Friday, April 28, 2006

Mendung

Sesaat setelah suara di ujung telephon yang meminta konfirmasi nomor telepon rumah menghilang, langit menjadi kelabu kemudian hitam berkepanjangan. Mendung mengurung angan angan, pun tak juga turun hujan. Hanya asap yang menyelimuti pandangan, dan samar samar dinding menjulang mengelilingi diri.

Badai telah menyapu hampir segalanya, kecuali asa, kecuali seutas nyawa, benteng terakhir dari eksistensi di muka bumi. Begitu banyak harap dialamatkan dan begitu lemah kaki ditegakkan. Sungguh badai celaka yang mencelakakan, membuat pingsan dan lalu siuman ketika penyesalan justru melindas dada menjadi penjajah yang semestinya. Hanya mimpi mimpi buruk berkepanjangan dan beranak pinak sesudahnya menjadi tayangan rutin keseharian, siang-malam, ketika terjaga maupun terlena.

Betapa rumah tangga adalah investasi sosial dalam arti yang sesungguhnya, dimana dari sana berawal eksistensi lembaga terkecil yang menciptakan peradaban makro. Selamanya investasi memiliki dua kemungkinan, bangkrut atau berkembang menjadi sebuah monumen kemudian. Rumah tangga (baca: keluarga) menempatkan anggotanya pada martabat yang dengan susah payah diperjuangkan dari ketiadaan, dari mengumpulkan sejumput demi sejumput nilai menjadi ada, menjadi sesuatu. Sebuah siklus liar yang tak berpola; hidup.

Rumah, adalah tempat segalanya berpulang. Segala keluhan, keceriaan bahkan mimpi mimpi dirakit dan diberangkatkan. Lelaki sebagai tiangnya, perempuan navigatornya dan selebihnya adalah pelita. Penghianatan terhadap fungsi masing masing menghasilkan benturan yang menggetarkan syaraf ketenangan, mematikan benih benih rencana masa depan di persemaian pengharapan. Menyisakan beling dalam tulang untuk bekal sepanjang jalan.

Ah, masa lalu!
Menegaskan betapa diri hanya sebutir debu di angkasa liar, dan ketika mendung mengurung tak ada lagi yang ada dalam pandangan, kecuali kematian mulia yang diharapkan. Sungguh diri tak menganggap masalalu sebagai peliharaan, ia ada sebagai jejak atas perjalanan, dan menempelkan kesan yang tak dapat diingkari, ketika setitik debu sendirian dipermainkan pekat sang mendung.
Mendung kali ini...telah benar benar membungkam percakapan...


Cubicle, 060428

7 comments:

Anonymous said...

Be strong, prince.

Anonymous said...

more than that, it is a looong long term investment by intention on fullfillment of half of the dien seperti yang diajarkan Nabi SAW, pun ketika pengkhianatan mistakenly happened, must be a wisdom behind... and Allah would never ever make mistake in counting the deeds of every single person.

there's a rule for everything.

Anonymous said...

Postingnya menyentuh. Semoga mendung akan segera berlalu ya.. Digantikan oleh pelangi nan indah penyejuk hati. Amin..

buderfly said...

fei: I have been strong, haven't I fei?
kembara: unfortunatelly, there is no longer a prophet, just a humble human being. Terimakasih untuk ajaran dogma-nya.
Ima: Mendung pasti berlalu, itu pasti Ma, entah pelangi entah matahari dibaliknya...

Anonymous said...

sorry, apologize, i must be mistakenly convey the message, it is just for the believers, for the ones who struggle for the truth. for the one who try to follow God's rule which is not only for the prophet. even we have to obey community rules etc made by people, so i have no reason to ignore the BIGGEST ONE. no offense.

dahlia said...

Say...INGAT !!!
NGak ada awan yang MENDUNG terus !!!
Pasti setelah mendung, akan ada MENTARI !!!

Yang MENGHANGAT kan...percaya deh

iteung said...

ah jadi pengen matahari :)
semoga percakapan itu bisa mengalir kembali ya bud...

jangan klamaan mogok ngomong, ntar mulutnya karatan loh :D