kemudian hancur menjadi beling
beling tajam yang mejauhkan dari rabaan tangan.
Kota mati kota kenangan, berisi
benda benda mati serta zombie yang tak henti bergentayangan meneror mimpi mimpi
yang baru saja terbangun kembali di kejauhan.
Bambuapus 120814
No comments:
Post a Comment