Wednesday, December 20, 2006

Rindu Rasa Cinta

Hujan mempertajam sunyi semalam tadi. Badan wadag mati, di kepala berisi fikiran mengembara ke ribuan kota dalam kenangan, mencari cari sosok dimana senyum pernah dipersembahkan bahkan mungkin peluk sayang pernah di dapatkan. Berhambur keinginan terkurung dinding gelap udara kamar kontrakan, hanya menjelajahi malam dalam lautan kehampaan rasa, kehampaan ingin dan kehampaan makna. Rindu akan cinta, sungguh bukanlah laksana kemarau menantikan hujan atau embun rindukan hangat mentari, sebuah siklus alam yang ada sejak sebalum peradaban tercipta. Rindu rasa cinta adalah manifestasi kemeranaan yang sia sia.

Rasa rindu ini berputar putar lakasana angin puting beliung yang resah mencari arah tempuhan, kehilangan delapan mata tempatnya menuju dahulu kala. Diam hanya menunggu sampai waktu menentukan jawaban atas semua pertanyaan yang meletihkan jiwa, tentang datangnya sebuah rasa yang mengisi hari hari, mengisi hati dan menjadi warna atas seluruh isi jiwa. Kehidupan telah mati pada separuh bumi, tinggal separuh nyawa yang hanya berisi rancangan perjuangan bagi eksistensi diri.

Rindu, bukan atas nama siapapun, membuat warna waktu menjadi apakah sendu atau syahdu. Tepat membacanya dengan hati karena catatan dituliskan juga dengan hati. Barangkali ada ruangan tipis diantara dimensi sendu dan syahdu, sesuatu yang tak terjangkau dan ada diluar sana. Sesuatu yang mungkin pernah menjadi isi cerita hidup yang tinggal kerangka saja. Merindukan rasa hati dimana hati hangat terlindungi, dimana damai menyelimuti ketika ketulusan menjadi landasan kasih sayang. Bukan siapa yang dirindui, tetapi lebih kepada rindu terhadap suatu rasa…rindu rasanya mencinta.

Merindukan rasanya cinta, merindukan media dimana rasa boleh dihamburkan sepenuh jiwa, dan segenap hati. Menemukan potongan puzzle yang melengkapi nilai hidup sebagai individu dengan penghargaan dan perhatian, mengisi tulisan diary dengan bahasa angin yang hanya berdua bisa dimengerti. Merindukan dunia tak bertuan dimana penjelajahan atas setiap sudutnya tak menemukan garis akhiran, membacai angin dan langit menjadi nyenyanyian hati dan menterjemahakanya dalam bahasa puisi panjang yang mendayu dayu melambangkan kalbu yang syahdu merayu.

Ah, rindu yang menyiksa…

Nutricia, 061219

Monday, December 18, 2006

Catatan pagi

Menatap ladang hari dari pinggiran pematang bernama pagi, hati kecut membayangkan matahari yang bakalan terik menghujam ubun ubun sampai ke dalam hati ketika diri membungkuk menyiangi tetanaman pengalaman yang dieprtahankan dan dipelihara demi eksistensi semata. Ditangan hanya ada belati, bekal dari sang bunda untuk membunuhi gulma nurani, dan berkonsep mimpi yang terbentuk dari satu demi satu detik yang terjalani di masa lalu, berharap terkumpul jadi satu rangkaian cerita biografi tentang seorang penghuni muka bumi.

Ternyata cinta yang menempatkan diri terlalu tinggi pada suatu saat sesuatu akan membantingnya keras ke permukaan bumi, kepada pijakan kaki; ladang garapan kehidupan sendiri. Awan gemawan di langit terang benderang seperti membujuk untuk terus menatapi, bahkan terkadang terlalu indah untuk mengabaikan sayap untuk tidak berkepak dan menari diantara gumpalanya, bertualang rasa diantara kerahasiaanya dan menjadi raja atas bukan siapa siapa kecuali diri sendiri.

Menatap ladang garapan hari ditepi pematang pagi, hati kecut menengok tetanaman yang binasa bekas pesta para durjana. Mencuri kepercayaan, merampok kasih sayang, dan menggadaikan pengorbanan atas ribuan tahun mengembara sendirian. Tidak apa, bujuk sang nurani. Matahari pagi ini akan menuntunmu untuk menabur lagi bebijian untuk benih harapan, diladang kering yang kelak akan menunggu datangnya hujan. Turunlah kemari, ke bumi di atas tanah merah dan letakkan sejenak sayap khayali, buka baju biarkan angin dan matahari menciumi dada dengan bebas.

Setetes embun yang tersisa di ujung sehelai rumput, menghentakkan kesadaran akan fikiran yang selama ini hanya melulu berisi tembok tembok tinggi pembatas kemampuan. Embun setia datang setiap pagi, menungguku setia di pematang sebelum melangkah jalani hari. Isak tangis akan ada, entah punya siapa. Pandangan bengis akan tetap ada, entah dari mana, juga cemburu yang membakar hati, akan tetap tinggal disana, entah karena apa. Tetapi kaki harus terus diayunkan maju kedepan, meninggalkan jejak dan juga jarak. Dan ladang harapan harus terus dipelihara menjadi sesutau yang menghidupi.

Dan ketika matahari merangkak mengangkangi bumi, mata tertuju hanya untuk mengikuti. Entah apa rasanya, tetapi menemukan diri sendiri dan kemudian menjalani mimpi dalam kehidupan adalah rasa dari hidup yang senyatanya. Demikianlah alam, hanya mimpilah yang patut untuk diperjuangkan agar diri bisa berselancar diantara perih dan indahnya.


Nutricia , dibawah mendung 061218

Thursday, December 14, 2006

Sampah bayang bayang

Sampai dimana kesadaran akan menuntun keyakinan bahwa diri bermakna atas apapun yang dibuat dan diniatkan? Sedangkan lembaran demi lembaran hari terlewati tak kurang jua dari klasifikasi sempurna.

Masa lalu tak pernah mati, dia hidup dan ada dibawah alam kesadaran sang diri. Entah menjadi laten atau menyimpan akar serabut kesementaraan hidup yang terkadang terpaparkan bagaikan cerita berulang tanpa titik kejenuhan. Selebihnya hanya sampah fikiran, sampah bayang bayang yang menebar bau dan mendatangkan terror kepada rasa.

Andai saja cemburu adalah hak, maka letaknya bukanlah di hati. Dan andai saja fikiran adalah batu tentu dia tidak mencerna dan menyimpulkan pengetahuan kedalam pemahaman nurani.

Keparat!

Keparat!

Keparat!



Nutricia, 061213

Friday, December 08, 2006

Hari mati di pagi hari

Kesedihan fikiran datang tanpa di undang, ia adalah hasil dari larutan pengalaman yang menyesakkan di masa dulu. Harapan .letih menyembul nyembul mengelabuhi hati, menyangkakan matahari akan terus bersinar hingga tengah malam tiba. Menjalani separuh bumi tanpa hati, bagaikan melangkah di kegelapan, tanpa tujuan dan rambu pernunjuk jalan. Demikianlah isi malam, hanya kerlip bintang di kejauhan menyisakan sedikit harap bahwa ditempat yang jauh dan tersembunyi seseorang tengah memelihara diri dalam perasaanya yang tersembunyi. Ufh, bahkan untuk berkhayalpun hati terlalu letih terkadang.

Angin membawa kabar dari timur kejauhan, dimana seseorang mengingatkan betapa kata kata bijak dimasa lalu masih berlaku hingga kini, menemukan kesejatianya setelah sekian tahun hanya menjadi penghias layar monitor, bahkan terlupakan dalam gugusan persoalan yang dibuat buat. Waktu telah merubah segalanya menjadi cerita baru atas cerita lama, dan segala yang hidup menjadi semakin tua. Bayi bayi baru dikandungkan sebagai persiapan bagi kelangsungan pencatatan biografi, selamanya berjalan demikian dan terus menerus tanpa berkesudahan.

Pagi ini matahari mati di bumi, tak menyentuh kaca jendela bahkan bunga bunga anggrek biru dan jingga tak terjamah oleh hangatnya, diam terpekur meratapi sisa embun yang merana di dahan kering tanpa nyawa. Angin telah pergi mengembara, menyapai rumah rumah kosong yang berlumut ditinggal pemiliknya yang sakit hati. Barang baranya menjadi usang, berganti pemilik jadi bukan manusia lagi. Jutaan ngengat tengah membangun sarang untuk menghapus catatan kehidupan dirumah itu, dan angin hanya mampu mengusap dinding bata merahnya yang terkelupas dipermainkan musim.

Musim? Masih berartikan ribuan musim yang berganti semau hati jika yang ditemui tetap saja pagi siang sore dan malam hari? Haiyh….haih…kisah tentang cacing tanah yang kepanasan tak lagi terdengar ketika hujan, juga cerita tentang hangat dekapan ditengah hujan tak lagi terbacakan ketika panas sengangar mengepulkan ubun ubun. Ah, betapa keinginan tak memiliki dinding pembatasan, betapa angan angan hanya berjalan mengikuti mata angin yang buta.

Kesedihan yang datang menyelimuti pagi, mematikan separuh hari dalam kekosongan panjang yang tak menyisakan apa apa, kecuali waktu yang terbuang sia sia, tanpa jejak kaki maupun catatan tentang perjalanan…

Aku rindu padamu, ibu…


Nutricia, 061208

Thursday, December 07, 2006

Filsafat kembang kacang

Sebaik apapun rasa hidup, seburuk apapun semangat terpuruk, selalu sisakan sedikit ruang untuk hal hal yang lebih obyektif. Tumbuhnya perasaan seperti biji kacang tanah yang tersembunyi di bawah permukaan tanah, kemudian datang hujan dan si biji kacang akan menyembul menjadi kecambah, menyembul dengan indah sebagai sesuatu bentuk yang baru penghuni jagad raya. Penampilanya bersih, bersinar, indah dan menggemaskan, menyenangkan hati dan pemandangan. Siapapun yang memilikinya pasti akan terpesona dengan bentuk dan kemunculanya. Bahkan jikapun mau, si kecambahpun bisa langsung saja dicabut dari tanah, disantap terasa manis dengan resiko kemudian menghilangnya si kecambah dari permukaan tanah, meninggalkan luka menganga pada tanah yang masih lembab oleh air hujan. Tetapi apakah si kecambah biji kacang tanah itu akan terus dalam bentuknya?

Segala hidup berjalan dalam siklus, terkotak kotak dalam dimensi waktu yang akan memuntun kepada arah cerita kehidupan yang mungkin sering disebut orang sebagai 'takdir'. Tidak ketinggalan juga si kecambah. Lambat laun dia akan tumbuh menjadi sebatang pohon kacang tanah, lengkap dengan bulu bulu yang tidak indah, lengkap dengan daun daun yang mulai mengering dan jatuh ketanah, lengkap dengan kehidupan lain yang menumpang diantara klorofilnya. Si pohon tidak lagi menjadi indah, tetapi dia punya kewajiban baru untuk mengembang biakkan keturunan, membuahkan umbi kacang tanah jauh dibawah permukaan tanah untuk lalu suatu saat kelak jika hujan datang akan tumbuh pula menjadi kecambah. Si pohon kacang tanah oleh kuasa waktu kemudian hanya akan menunggu saatnya mati tiba, dengan dahan yang membusuk dan menjadi kompos. Jasadnya akan memperkaya hara dan humus pada tanah tempatnya mengukir sejarah hidup.

Bahwa, segala sesuatu berkembang dan tumbuh atas kuasa waktu...segala yang ada dimuka bumi bisa berubah, baik bisa jadi buruk dan sebaliknya. Ulat bulu yang mengerikan tampangnyapun suatu saat akan berubah menjadi kupu kupu cantik rupa, bukan??

Kepadamu yang tengah jatuh cinta, aku turut bersuka cita atas petualangan rasa yang sedang terjadi padamu.Terbanglah tinggi, kepakkan sayap keinginanmu dan jelajahi langit angan angan yang tidak bertepi. Jika engkau bertemu seseorang di ketinggian , genggam erat tanganya, ajaklah ia menari bersamamu menghirup setiap butir oksigen yang tersedia, sebelum badai datang menghampiri, sebelum mungkin awan hitam melingkari. Dan jika mendung mengurung dalam pandanganmu, maka yakinlah bahwa selalu ada garis keperakan yang melingkari setip sisinya, pertanda kecerahan selalu ada, menantimu diluar batas pandangan.
Hanya, jangan lupakan tanah tempat pijakan kaki...

Nutricia, 061207

Monday, November 20, 2006

Hujan Pertama

Menyambut kesaksian hujan pertama dari kemarau panjang terakhir, fikiran menembus jauh ke bawah permukaan tanah hampir gundul dimana rumput tinggal menyisakan batang batang yang memutih tak bernyawa, tunduk takluk pada selera musim yang mengangkanginya. Hanya debu dan bangkai dedaunan yang seolah tak memberi harap apa apa.

Nun jauh di bawah permukaan tanah merekah tanapa kelembaban dan cahaya, kebebasan tak bisa dipenjara. Ia hidup dalam penantianya dalam, dimensi waktu yang tak punya simpul mati. Bau harum tanah kering yang tertusuk butiran air mengabarkan padanya tentang kehidupan yang bakal terjadi dan segera dimulai. Seperti halnya pagi yang datang mengantar cerita hari dengan setia; yang selalu berujud sebongkah misteri. Di bawah permukaan segala kehidupan mesti tak mencerminkan wajah bumi di diatasnya, dalam tatanan yang memabukkan keyakinan diri.

Wangi tanah basah seperti melantunkan syair para pujangga leluhur bumi, membujuk fikiran untuk mengembara menyambangi nisan nisan waktu yang berderet di sepanjang lorong nasib, lalu mengecupi sisa sisa manisnya yang berserak usang bagai pajangan di dinding ingatan. Sungguh hati berkehendak angin akan mengangkutinya pergi saja, jauh ke kota kota yang berisi kenangan untuk kemudian tunduk hening dalam upacara penguburan bangkai sang waktu ke makamnya yang abadi. Tetapi hendak dengan apa sang gunung api ini diselimuti? Keberadaannya terlalu nyata bahkan terkandung dalam oksigen dan di udara yang terhirup ke paru paru dan juga pada gas yang terlontar membaur jadi udara kembali setelah masa tugasnya selesai di labirin pencernaan.

O, betapa mengerikanya kerja sang fikiran jika ia hanya berlari pada kubangan yang sama tiap waktunya. Gelap dibawah permukaan alam kenyataan yang benderang dalam lingkupan cahaya matahari. Betapa malangnya manusia biasa dengan beban yang luar biasa, ketika kebohongan melahirkan bayi kebohongan baru dan menjadi koloni dalan kehidupanya. Maka temannya tinggalah mimpi buruk yang meniadakan jeda antara alam fikiran dan kefanaan dunia.

Hujan pertama pada kemarau terakhir, telah meyisakan kemurungan yang terkurung dalam gelap yang diam, jauh dibawah permukaan yang menyembunyikan suara nafas…

Nutricia, 061120

Thursday, November 02, 2006

Farewell


Maka tiba waktunya angin membawanya pergi. Menghembus layar perahunya yang bolong sana sini, menuju ketidak mengertian arah sekelabu keyakinan yang dipaksakanya sendiri. Kakinya yang pincang telah lama menyerah, pada layar perahu nasib pemeberian dari perjalanan masalalu.

Kemuliaanya tertutup oleh sebongkah bangkai rasa, yang mati terkhianati oleh bayanganya sendiri, bahkan oleh separuh otot dan ruhnya sendiri. Kebanggaanya ikut mati, terkubur dangkal di pemakaman eksistensi. Ia kini jadi wasit tanpa fungsi, tanpa peran hanya penonton yagn terjebak jarak terdekat dari pertunjukan besar dalam kerangkeng tempat para korban mempertaruhkan segala pengabdian bagi hidup yang di impikan.

Kini tiba saatnya arah menciptakan jarak yang menjauh, menceraikan tawa bersama dari cubicle tanpa muatan kecuali kerikuhan. Tangan dilambaikan sebagai basa basi terakhir sebelum cemas menyergap di sepuluh meter pertama perjalanan babak baru. Puja bakti diharapkan sedangkan otak telah hancur lebur berantakan. Apa yang terpecah tak bisa disatukan lagi di sini. Begitulah aturan dunia, adat dunia…

Selamat tingal ladang mimpi, pernah terpanen buah dari bertahun tahun harap yang dulu tersemaikan dengan optimisme, terpupuk oleh keringat dan tersiangi degan nyali yang kini mengkristal menjadi setengah lembar surat keterangan berisi catatan perjalanan.

Permisi, tanya harus tertaburkan selama pergi menuju tanah baru lain lagi. Terimakasih kepada kemurahan hatimu yang telah sempat memberiku alasan atas kebanggaan yang menjadi kesemestian seorang manusia…


Gempol, 061102

Thursday, October 19, 2006

Tentang Poligami

Dalam antropologi sosial, poligami artinya adalah merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu istri atau suami sekaligus pada suatu saat. Dilihat dari ‘pelaku’nya, poligami kemudian dibagi lagi menjadi poligini untuk lelaki yang beristri lebih dari satu orang dan poliandri untuk wanita yang memiliki beberapa suami sekaligus.

Terlepas dari aturan nilai (ajaran agama) yang membolehkan praktik ini terjadi maupun undang undang yang dikeluarkan oleh negara sebagai landasan legalitas praktik poligami, secara sederhana poligami lebih dimaknai sebagai kehidupan yang mendua dari sebuah ikatan cinta dengan akta nikah sebagai pengikat hukum dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Poligami jika dilihat dari sisi ajaran nilai (agama) semata akan membentur pada sebuah pembenaran, mengesampingkan soal ‘rasa’ yang dialami bagi yang mengalaminya. Tidak peduli apakah azas kawin ganda itu diletakkan pada lantai rasa keadilan ataupun alasan apapun, rasanya tidak realistis untuk membentuk satu rumah tangga dengan beberapa orang sekaligus.

Sungguh naïf terdengar jika seseorang beranggapan bahwa memiliki pasangan hidup lebih dari satu (yang terikat dalam hubungan suami istri) adalah hak dan kebutuhan. Soal hak barangkali masih bisa ditoleransi, tapi kalau kebutuhan??? Bukankah alasan orang yang pertama menikah adalah karena cinta yang mengikatkan mereka dan kemudian berkembang menjadi satu keinginan untuk membentuk sebuah rumah tangga yang mewakili identitas mereka? Sedangkan sebuah rumah tangga atau keluarga adalah investasi sosial yang menjadi tempat bagi berkembangnya sebuah silsilah baru, pengisi ramai kehidupan peradaban dunia.

Kecenderungan poligami terjadi pada kalangan orang yang memiliki ‘kekuasaan’ entah secara material maupun secara sosial. Raja memiliki selir, pemimpin agama (maaf), pemimpin bandit, pemuka satu komunitas, bahkan orang biasa yang kebetulan memiliki kemampuan finansial. Kecenderungan praktek poligami di kalangan ‘pemuka’ ini jelas memberi inspirasi bagi siapapun yang ada dalam lingkaran kekuasaanya bahwa kawin ganda juga bermakna kemampuan sosial, predikat tersendiri dalam lingkungannya. Kaum lelaki memiliki keleluasaan yang lebih luas ketimbang kaum wanita dalam mempraktekkan kerakusan status seperti ini, dengan menggunakan ajaran agama dan hukum pemerintahan sebagai alat melanggengkan keinginan duniawinya. Bahkan sebagian orang lelaki picik malah memilih menggunakan hitung hitungan matematis dari masa reproduksi wanita sebagai salah satu kiat memilih istri istri.

Wanita yang dikodratkan lebih lemah dari kaum pria terkadang terjebak dalam situasi dimana mereka tidak bisa menolak atau melawan dari kehendak suaminya sendiri untuk mengambil istri baru. Ungkapan klise “ Perempuan mana sih yang sudi dimadu?” mengandung nada protes yang begitu tandas. Sebagian wanita memilih bercerai daripada hidup dalam permaduan, sedangkan sebagian lagi yang malang sungguh tidak bisa menolak dimadu karena ketergantunganya terhadap si pria. Ketergantungan secara ekonomi (nafkah), dan ketergantungan lainya yang membuat si wanita kemudian lebih memilih berkompromi dengan jeritan hati sendiri, menerima di madu selama masih mendapat jaminan keamanan sosial dan finansial dari si pria.

Apapun alasanya poligami tetap mencerminkan ketidak adilan dalam ukuran standar maknanya sendiri. Poligami bagaimanapun idealnya, tetap melambangkan sebuah keterpaksaan dari salah satu fihak yang merasa seharusnya tidak diperlakukan seperti yang tidak seharusnya. Keharusan inilah yang bagi setiap orang memiliki kelenturan alasanya sendiri sendiri. Poligami sedikit banyak mengandung unsur keterpaksaan di dalamnya, bukan kerelaan hati seikhlas ikhlasnya meskipun seringkali kemudian azas keadilan dijadikan alasan pembelaan terhadap ketidak adilan itu sendiri. Bukankah ada fihak yang begitu egois jika kita mau merenungkan sedikit hakekat poligami? Intinya, adilkah seorang membagi kewajiban untuk lebih dari satu orang sekaligus dalam ikatan rumah tangga, sedangkan idealnya sebuah rumah tangga terdiri dari satu istri satu suami dan anak anak yang dihasilkan sebagai buah cinta.

Jika kemudian ajaran agama maupun perilaku pemimpinya dijadikan alasan pembenaran praktek poligami, maka kita tidak beranjak dari peradaban purba dengan kondisi fisik dunia yang semakin maju seiring dengan pola pikir umat manusianya. Sebuah contoh tragis yang mungkin tidak bisa kita lupakan begitu saja adalah pembantaian dengan bom bunuh diri oleh beberapa orang yang menafsirkan sendiri secara individual tentang kepercayaan moral yang diyakini sebagai kebenaran baku. Kepercayaan yang fanatik terhadap ajaran nilai justru menodai bahkan menganiaya keluhuran nilai yang terkandung di dalamnya sendiri. Demikian pula halnya dengan poligami, bahwa semestinya kekuatan seseorang kalau ditara dari sisi nilainya, seharusnya dipergunakan untuk melindungi dan menguatkan fihak yang lemah, bukan kekuasaan untuk menjadikan individu lain alat pelengkap atribut kekuasaan sosial.

Banyak kita jumpai praktek poligami oleh kaum pria terjadi di sekitar kita, saudara. Masing masing memiliki alasanya sendiri sendiri, pembenaranya sendiri sendiri. Sebuah penjajahan dalam lingkaran yang sangat pribadi. Ketidak relaan yang terpaksa diterima sebagai takdir, yang melambangkan betapa lemahnya kemandirian kaum wanita. Wanita menerimanya juga dengan berbagai alasanya, berbagai keterpaksaanya. Anak anak sering dijadikan pertimbangan utama sang ibu untuk menerima rasa perih dan hancur sebagai istri yang di madu, dengan pesimisme bahwa si ibu tidak akan bisa memberi lebih baik dari ayahnya. Kisah perih poligami ini terkam dalam sebuah tulisan panjang yang mungkin suatu hari akan muncul di blog ini suatu hari nanti. Tetapi cerita panjang itu yang mendasari pandangan individual bahwa apapun bentuk dan alasanya, poligami tetap sebuah ketidak adilan yang menyebabkan kehancuran bagi sebagian harkat hidup, pun juga mempengaruhi pemahaman akan kehidupan bagi generasi generasi berikutnya yang dihasilkan dari praktek poligami ini.

Sebuah kepedihan panjang kerap menjadi ending story dari praktek poligami, apalagi jika alasan poligami hanyalah keserakahan nafsu semata. Kepedihan di depan mata itulah yang melandasi penolakan terhadap pembenaran terjadinya praktek poligami dengan alasan apapun bahkan iba hati, apalagi terhadap diri sendiri…


Cubicle, 061019
(on a quiet noon when your tiny eyes wont stop staring at me, undressing me like you always do when we were together)

Wednesday, October 18, 2006

Anatomi kecewa

Kekecewaan menghela hati untuk berjalan membelakangi masa depan dengan kaki menjuntai di angkasa dan darah yang serta merta menjebol ubun ubun kepala. Darah yang menggumpal dari timbunan sedimen waktu masalalu. Berharap penghianatan tidak pernah terjadi sungguh sama dengan berharap masalalu tidak pernah ada; sama sama mustahil. Semakin nampak jelas lukisan luka, semakin terasa pula perih yang meraja. Selebihnya menjadi kehidupan seolah olah, kehidupan seakan akan, dan tentu siksa yang semena mena dan amat pribadi.

Upaya apa lagi yang musti dicobakan jika kepala tak lagi berisi fikiran? Kehidupan terasa mengerucutkan keinginan dan ketidak inginan semakin melambung jauh meninggalkan alas pijakan tanah kenyataan dengan sayap sayap pengingkaran yang rajin memberontak dan berakhir dengan kesia siaan. Menerima adalah melepaskan apa yang disesali telah terjadi dan tercatat dalam buku harian riwayat diri. Mengobati luka hati punya caranya tersendiri untuk diekspresikan, yaitu dengan menyembunyikan punggung dari terpaan angin maupun hembusan udara, menyembunyikan dari terang sang matahari.

Belajar dari matahari pada jam sembilan pagi dimana embun menguap jadi misteri, adalah telaah filsafat basi bahwa hidup berjalan dalam siklus rutinnya sejak jutaan era yang telah terlampaui. Selamanya begitu begitu dan seterusnya begitu begitu saja. Sederhana. Sedangkan wujud perubahan hanya terjadi atas kuasa waktu. Menguasakan perubahan kepada jarum arloji yang berdetik pastipun selamanya membawa muatan harapan, permintaan atas rasa hati yang ideal, jauh dari aroma kekecewaan yang sama saja dengan menabur benih kekecewaan itu sendiri.

Kaki yang melangkah menjauh usahlah ditangisi, sebab tak ada satupun ayat yang bisa membuatnya berhenti menjauhi lagi. Bahkan jutaan tahunpun berisi kisah kisah yang sama juga, tentang pertemuan tentang perpisahan dan detail kejadian diantara kedua titiknya. Utamanya bagi mereka yang telah kehilangan air mata oleh sebab habis terkuras sepanjang perkelahiannya sendiri dengan sunyi setiap malamnya. Tak perlu lagi luka itu sebab sakit hanyalah soal dramatisasi rasa. Sedangkan rasa sakit selamanyapun sama. Bagitu begitu juga, begitu begitu saja, tidak berubah sejak dari sejarahnya. Kepastian yang baku tetaplah jadi misteri tanpa jawaban sampai akhirnya pengetahuan mengelupaskan kulit yang membalut kesejatian diri. Ialah jika kelak raga tergeletak tak berdaya di damai bumi bunda, disejuk tanah berdebu , dibawah rumpun bambu dimana butiran lumpur kering saling bercerita tentang kisah perjalanan menyusuri lereng bukit tanah merah, lumpur kering dari musim lalu…

Biar, lepas sudah jangkar menancap di terumbu karang, menyilakan jiwa semata wayang ditumbuhi ganggang dan menari di tempat dalam ayunan irama permainan angin harapan dan arus kekecewaan. Memang begitulah sejatinya hidup dilakonkan (?) dengan tanya yang perlahan padam. Sampai akhirnya kelak satu demi satu episode terbacakan bagi siapapun pejalan yang singgah hanya jika matahari mempecundangi gelap yang mengurung diam. Atau terlupakan begitu saja ditimbun waktu yang tak terukur dengan perkiraan...


Gempol menjelang fajar, 061018

Monday, October 16, 2006

Rumah bagi si sakit

Saudara, jika kita kebetulan miskin dan karena satu dan lain hal menderita sakit dan harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, maka alternative ekonomisnya adalah rumah sakit pemerintah. Tetapi sebelum berangkat dari rumah, mohon di siapkan untuk satu tambahan lagi penyakit, hanya satu saja tambahan yakni sakit hati!

Memang Negara punya kewajiban untuk memelihara kesehatan warganya termasuk juga mengobati dan merawat mereka yang sakit. Untuk itulah ada anggaran kesehatan, merekrut orang orang yang berprofesi sebagai dokter, perawat, pegawai administrasi, sampai tukang kebun untuk menjalankan fungsi rumah sakit pemerintah. Jangan kecewa jika bayangan rumah sakit sebagai alat pemerintah adalah institusi yang mengemban fungsi sosial atas nama negara itu kemudian ternyata memiliki performance yang kurang baik alias buruk. Namanya pelayanan, memang selalu diharap untuk memberikan kesempurnaan setidaknya kepuasan bagi yang dilayani. Warga negara yang menderita sakit.

Calon pasien secara emosional menyandarkan harapan atas kesembuhan ataupun penanganan medis terhadap rumah sakit yang notabene dijalankan oleh elemen elemen individu yang ada di dalamnya yang di gaji oleh pemerintah. Calon pasien yang harus juga meyiapkan biaya pribadi atas jasa layanan tentu mengharap ‘hospitality’. Proses administrasi yang sederhana dan mudah juga layanan non medis berupa empati yang cukup dari setiap orang yang terlibat dalam berjalanya system rumah sakit sungguh diharapkan dari setiap pasien yang tidak selalu tidak bisa terbiasa dengan birokrasi administrasi rumah sakit pemerintah. Namanya juga sakit fisik, maka mentalpun ikutan merasakan sakit juga dengan mengharap perhatian dan kepedulian melebihi jatah biasanya, jatah orang sehat.

Kekecewaan calon pasien sudah resmi menjadi burden pertama yang akan menghambat proses kesembuhanya sendiri. Birokrasi (administrasi) yang berbelit belit, waktu tunggu yang seolah olah selamanya sampai jemu, sikap acuh dari para perawat dan staff dan juga dokter yang berseliweran membumbui sakit hati semakin sedap dirasa. Pada satu contoh kasus, si calon pasien sudah menunggu dokter selama dua jam lengkap dengan kebosanan dan sakit yang tertahankan. Ia harus rela menangguhkan rasa sakit berlama lama sedikit hanya karena dokternya belum ada di tempatnya alias belum datang, entah dimana rimbanya. Waktu menunggu dua jam itupun sebagai tebusan untuk sesi konsultasi selama delapan menit saja. Belum lagi jika dokter A merujuk ke poliklinik lain dan di jawab oleh staf bagian administrasi dengan jawaban ringan “ dokternya sudah pulang, silahkan kembali besok saja”. Maka “besok” itupun si calon pasien harus melewati birokasi administrasi yng mirip labirin bagi tikus percobaan.

Pendekatan pelayanan rumah sakit pemerintah adalah salah satu hal yang patut untuk di reformasi. Rumah sakit secara harafiah adalah rumah bagi si sakit dimana si sakit berharap menadapap perlindungan dan perawatan baik jasmani maupun rohani, mental dan fisiknya. Menempatkan calon pasien sebagai kambing congek yang tak tahu apa apa tentang seluk beluk pelayanan medis menjadikan para abdi masyarakat yang bergelantungan dari gaji subsidi pemerintah itu seenaknya melayani calon pasien dengan standar ala kadarnya. Calon dan pasien mengharapkan greget pengabdian, dedikasi terhadap aspek kemanusiaan maupaun sosial di terapkan terhadap mereka. Orang yang sakit menjadi super sensitive terhadap yang namanya kepedulian atau lebih lagi terhadap sentuhan rasa kasih sayang. Kecuali para pegawai rumah sakit pemerintah tersebut tidak pernah mengalami sakit, tentu lain lagi urusanya.

Saudara, mari membayangkan satu utopia, sebuah kondisi rumah sakit pemerintah yang mencerminkan makna ‘hospitality’ yang sesungguhnya. Calon pasien diperlakukan seperti tamu, seperti famili sendiri jika perlu, degna system manajemen yang memberikan kemudahan seluas luasnya serta kenyamanan sebesar besarnya. Pelayanan yang ept, dengan pendampingan yang bersifat individual bahkan calon pasien tidak harus menunggu berlama lama hanya untuk urusan administrasinya. Keramah tamahan dan juga sikap ‘merawat’ sejak pertama masuk pintu rumah sakit adalah setengah terapi yang mujarab bagi apapun penyakit yang kekeluhkan. Pelayananan yang seperti itu akan menimbulkan kecintaan terhadap institusi rumah sakit yang juga kebanggaan terhadap pemerintah, terhadap perasaan sebagai warga negara sendiri dan tentunya kepada negara.

Mohon maaf jika sekiranya tulisan ini sangat spesifik bagi calon pasien miskin yang mendambakan perawatan yang cepat, mudah dan murah dari negara (pemerintah sebagai pemomong, abdi warga negara) tanpa tambahan sakit hati. Anda tidak termasuk salah satu calon pasien seperti itu, bukan?

Gempol, 061016

(* Tertulis sebagai catatan atas proses panjang selama empat hari mengurus administrasi sebelum akhirnya KM bisa di operasi karena menderita Osteoma tibia dextra ujung proximal dibawah tulang sendi lutut kanannya. Tulisan ini juga sebagai ungkapan rasa terima kasih setinggi tingginya kepada perawat, staf, dokter dan siapapun yang membantu melayani kami. Semoga Tuhan yang maha pemurah membalas budi baik anda semua. Amin).

Thursday, October 12, 2006

Sebuah mimpi buruk

Syahdan di suatu kala. Di sebuah ladang dengan tetumbuhan kacang tanah yang sedang tanggung umurnya, ada seorang perempuan berjubah panjang berwarna hitam, rambutnya panjang tergerai dipermainkan angin. Ia berteriak menyanyi dan menari membinasakan tetanaman kacang tanah yang sejuk di kaki jadi pijakan. Ia bernyanyi dan menari tanda kegirangan. Perempuan itu adalah sahabat kita yang kita kenal entah kapan entah dimana, bahkan aku lupa siapa namanya. Tapi wajah dan penampilan fisiknya begitu familiar buat kita. Perempuan itu terus bernyanyi dengan suara kencang, dari mulutnya menyembur nyemburkan nyala api merah kekuningan. Engkau tergesa gesa menusulnya, aku mengikutimu dari belakang dengan kecemasan yang kusembunyikan. Di wajahmu menampak kesal bersungut sungut. Ketika sampai di ladang kacang itu engkau terdiam, menangis di ujung pematang menyaksikan sahabat kita terus menari dan menyanyi kesetanan. Jelas engkau prihatin atas apa yang terjadi di pemandangan. Sedangkan aku, melompat riang ke tangah satu petak ladang dimana sejuk lembar tetumbuhan menyapa telapak kakiku. Aku ikut bernyanyi dan bermain lidah api bersama perempuan itu.

Ada gubuk kecil disana, seorang lelaki tua bertelanjang dada dan anak kecil yang juga bertelanjang dada di sebelahnya. Keduanya diam tanpa ekspresi, kulitnya hitam, matanya merah. Sorot mata keruhnya tajam, tak berkedip memandang aku dan perempuan itu menari dan menyanyi histeris. Aku terus melompat mengikuti nyanyian sahabat kita. Dua orang bertelanjang dada itu terus mengawasi, sinar matanya menelanjangi pengetahuan tentang diriku sendiri. Di ujung pematang tempatmu berada memuja rasa kini hampa. Engkau pergi lantaran kecewa. Perempuan berjubah hitam berambut panjang itu kini gembira mendapatkan teman menyanyi dan bermain lidah api. Tiba tiba api di mulutnya tak menyala lagi. Suara gemuruhnya tak ada lagi.

Nyanyian terhenti, tetarianpun diam. Bumi kembali sunyi. Tiba tiba aku merasa ada sesuatu yang besar dan berat menubruk dan membekap punggungku dari belakang. Sepertinya seekor anjing. Ya, seekor anjing yang besar dan hitam telah mencengkeram tubuhku dari belakang. Kedua kaki depanya berubah menjadi lengan lengan kekar yang kuat memegangi muka dan kepalaku. Aku memberontak sebisanya memberontak, memberikan pemberontakan terbaik sekuat tenagaku melawan rengkuhanya yang mengerikan. Terbayang gigi gigi tajamnya siap menghujam tengkuk, dan aku berkelahi sejadi jadinya melawan. Binatang itu tak berhenti menggeram marah. Suaranya menggemuruh memenuhi rongga pendengaran mas. Aku mulai cemas akan tergigit dengan kekuatanya yang aku rasa begitu perkasa. Aku bantingkan badan ke tanah, menarik kedua tangan binatang itu agar menyingkir dari tubuhku. Tetapi cengkeramanya begitu kuat. Aku gagal pada usaha pertamaku.

Pada satu detik aku memutar badanku, menyiku ulu hati binatang itu yang membuatnya menjerit kesakitan padahal aku tidak merasakan terjadi benturan. Sedetik kemudian aku hujani binatang itu dengan pukulan sekuat tenagaku, dan setiap kali menghujam tanpa benturan binatang itu surut mengendurkan cengkeramanya di tubuhku. Setiap pukulan membuat binatang itu berganti bentuk, yang perlahan berubah menjadi sosok manusia berwajah aneh, dengan pakaian serba putih. Wajahnya benar benar aneh, tidak punya ketetapan bentuk pasti. Warna kulitnya putih pucat seperti mayat. Wajah mengerikanya tampak murka oleh pukulan yang aku hujankan ke tubunya.

Inilah kesempatanku untuk lari menjauh dari monster yang kepayahan itu. Aku berlari menyusuri lorong sempit dengan tembok tinggi disamping kanan dan juga kiri mengarah ke luar dari areal perladangan. Rasa takut, letih dan cemas menggelayut disetiap langkah yang aku ayun cepat. Mahluk putih itu mengejar dan mengikutiku berlari, bayangan keganasanya menyerimpung langkah ringanku sepanjang lorong. Dibelakangku kini tampak anak kecil tak berbaju, mukanya merah karena marah dan ditanganya menenteng senapan laras panjang. Ia ikut mengejarku sekarang. Pada sebuah cabang lorong sempit itu, aku sembunyi menyambut pengejarku. Pengganggu pengganggu ini harus selesai di tikungan ini, pikirku. Ketika aku mengintip dari sudut tembok, anak kecil bermata merah itu ternyata telah siap membidikkan senapanya tepat ke arah bola mataku dari jarak sekitar satu meter. Serta merta kuhamburkan sangkar burung yang ada di samping kiriku untuk memecah konsentrasi bocah celaka itu. Anak kecil itu terganggu, dan sekali tendang maka selesailah perlawanan bocah sok jagoan itu, pikirku. Aku keliru. Ternyata anak kecil itu lihai menggunakan senjatanya. Badanya yang kecil lincah kesana kemari menghindari serangan kaki dan tanganku.

Tiba tiba aku ingat, aku harus kembali ke ladang itu. Tika ada disana, tadi ikut serta dalam perjalanan kita. Dia pasti tidak punya pikiran lain selain menungguku menjemputnya. Sungguh anak yang polos dan baru mengerti sedikit tentang permainan hidup orang dewasa. Sejurus kemudian bocah hitam itu telah berubah bentuk menjadi seekor anjing besar berbulu hitam yang semula menyerang. Aku berkelahi lagi sejadi jadinya, kepayahan kehabisan tenaga. Tapi aku yakin aku akan bisa mengalahkan mahluk celaka itu. Sat ketika aku jatuh tertelungkup melawan seranganya yang membabi buta, dan terbangun dengan nafas memburu, tersengal sengal dengan kedua tanganku mengepal, tersentak seketika duduk dari tidurku. Satu jam tidur yang mengerikan terbawa sampai kaki menapak alam kenyataan,. Iblis iblis itu ada disekitar kita, hidup di belantara mimpi. Mereka bersembunyi menunggu saat aku tertidur lagi entah kapan, untuk menyerbu dan memaksaku berkelahi lagi…


Gempol, subuh 061012

Monday, October 09, 2006

Penjahat

Trend kejahatan menjelang tiga minggu menjelang lebaran semakin gila gilaan! Membunuh bagi perampok adalah hal yang lumrah sebab bagi mereka merampok adalah menjalankan operasi dengan misi yang jelas dan sadar akan resiko yang amat tinggi. Merampok menjadi pilihan profesi ketika menjadi maling kelas teri justru resikonya tidak sebanding dengan kuantitas penghasilan yang ditargetkan. Jambret HP sampai maling ayam atau maling sandal jika ketahuan dan ketangkap massa akab bisa mengakibatkan muka memar, kepala benjol benjol, tulang patah patah, gigi rontok bahkan bisa bisa nyawa di badanpun raib dihakimi (dihukum) beramai ramai.

Ini negeri penjahat, dimana bagi yang mampu bisa melegitimasi aksi kejahatan dengan sistematis yang sering dinamakan korupsi. Artinya sama saja; maling!. Maka bagi penjahat jalanan yang berpikiran maju dengan nyali yang mencukupi, merampok menjadi alternative pilihan yang menggiurkan. 3 miliar bisa diarup dalam satu aksi, atau paling tidak uang tunai puluhan bahkan ratusan juta rupiah bisa berpindah hak kepemilikan dalam satu gebrakan yang direncanakan matang. Tak peduli siapa yang menjadi korban, sebab dalam terminology penjahat mereka adalah target yang sudah di peta dalam perencanaan matang dengan scenario yang detail, bukan asal asalan. Mungkin ibaratnya tebang pilih dalam menentukan siapa menjadi korban. Sungguh sebuah daya kuasa yang amat besar berada di tangan para penjahat terorganisir spt ini.

Tentu hati miris setiap kita mengetahui aksi biadab para penjahat yang dengan semena mena mencabut nyawa orang yang sedang mencari nafkah bagi keluarganya, dengan sefihak mengambil alih kepemilikan atas sejumlah materi dengan paksa. Sama saja, sang penjahat juga punya dalihnya tersendiri dalam menjalankan aksinya, yakni mencari penghidupan bagi keluarga yang menggantungkan harapan kepadanya. Inilah jalur ‘formal’ bagi mereka yang memiliki nafsu material besar denga kesempatan mendapatkan secara halal sangat terbatas. Kita masih ingat nama nama yang menyeramkan dari masa lalu seperti Kusni Kasdut dari Solo, Toyib dari Palembang, Johny Indo yang kabur dari Nusakambangan, Anton Medan yang kesohor mengusai dunia hitam dst dst. Tokoh tokoh itu begitu menyemarakkan dunia perpenjahatan kita dimasa lalu. Bedanya, mereka melakukan aksi mereka dengan elegan, dengan cara yang lebih sopan meskipun tetap saja penjahat, tapi penjahat elite di masanya.

Di masa reformasi, kenapa penjahat penjahat ini begitu brutal dan main dar der dor di jalanan bak film laga buatan Hollywood yang sering kita tonton di tivi tivi?

Pertama, karena memang mereka ‘pintar’ membaca peluang dari kelengahan sang korban. Si korban sering termakan dengan anggapanya sendiri bahwa siang bolong, keramaian adalah perisai anti penjahat yang mumpuni. Sungguh naïf pemikiran seperti itu. Ah, itu hanya berlaku bagi penjahat yang pemalu, saudara! Security awareness masyarakat kita masih sangat rendah dengan menyepelekan scenario terburuk yang mungkin terjadi dengan diri kita sendiri. Padahal, di siang bolong, di kerumunan maupun di kesunyian penjahat selalu ada, mereka beraksi tanpa membedakan dimensi waktu dan ruangan. Penjahat ada dimana mana dan tidak satupun dari mereka yang bisa kita kenali sebelam kita menjadi korbanya, bahkan sesudah kita celingukan gusar menjadi korban.

Kedua, karena gampangnya memeperoleh senjata api di negeri ini. Regulasi pemerintah tentang kepemilikan senjata api yang menetapkan pajak dan perijinan dengan harga tinggi itu jusru menjadi pupuk penyubur bagi keberadaan pasar gelap senpi illegal. Negeri kita menjadi pasar raksasa yang potensial bagi banyak benda ilegal, juga sebagai surga bagi kegiatan penyelundupan. Angka pengangguran yang mencapai 10,4% baik pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung menciptakan kondisi tingginya permintaan pasar akan ‘alat’ bekerja seperti senpi yang bisa mengahsilkan beratus kali lipat dari modal awal (jika bernasib mujur. Kebanyakan sih, mujur!). Di sisi lain ‘oknum’ aparat Negara yang memang dibekali dengan senjata pembunuh sebgai kelengkapan mengabdi kepada negeri ada juga yang kurang dilengkapi dengan bekal moral yang cukup dalam mengaktualisasikan diri sebgai pengemban kedaulatan tatanan Negara. Para oknum ini acap kali dengan ikhlas rela ‘meminjamkan’ atau menyewakan alat pembunuhnya kepada para penjahat atau bahkan terjun langsung mempraktekkan keahlian mereka memainkan senjata api dan juga membangun strategi serangan.

Ketiga, adalah abrasi budaya. Sifat ketimuran kita yang rahmah tamah sering dimanfaaatkan oleh orang berhati licik (kelak disebut sebgai sang penjahat) untuk justru mengambil keuntungan. Tatanan kehidupan yang ‘friendly’ menjadi tinggal semacam simbol, sementara dengan mudahnya kita temukan sample sample tentang kekerasan disekitar kita. Lihat saja di seinetron sinetron yang juga di tonton oleh anak anak usia ‘pencarian’ identitas diri, begitu akrab dengan kekerasan, konflik, intrik, bahkan senjata apipun telah menjadi benda yang bukan keramat lagi sebagai alat kekerasan dalam tontonan bertajuk hiburan tersebut. Abrasi budaya yang demikian parah telah mengambil jatah kendali terhadap pola pikir dan gaya hidup yang juga mengajarkan orang untuk mencintai harta apapun caranya. Kesenjangan sosial di eksploitir sedemikian rupa sehingga tanpa sadar semakin memperparah abrasi terhadap budaya kesopanan kita. Kondisi hidup yang serba kompetitif dan ketat tercipta dari abrasi budaya baru ini dan dengan alami mencari solusi pemenuhan. Akhirnya jalan pintas muncul sebagai alternatif meskipun itu dengan cara merampok, merampas menguasai hak orang lain dengan cara paksa atau kekerasan.

Nah, saudara! Buka mata, buka telinga untuk setiap inci dinamika disekitar kita. Satu hal kecil yang diluar kebiasaan bisa menjadi indikasi akan terjadinya sebuah kejahatan besar yang mungkin saja menimpa kita atau orang orang disekitar kita. Lindungi diri dan keluarga kita dari kejahatan dengan selalu mengedepankan logika pencegahan, sebab kita tidak pernah akan sadar bahwa kita telah kecolongan sebelum kita menjadi korban, dan para penjahat tidak dapat kita kenali sebelum bahkan sesudah kejadian menimpa kita. Tapi mereka ada disekeliling kita, diantara kita dan menunggu peluang untuk memilih kita menjadi target operasinya.

Ingat, kejahatan terjadi karena adanya niat, kesempatan dan kemampuan!
Waspadalah…Waspadalah…!!!!

PS. Ditulis sebagai batu pengingat atas maraknya perampokan brutal bersenjata api tiga minggu menjelang lebaran 2006.


Gempol, menjelang subuh 061009

Friday, September 29, 2006

Tiang goyang sandaran nasib

Adalah hati jua yang merestui, tiang sandaran tetap berdiri diatas fondasi labil ketidak pastian yakin. Justru ketika kaki tercerabut dari akar tanah kering hasil bangunan ribuan tahun yang lengang dan melelehakan. Fondasi di udara akarnya menggantung mencari cari pegangan atas asa yang melapuk pelan pelan.

Durjana telah meremasnya jadi cerita, santapan minum bir di rumah bordil sepanjang jalan, memperlakukanya bagai barang mainan yang tak punya hak merasakan apa apa. Dijejalkanya neraka ke dalam syaraf sang tiang hanya agar dia tetap berdiri jadi sandaran nasib meski goyang dihempas bimbang berkepanjangan.

Sepenggal demi sepenggal kepalsuan yang menyakitkan bahkan menghancurkan ternyata rapi jadi pajangan sejarah baru bagi si tiang goyang. Bahkan tangis dari kesedihan dan darah dari luka yang menyatu jadi amarah atas akar yang dihentakkan serta merta tak punya nilai apa apa bagi kebahagiaan moral.

Tiang goyang sandaran nasib, menanggungkan cerita panjang tentang kisah kepahlawanan basi yang perlahanpun jadi palsu jua. Jubah kemanusaiaan dikenakan jadi penghiburan yang sia sia, luluh lantak di lumat sesal dari panen yang gagal. Beraja pincang dalam pelukan beku, kematian palsu dalam kehidupan yang palsu. Ia hanya menunggu entah matahari entah bulan yang akan mengantarnya kembali, menemukan jiwanyua yang telah sekian lama hilang ditebas tajamnya belati zaman.

Ketika musim mengantar cerita tentang kampung halaman dimana bunda setia menanti dengan dekapan tangan terbuka menyambut kehadiran, didendangkanya nyanyian sunyi di tanah kering tempatnya memenuhi kewajiban sebagai tiang tumpuan dengan ketidak relaan yang dipaksakan. Bahkan mimpi mimpi buruk yang hadir rutin setiap haripun tak mampu lagi ia pungkiri sebagi pijakan baru lagi setiap pagi datang menghamparkan pertanyaan tentang apa yang mesti terjadi dan apa yang mesti dibangun, sebab ketiadaan telah menjadi nafas dan ruh bagi tubuhnya yang terus digerus usia, dan mengapung di udara tanpa warna dan tanpa rasa…

Gempol, subuh 060929

Lelaki yang menunggu mati

Menempuh sisa perjalanan dengan langkah mundur ke belakang, dimatanya meneracap serpihan luka dari hatinya yang dihancurkan suatu ketika. Dan puing masa lalu menghampar di pandangan merengek kehilangan estetika warna, kehilangan estetika suara. Hidupnya jadi hambar, beku dan kaku. Tak ada rambu maupun tanda, seisi bumi jadi telanjang kehilangan warna. Belakangan ajaran nilaipun tak lagi sanggup memanggil nuraninya untuk kembali kepada kesejatian. Ia bangkrut tersesat dan luka, menampak pagi laksana senja dan bulan malam kehilangan pembeda dengan matahari di siang terik.

Jantungnya koyak tercabik masa, darahnya tercemar iblis yang rajin berak di kepala tiap detik, tiap menit, tiap jam dan setiap harinya. Di udara, di angkasa raya dia menggambar sisa sisa angan yang menyesatkan keyakinan. Ia mati dengan nyawa yang masih melekat di badang wadagnya. Sesal, amarah, dendam serta asa membayang bagai gumpalan udara yang berterbangan dipermainkan rusuh. Ia terperangkap di lubang pekat berisi lumpur api yang meleburkan sedih dan gembiranya.

Lihatlah kini, bahkan ia tak lagi melawan ribuan ibilis yang mencincang setiap tunas fikiran bayinya, dari fajar ke senja dan dari senja ke tepi fajar lagi. Kepada ajaran nilai yang kehilangan makna ia paksakan batin untuk meyakini bahwa usia akan mengangkuti sang jahanam ke liang kubur yang digalinya sendiri beberapa waktu silam. Menyembur ludah dari otak yang mendidih marah ketika sunyi hanya mengajarkan kata demi kata makian terbaik yang tak pernah terperdengarkan sepanjang abad. Ajari lelaki itu wahai Tuhan yang bersemayam di setiap kalbu manusia waras maupun gila. Tentang satu kata makian yang bisa mewakili ratusan tahun gundah agar ia sanggup menterjemahkan makna kenapa malam malam melulu berisi siksa.

Bahkan sampai tulang meremuk dan jantungya membusukpun telah ditinggalkan sang rasa. Tertabur oleh kelana bathin yang tersesat kian kemari dari sisi tembok ke tebing jurang ketidak mengertiannya. Lelaki itu hanya ingin sekali saja, malam datangkan damai, suguhkan tidur tanpa mimpi agar esok bisa busungkan dada bangga pada embun pagi hari dan juga pada hangat sinar matahari dan berseru gagah “ Aku laki laki…!”

Lelaki yang menunggu mati, terjajar letih di permainkan nasib. Ia abdikan perihnya bagi hidup yang bukan lagi menjadi miliknya…apapun rasanya, seperti dzat hidup lainya, ia hanya menunggu mati datang membungkus riwayatnya. Nanti, biar sejarah menceritakan bagaiman dia menjalani hidupnya…

Persembahan kepada iblis yang menjebol tempurung kepala, Gempol 060929

Thursday, September 28, 2006

Prasangka

Pertanyaan pertanyaan yang muncul dari adanya rasa terancam, adanya kecemasan terhadap kestabilan emosi, ketidak nyamanan perasaan dan keamanan hati acap kali melahirkan kesimpulan subyektif dalam fikiran. Alam fikiran yang tidak memiliki pigura yang membatasi daya gerak fikiran mengombang ambingkan pertanyaan yang mengayun dan beranak pinak menjadi lebih banyak lagi kemasygulan.

Berprasangka adalah cara logis sang otak bekerja melindungi hati dan ego dari kerusakan yang mungkin terjadi dengan diawali kesakitan oleh luka yang maya. Cara berfikir yang investigative dan cenderung menduga duga ini sering juga dinamakan syak wasangka, berpraduga, sangkaan apriori dan lebih parah lagi bisa menjurus ke arah yang lebih negative; fitnah. Fikiran itu sendiri adalah anak dan buah dari ketidak percayaan yang sudah impotent kehilangan daya keyakinan terhadap seseorang yang dianggap telah dengan sengaja menikamkan belati karatan di pungung kita di masa lampau.

Keadaan bisa berubah menjadi kekacauan apabila prasangka ini diimplementasikan dengan sikap apriori, menghakimi bahkan dengan mentah mentah menjabarkan kesimpulan sebagai sebuah keyakinan yang tidak terbantahkan. Prasangka dipaksakan menjadi sebuah kebenaran yang tidak terbantahkan, sementara sanggahan maupun upaya pelurusan hanya kan bersifat pembenaran dan pembelaan diri belaka. Keadaan ini bisa disimpulkan menjadi situasi gawat. Counternya adalah dengan memberikan penjelasan sederhana yang jujur tanpa mengarahkan dengan ekstrim bahwa apa yang disangkakan adalah salah atau benar. Cukup dengan fakta fakta logis sederhana dan singkat saja.

Karena urusan prasangka ini adalah domain dari emosi, maka pada saatnyapun dia akan meredup dan perlahan padam kembali menjadi kesadaran, penalaran penalaran masuk akal bahkan kemudian bisa difahami sebagai sebuah kesalahan proses berfikir, kesalahan menyimpulkan sebuah dugaan belaka. Itu bisa terjadi pada pribadi pribadi dengan kecerdasan emosional yang memadai bisa menganalisa fikiran sendiri dari luar lingkaran pengetahuan. Prasangka terbangun sering karena ketidaktahuan. Keengganan untuk mengenal dan memahami sesama.

Kenyataanya adalah bahwa kita masih sering menggunakan asumsi, prediksi atau dengan bahasa dalam tulisan ini disebut sebgai prasangka tanpa argumentasi logis untuk menyimpulkan penilaian terhadap seseorang. Kebiasaan seperti ini tentu tidak baik karena lebih banyak mudharatnya dan mengarah kepada sifat su’udzan karena akan menyebabkan orang untuk berspekulasi dan memprediksi berdasarkan landasan emosional belaka.
Jika kita introspeksi, entah sudah berapa orang yang tanpa sadar telah menjadi korban dari prasangka kita. Telah berapa banyak orang baik yang menjadi buruk di mata kita…

Cubicle, 060928

Wednesday, September 20, 2006

Kontemplasi Tigaenam


(catatan jarak antara dua titik; kelahiran dan kematian)

Keberanian

Ternyata bersikap berani tidak berarti bebas dari rasa takut. Rasa takut tetap ada, tapi keberanian mendorongnya sampai melampaui garis tepi dari batas pesimisme diri. Demikianlah hidup memerlukan keberanian untuk terus dijilati dan ditelan apapun rasanya, dan keberanian adalah sumber dari kekuatan. Keberanian untuk mengatakan kepada diri sendiri “ Aku tidak mau menjadi korban”, keberanian untuk memberontak diam diam dari penyelewengan aturan peradaban dan tatana kepantasan. Ada yang bilang bahwa seluruh kehidupan menghampar didepan mata pada satu detik terakhir kehidupan seseorang menjelang ajal. Bagiku, kehidupan adalah emosi jiwa yang berenang renang di lautan sang waktu dengan aksesori rasa takut dan juga bosan.

Perkawinan

Perkawinan menjadi symbol tontonan, sebagai pembuktian betapa normalnya kehidupan seseorang, bahwa mereka mampu melembagakan cinta dalam ikatan selembar akta nikah. Kita jadi tidak bisa menerima keadaan ketika hidup kemudian menjadi aneh, diri kita menjadi aneh dan terkucil dari kelaziman. Perkawinan menjadi payung pelindung bagi keanehan itu, mengurung rapat dari pandangan dan mengubah individu penyebab perkawinan maupun pribadi baru yang dihasilkan didalamnya menjadi manusia yang semakin aneh. dari dalam lingkaran perkawinan yang bergeser makna inipun traktat traktat tanpa tulisan acap kali menjamur menjadi komitmen rahasia bernama dunia kecil tak bertuan.

Kemarahan

Bagaimana mungkin manusia bisa memelihara amarah berlama lama jika disekitar kita terhampar lautan berisi keindahan, seperti titik titik bintang di angkasa raya. Bahkan duka yang paling mengerikan sekalipun bisa tergubah menjadi sebentuk keindahan yang mengajak hati untuk menari bersama, meliuk pada setiap hembusan angin tanpa suara dengan hati penuh ibarat balon yang siap meledak mencari pembebasan, mengabarkan keindahan dengan suka cita kepada seluruh isi dunia.

Syukur atas hidup yang konyol dan singkat

Tak ada yang lebih bermartabat dari nilai seorang manusia kecuali rasa syukur yang tak berhenti atas apapun rasa yang datang memenuhi rongga syaraf rasa. Hidup menjadi pabrikasi kisah kisah panutan bagi ribuan tahun kemudian, yang juga merupakan duplikasi dari kehidupan sebelumnya, mungkin ribuan tahu yang lalu. Bersyukur bahwa setiap tarikan nafas masih mengangkuti oksigen kedalam darah yang memberikan nutrisi sebagai penggerak akal fikiran yang memelihara hati.

Kompromi hati

Merelakan kejadian yang menyakitkan sebagai salah satu episode riwayat kehidupan barangkali memang satu satunya pengobat bagi hati yang hancur berantakan bahkan berubah bentuk oleh sebuah benturan. Kekecewaan yang menggandeng sakit hati adalah virus jahat yang menggerogoti pribadi menjadi pincang belang belang. Sedangkan kekecewaan timbul karena pengharapan yang membentur dinding dan menghambur hampa. Kompromi menjadi obat mujarab pembasmi virus jahat penghuni hati, menerima kejadian masa lalu bahkan pribadi rendah budi sebagai hal yang memang harus ada dalam catatan perjalanan nasib. Berkompromi dengan hati adalah berkawan dengan virus jahat yang setia memelihara kecewa sebagai isi dari sepersekian cc darah yang megaliri otak.

Kekuatan

Menjadi kuat adalah dengan tetap melangkah dengan kaki telanjang dengan ataupun tanpa topangan, mengangkat tanggung jawab di pundak sebagai galah pengukur kualitas diri. Kekuatan yang sebenarnya kekutan adalah ketika keberanian menggelontorkan energi untuk terus mengangkat tanggung jawab di pundak, meski dengan kaki gemetaran. Terus mengangkatnya dipundak tanpa harus meminta seseorang untuk merabai tulang kaki yang retak tertimpa tangga sesudah terjatuh dalah kebangkrutan sosial. Penggunaan kekuatan yang melebihi porsi dan tidak semestinyapun membuahkan kehancuran parah yang berakibat atas kehancuran orang kehidupan orang lain. Semestinya kekuatan (yang disadari) menjadi alat bagi sebuah usaha melindungi, menjamin dan memelihara keamanan jiwa seseorang yang mengandarlkan si empunya kekuatan. Sedangkan, sebagai mahluk sosial, tiap individu memiliki kekuatan sekaligus membutuhkan kekuatan orang lain dalam keberlangsungan kehidupanya.

Tanggung Jawab

Bahwa kualitas seorang individu diukur dari kesanggupanya menempatkan tanggung jawab diatas pundaknya, menanggungnya menjadi sebuah keharusan sebagai manifestasi dari keberadaan diri diantara himpitan sosial disekitarnya. Tanggung jawab semestinyalah membuahkan sebuah sikap berupa penghargaan berupa penjiwaan tentang bagaimana seseorang telah dengan segala kebebasanya memilih bertanggung jawab terhadap seuatu yang terkadang bukan mutlak tanggunganya. Kemuliaan budi, hanya dapat diukur dari penyerahan hak hak pribadi kepada sebentuk tanggung jawab atas perbuatan laknat orang lain. Tanggung jawab sungguhlah bisa berubah menjadi sebuah hak yang bisa ditolak maupun diterima berdasarkan pertimbangan nurani belaka.

Kebaikan

Sungguh tidak perlu menjadi manusia sempurna sebab akan mustahil dan sia sia belaka upaya itu. Menjadi orang baik adalah lebih dari cukup bagi ukuran seorang manusia…


Gempol, ketika Dulgani yang pemabok mulai mengacaukan keheningan subuh, 060920

Sunday, September 10, 2006

Hak menolak bertanggung jawab

Berputar putar pada lingkaran api, dua sayap patah ditimpas murka; kesabaran dan keikhlasan yang meletih membawa badan wadag yang semata wayang. Mencoba memberontak dari lingkungan dendam, hanya perih yang datang sebagai jawaban. Besi yang menancap di kepala terlalu perkasa untuk dipura purai keberadaannya, dengan makian dan hinaan sebagai palu godam penegas dominasinya.

Jika saatnya tiba, tanggung jawab atas beban tak berguna hanyalah pabrikasi dari sang iblis yang memaksa diri menjadi manusia mulia tanpa kemuliaan belaka. Semangat membandul menjadi beban ketika selembar kertas mengikat sebuah keharusan yang maha berat. Ya, tanggung jawabpun bisa berubah menjadi hak apabila kemudian ternyata hanya kesia siaan semata mengharap buah dari pengharapan yang ditebar acak di ladang tenggang rasa. Semestinya keikhlasan adalah melepaskan harapan atas apapun dan kesabaran adalah ketika diri harus tanpa batas mengukili sedikit demi sedikit keinginan yang menjadi tujuan serta menyingkirkan sesenti demi sesenti lapisan ketidak inginan.

Ludah didinding tembok dan sumpah serapah menghambur diudara menjadi puing penimbun hati yang berlobang menganga, mengkamuflasekan sejarah seolah sebuah jiwa tak punya rasa untuk sekedar merasakan luka. Lalu datanglah letih itu yang menyuguhkan kue kue alternatif sebagai penawarnya, opsi opsi pemberontakan atas lingkaran api yang mengurung dan membingungkan nurani. “Engkau punya hak untuk hidup yang lebih baik dari ini” kata hati memprovokasi semangat pemberontakan. Begitulah jika harapan hanya berbuah mentah setelah sekian lama diharap bisa jadi jamu pembangkit energi.

Jika tanggung jawab boleh diambil sebagai hak, maka menolak bertanggung jawab atas beban yang bukan kepunyaanpun semestinya bisa digolongkan sebagai hak yang boleh diambil dan diperjuangkan kapan saja. Sedikit mengabaikan hukum sebab akibat, setelah terbukti hukum itu hanya permainan atas pemutarbalikan fakta semata. Mengambil hak menolak untuk bertanggung jawab adalah sama halnya dengan memutus satu mata rantai dari lingkaran api yang membelenggu menguruskan diri. Ternyata sekian lama waktu bisa tidak bermakna apa apa bagi sebagian orang, ternyata tidak semua orang bisa mengambil pelajaran bijak dari pengalaman. Dan dalam cerita dunia, selalu ada orang yang mengambil porsi beban melebihi haknya atas nama kewajiban yang didoktrinkan oleh nurani, atau kewajiban yang dipakasakan oleh selembar kertas bukti dari cinta yang dilembagakan.

Saudara, terkadang kita terlalu memaksakan diri untuk memenuhi harapan orang lain terhadap kita, juga memaksakan diri untuk merasa berbahagia atas ketidak bahagiaan yang terjadi dalam hidup kita. Lebih ngenas lagi, sebagian dari kita menganggapnya sebagai tanggung jawab yang melekat dipundak, dengan pemahaman tentang tanggung jawab sebagai galah pengukur kualitas seorang manusia...

Gempol, 060910

Wednesday, August 30, 2006

Panggung Sandiwara

Bahwa dunia ini memanglah panggung sandiwara terbuka. Dimana kita saling menonton peran orang lain dan menonton pun mengambil peran sebagai penonton di panggung itu. Kita menjalani skenario cerita berdasarkan karakter dan cara masing masing, semuanya serba otodidak, alami. Dan, setiap kisah manusia itu, dengan penyuntingan yang tepat akan menampilkan kisah epik yang mengagumkan. Setiap orang memiliki epiknya sendiri sendiri, konfliknya sendiri sendiri juga klimaksnya sendiri sendiri. Penderitaan digambarkan sebagai semangat, sedangkan kesedihan dilukiskan sebagai harapan. Setiap kata dari dialognya bercita rasa sastra yang tinggi, mengayun ayunkan langkah setiap cerita. Para pemain sandiwara terbuka itu juga merangkap sebagai si pengarang cerita, berdasarkan ambisi yang memerlukan dosis kecil realitas. Orang berselingkuh dari hatinya sendiri semata mata karena takut akan kehidupan. Dunia, isinya melulu cerita tentang hubungan antar pribadi, dengan pemahaman pribadi pula. Persilangan dua pribadi membentuk sinergi dunia kecil dimana si pribadi saling hidup dan tinggal didalamnya, mengukir kisah riwayat diri didalamnya.

Berfikir tentang panggung sandiwara sedikit menyejukkan, bahwa pada saat ini dengan apapun yang dikerjakan dan alami juga rasa, adalah memerankan satu karakter dalam panggung sandiwara itu. Hanya pemeran saja, tanpa berhak memilih peran apa yang kita mau atau tidak sukai. Sebagian orang tampak harus membawakan peran yang lebih tragis dan mengerikan. Diri cuma bisa memandang, memperhatikan dan mencoba menganalisa bagaimana orang lain mengambil perannya masing masing. Setiap peran yang dilakoni memiliki tingkat kesulitan berbeda beda dengan standar pengukuran yang tidak baku. Peran diri menjalani apa yang dijalani sekarang juga hasil jerih payah diri menyusun cerita tentang akhir yang bahagia, tapi apa daya terkadang skenario dalam hidup tidak dapat dengan mudah diatur dan direkayasa karena keterlibatan peran peran lain dalam alur cerita kita. Jalan cerita bisa saja melambungkan pemerannya ke langit ke tujuh, dan pula menghempaskan sang pemeran menjadi serpihan debu dalam latar belakang kisah penderitaan.

Setiap kita dibekali dengan kemampuan untuk mempelajari peran peran lain. Yang mungkin lebih menantang, ataupun lebih mudah. Peran peran tersebut membentuk sinergi tentang sebuah alur cerita mengenai bagaimana panggung yang megah ini menjadi hidup dengan segala intrik dan strategi. Mengaitkan setiap babak cerita menjadi resensi atas kebolehan manusia memainkan perannya masing masing. Akhir cerita mungkin tidak akan mudah ditebak seperti layaknya sinetron yang marak di televisi. Akhir cerita dari sandiwara dunia di panggung nan megah ini terkadang pun tidak ada akhirnya. Setiap penonton bahkan diminta menterjemahkan sendiri apa yang terjadi ketika sebuah peran sampai di episode akhir. Pun begitu, sandiwara tetap saja berlangsung, bergulir karena keharusan seperti layaknya bumi yang berputar. Apapun akhir yang akan dimiliki oleh setiap peran, tentu saja tercipta dari kontribusi pemeran itu sendiri, dan bagaimana pun itu, akhir tetap saja menjadi akhir. Dimana sebuah peran memperoleh batasan tampil, dan menyimpan kisah cerita yang dimainkannya, sampai diperoleh kata...TAMAT untuk perannya sendiri; nanti jika si pemeran mati. Tapi panggung sandiwara toh tetap terus memainkan cerita, sambung menyambung dari setiap cerita individu menjadi sebuah sejarah peradaban manusia…

Semestinya kita ikhlaskan saja semua kejadian, sebab kita hanya menjalankan peran di panggung sandiwara terbuka itu meskipun dengan kejujuran tertinggi sekalipun…

*Percakapan pikiran matahari dan embun pagi di sudut bumi yang sepi suatu ketika.

Jakarta – Lampung, August 29, 2006

Friday, August 25, 2006

Tumbang

Pohon kehidupan, halte singgahan perlintasan hati telah tumbang ke tanah menghalang jalan tertinggal matahari yang menghangatkan luka disetiap getah yang tak mau mengering. Setan setan jahiliyah anak keturunan masa silam tak jua hendak pergi, menelusup jauh bahkan sampai ke lorong mimpi. Pohon peneduh kini kehilangan ketinggianya, terkapar menunggu bakteri berpesta dan mencabuti daunya satu satu hingga hilang samasekali arti keberadaan. Orang orang datang dan pergi, mendekat dan menjauh, mempermainkan jarak sesuka hati. Cerita ketidakbenaran disorongkan sebagai sesaji, sekaligus jamuan untuk dinikmati sambil menunggu mati.

Harapan berubah bentuk menjadi keajaiban bagi pengemis asa yang lama dibenamkan dalam lumpur pekat kenangan, yang berubah menjadi mimpi dan keseharian. Barangkali saja suatu hari kelak akan ada jatah keajaiban bagi pokok yang terkapar sekarat menghitung musim demi musim berlalu meninggalkanya sendirian. Atau barangkali semua akan kembali kepada azas berlakunya setiap kejadian, dimana alam sanggup memberi kehidupan imateri pada tiap cabangnya berkat dari akar angan angan yang mengembara juah mencari jawaban.

Ia yang rubuh tanpa daya, terjepit oleh keyakinan salah berbentuk kesimpulan juga menerima segala warna penghakiman, hanya menunggu alam lain dimana dia boleh jadi penghuninya…


Gempol, 060825

Tuesday, August 22, 2006

Ode dari langit


air mata sebutir jatuh dari angkasa tak berwarna
tercecer dari pigura jiwa yang koyak oleh pedang para perompak di palagan maha luas peradaban.
Seseorang telah menjadi korban dari kebiadaban,
anak korban dari korban kebiadaban lain lagi
yang menjadi adat bagi isi bumi.
lalu ia adalah laki laki, suatu ketika anak emas para dewa dewi….
dikehampaan langit kini terbuang sendiri,
sedangkan malaikat dan bidadari jauh terdampar di muka bumi. dikesendirianya ia bersahabat dengan gelap,
warna hitam yang kadang membias jadi kelabu tanpa tepi
; warna terjemahan hati dan jiwanya yang mati.
Gelap telah menyembunyikan perwujudan materinya,
menguburkan bunyi peperangan dari serbuan musuh yang tak mau berhenti bersama musim pada musim yang datang sesuka hati.
berabad ia berperang dengan arwah jiwanya sendiri.
Cinta pada gelembung udara lah yang telah menjerumuskanya melambung mengikuti terbangnya
lalu tersesat jauh dari permukaan bumi.
keyakinanya bahwa cinta adalah muara kehidupan telah memberinya restu dulu,
kini melenyap bersama datang gelap yang panjang.
Ia tertipu cintanya pada gelembung udara yang dipujanya.
Lumpuh layu kehilangan makna hidup ketika akar jiwanya direnggutkan paksa. Cinta yang menghela telah pergi dan mati.
Sejak itu gelaplah semata yang mengerumuni, dan sesenggukan ditengah sunyi menjadi cara meratapi kehilanganya.
Hanya jiwannya yang tinggal hidup,
mengembara dari batu penyesalan ke batu penyesalan lainnya.
Sakit hati dan kekecewaanya hanyalah kutu rambut semata,
juga dendam dan kebencian hanyalah ngengat biasa.
Laki laki kekasih para dewa dewi,
kini kehilangan arti mati dan hidup.
ia hannya berjalan membawa mimpi membeban akan ditemukanya muara kehidupanya
yang sempat menghilang diterkam angin buas penghianatan.
Dalam gelap segalanya hambar,
kecuali rasa semata yang ter-raba
sebagai tanda bahwa hatinya masih hidup berdegup.
Terkapar lara,
ia menangis mengasihani diri…

Gempol, 060822

Sunday, August 20, 2006

Sebuah malam yang tak pernah selesai.

Angin kering menghantar udara berisi kepingan debu pada sisa senja. Gelap fikiran mewakili hampa warna malam yang merangkak tertatih menyusuri cadas kenangan kadang terperosok pada lubang jalanan yang telah dipersiapkan oleh angan angan. Pengingkaran perlahan menjelma jadi ironi yang meracuni fikiran fikiran sehat tentang keberadaan alam kenyataan. Ironi yang menjebak usia dengan khayalan diluar tembok kemungkinan tentang sebuah hidup yang biasa saja, sebuah identitas yang wajar saja, tentang sabuah riwayat yang luar biasa. Inilah hidup saudara, dimana setiap orang terkurung rapat dalam dinding kaca peradaban dengan aturan kepantasan sebagai teralinya yang kukuh meragukan.

Raga tak berjiwa dengan hati yang cerai berai oleh olok olok ironi tersandar hampa pada tembok kenangan. Risau menjadi raja yang memperbudak otak untuk tunduk takluk pada lubang pekat kekinian. Kenangan terlalu jauh diceraikan jarak, sedangkan harapan menguap bersama iblis yang tak henti menyiksa jiwa letih. Keletihan yang mematikan syaraf cita rasa bagaikan puntung rokok yang tergolek di asbak ruang tamu; limbah dari ketidak gunaan. Dunia hambar menghampar sejauh indra penglihatan sanggup menatap menembusi hitamnya malam; disana sosok imateri memulai penjelajahan alam kebingunganya atas menjadi ruh tanpa identitas kesemestian. Menjadi jiwa tanpa kepemilikan bahkan oleh baginda Kerisauan sekalipun. Menjadi ampas atas intisari perasaan yang sempat melambungkan, mengambangkan dan juga menenggelamkan keakuan.

Sebutir debu hanyalah pantas menunggu antara pagi datang dan malam menjemput sampai akhirnya pagi menjemput jatah kewajibanya ketika malam berlalu pulang. Keinginan dan ketidak inginan telah menyekutu menjadi ketiadaan, ketiadaan atas keinginan sekaligus ketidak inginan. Biar saja semua datang dalam kehidupan, telah dipaksanya ego untuk menerima jatah hidup dan memberi apa yang sepantasanya terbagikan. Sebutir debu hanya pantas menuruti duli suratan diri dalam helaan angin yang tak tertebak arah lajunya. Bahkan windsock kebanggaan yang pernah dianggap menjadi peraba kemungkinan terdekat masa depan telah berlaku durjana, menipui keyakinan dengan harapan muskil. Tak diperlukan lagi, ruangan gudang untuk menampung rencana apalagi mimpi.

Kebaruan membandul bagaikan bencana, mencoba mengeja jawaban atas tebakan seperti apa rupa masa depan. Tanah gundul di hadapan terbatasi oleh pagar kokoh langit pengetahuan, sepi gung liwang liwung hanya tinggal puing puing kehidupan yang telah menjadi graffiti kuno di dinding liang kuburan. Benih harapan nampaknya akan kesulitan untuk tumbuh di tanah gundul ini, sedangkan segala privilege diberikan gratis demi subur makmurnya pohon pertanyaan yang bercabang keingintahuan dan berakar ketidak percayaan. Adakah hidup di planet ini sekoloni alasan untuk dapat mengkompromikan setiap pertanyaan yang memberontak atas status pura pura?

Bahkan pengemis tua di perempatan jalanpun masih sanggup menggadaikan kebijaksanaan usia demi harapan. Di tanah gundul ini, tak diperlukan materi apapun untuk tetap bertahan hidup. Bahkan hak istimewa sang pertanyaan sekalipun tak akan sanggup menjabarkan alasan sebagai jawaban atas pertanyaan; kenapa malam tak pernah berakhir di tanah ini…

Gempol menjelang subuh 060820

Friday, August 18, 2006

Perubahan membawa perubahan

Perubahan akan segala sesuatu terjadi karena kehendak alam atau takdir yang tak bisa lagi dielakkan. Segala bentuk perubahan terjadi dan muncul dari pola perubahan lainya yang mungkin langsung atau tidak langsung memberi dampak karambol kepada dimensi lain, kehidupan lain pula. Menganggap hari yang berganti adalah perubahan adalah cara berfikir primitive yang menyesatkan. Bukankah manusia sendiri yang membuat perubahan dengan menitipkan nama nama hari yang berbeda beda, pengkotak kotakan dimensi waktu? Bukankah pagi hanya berupa rutinitas siklus alam yang ada sejak pertama alam diciptakan? Sungguh, tidak ada yang berubah, saudara.

Lalu manusia, mahluk sosial yang berkelompok dalam penjara peradaban dengan aturan kepantasan sebagai teralinya, batasan batasan yang tak dikenal dalam dunia bathin. Setiap perubahan akan membawa efek karambol bagi perubahan masadepan setiap individu. Orang bisa saja menemukan kesadaran yang menyebabkannya berubah dalam tingkah laku yang didasari dari cara berfikir. Sebuah tragedy, atau peristiwa tertentu yang dialami seseorang akan meninggalkan impact yang kemudian mempengaruhi rute jalan fikiran. Jalan fikiran yang terpengaruhi kemudian juga akan berimbas kepada implementasi sikap sesuai dengan perintah dari sang fikiran. Besar kecil perubahannyapun akan sangat tergantung dengan seberapa kuat pengalaman akan bisa mendedikasikan optimisme dan pesimisme kepada alam fikiran.

Perubahan tingkah laku (baca; kepribadian) yang positif timbul dari fikiran fikiran positif hasil dari penangkaran kumpulan pengalaman. Sebaliknya, perubahan negative menjadi lebih rendah tingkah laku seseorang banyak pula dipengaruhi oleh cara mencerna pengalaman secara negative. Apapun bentuk perubahan dari si seseorang, tentulah akan berdampak kepada lingkungan dan personal environment-nya, menimbulkan perubahan yang menggerbong kepada aspek aspek kehidupan yang lainya. Proses keseluruhan perubahan terjadi searah laju waktu di alam maya. Labilitas emosi manusia adalah kunci dari dinamika perubahan di sekitarnya, dan pada beberapa kasus membawa dampak bagi kemajuan maupun kemunduran kemajuan peradaban. Dampak dari labilitas emosi individu secara mutlak dialami oleh si individu itu sendiri, kemudian berefek kepada kehidupan pribadi disekitarnya.

Perubahan pada kisah hidup seseorang timbul karena adanya pengalaman yang memiliki efek kejut besar dimasa lalu, efek kejut yang besar timbul dari cara menerima si pengalaman masuk menjadi property psikologisnya. Dunia tidak berubah, hanya manusia saja yang tak berhenti bergerak dinamis. Gagasan gagasan yang mungkin hanya berbuah ketidak mungkinan dimasa lalu bisa deterjang menjadi mungkin pada dimensi waktu lainya, bertahun ataupun berabad sesudah gagasan itu lahir. Emosi adalah hal wajib manusia yang terus dan selalu berubah ubah, sesuai dengan alam fikiran yang diisi oleh catatan pengalaman. Sebuah ketidak mungkinan hari ini bisa menjadi sesuatu yang harus terjadi dikemudian hari.

Terlalu optimis bahwa sesuatu tidak mungkin terjadi adalah mempertaruhkan hati untuk disakiti oleh kekecewaan. Optimisme hanya perkiraan, demikian juga pesimisme. Mengingat bahwa segala hal dalam kehidupan selalu bergerak dan berubah, maka tak terkecuali juga hal hal yang mengandug sifat ‘tidak mungkin’. Segalanya bisa terjadi, dan ungkapan sederhana itu mengandung kebenaran mendekati seratus prosen. Mungkin kita kadang terlalu yakin bahwa orang lain akan melakukan anu atau orang lain tidak akan melakukan anu. Kita tidak pernah bisa mengenal seseorang secara tepat, saudara. Menganalisa kepribadian hanyalah mengira ira jalan fikiran orang itu kemudian menganggap diri mengetahui persis segala hal tentang seseorang, dan analisa memberi peluang sangat lebar untuk salah. Judulnya jadi sederhana, yaitu salah mengira ira atau kata lainya tidak menduga. Semua terjadi dengan sederhana juga, dengan optimisme berlebih menganggap bisa membaca fikiran orang selama berinteraksi.

Bagaimana kita bisa tahu apa yang diketahui dan tidak diketahui orang lain secara lebih? Terlebih lagi bagaimana mungkin kita bisa mengetahui apa yang orang sukai dan tidak sukai? Jawaban dari segala pertanyaan sejenis hanyalah dugaan, perkiraan berdasarkan perhitungan pengalaman. Kita tidak pernah tahu apa yang dikandungkan emosi seseorang terhadap kita. Bahasa tubuh hanya menyampaikan isyaratnya, hasil provokasi yang intens dari otak pengendali urat syaraf. Bisa saja, seseorang yang pada satu saat sangat membenci akan berubah menyayangi. Demikian pula, bisa saja orang yang kita anggap tidak memiliki ketergantungan emosi dengan kita pada suatu saat nanti menyatakan cintanya.

Bagiku, masa depan adalah ribuan pintu kemungkinan sebagai jubah dan seragam bagi optimisme yang hampir padam…

Tertitip salam untuk Novan somewhere

Gempol, 060818

Wednesday, August 16, 2006

Enampuluh Satu

(renungan untuk peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia)

Enam puluh satu tahun sudah negeri ini dideklarasikan sebagai negeri yang bebas merdeka dan berdaulat penuh sebagai sebuah negara, lengkap dengan pemerintahan, territorial, dan tentu rakyatnya. Sebagai sebuah bangsa, nasion, enam puluh satu tahun bukanlah masa yang singkat untuk bisa memanfaatkan fungsi kedaulatan itu bagi kemakmuran seluruh isi negeri semakmur makmurnya. Lika liku perjalanan sejarah sebuah bangsa pasti selalu diwarnai tragedi, intrik maupun kesalahan kesalahan prediksi oleh sebab mengemudikan sebuah negara sama saja meletakkan dasar dasar yang akan dipijak dimasa yang akan datang yang notabene undpredictable.

Dari sistim kemasyarakatan yang monarkis dan terkotak kotak di zaman baheula tua kemudian disepuh sedemikian rupa dengan kebudayaan barat yang dibawa bangsa belanda dari belahan utara bumi pada zaman baheula lebih muda, mental kebangsaan kita mengalami transisi yang ekstrem, dari kebanggaan menjadi sebuah kaum yang kental dengan rasa handarbeni, hangrungkebi dan hangrosowani, kemudian dibalik grempyang menjadi kaum budak yang tunduk luruh dibawah kaki kaum penjajah, hanya karena orang putih dianggap lebih maju, lebih beradab dan tentu dipercaya lebih bijak. Hasilnya sama sama kita tahu, tigaratus limapuluh tahun lebih nenek moyang keturunan kita dikebiri sedemikian rupa hak haknya sebagai nasion menjadi budak di tanah kelahiran sendiri dan dijauhkan dari peradaban asal muasal.

Menilik dari sejarah pula, kita bisa simpulkan bahwa memang bangsa ini sejak zaman dulu adalah bangsa yang rendah hati, andhap asor dan tentu murah hati. Keramahan dan permakluman bangsa ini banyak diartikan sebagai kemalasan bahkan lebih mencolok lagi diartikulasikan sebagai kebodohan oleh kaum putih pada masa lampau. Apakah benar nenek moyang kita bodoh? Pendapat itu menurut saya sama sekali keliru. Bukan karena pandangan subyektif yang muncul karena kita ada karena mereka, melainkan lebih kepada penilaian bahwa setiap bangsa memiliki local environment – nya sendiri sendiri dan tingkat kecerdasanya sendiri sendiri. Hanya saja aturan dunia, tingkat kecerdasan lebih diukur dari penguasaan terhadap hal hal materialistik kemajuan ilmu pengetahuan. Pendeknya up to date mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan bangsa Polynesia yang menduduki kepulauan membentang dari Sumatra sampai Papua ini memang memiliki kareakteristik yang konservatif, memelihara budaya dan peradaban nenek moyang sebagai kebanggan dan jubah kebangganya. Sayangnya karakter seperti itu mudah ditembus melalui individu individu, pencekokan terhadap cara berfikir dan tentu propaganda yang menyesatkan maupun tidak menyesatkan tentang jati diri sebuah kaum.

Tigaratus limapuluh tahun lebih menjadi kambing congek bangsa lain tentulah meninggalkan bekas mendalam kepada perubahan karakter mental berfikir bangsa ini. Mental karakter bangsa terjajah! Gembar gembor kemerdekaan menjadi jargon mujarab bagi para agitator politik bangsa tanpa bisa melepaskan diri sendiri dari mental terjajah. Demikianlah kaum terjajah, yang mengidamkan kebebasan sebagai satu hadiah, yang bagi bangsa ini harus dengan susah payah dan pengorbanan luar biasa baru bisa diraih. Mimpi bagi kaum yang terbelenggu semuanya sama, kebebasan! Dan dalam kebebasan itu berisi bermacam macam nilai kebaikan yang menjanjikan, kebebasan sebagai ladang garapan untuk membangun negeri agar semua menjadi makmur.

Bagaimanapun juga kita patut berterimakasih kepada Belanda sang penjajah, karena mau tidak mau, suka tidak suka, banyak dasar dasar administrasi pengelolaan negara ini diletakkan oleh mereka. Belanda juga punya andil dalam membangun produktifitas asset negara maupun pengelolaanya. Dan yang lebih penting lagi, kita patut berterimakasih kepada Belanda sang penjajah karena diwariskan kepada kita bangsa terjajah ini sebuah semangat persatuan sebagai satu bangsa yang utuh dengan kesadaran bahwa kita terdiri dari ratusan ribu etnik, adat, budaya yang memiliki spesifikasi sendiri sendiri. Warisan berupa semangat persatuan itupun barangkali bukan tepat sebagai warisan sebab semangat itu terbentuk dari pengalaman empiris berkepanjangan ditambah dengan arus zaman yang memungkinkan orang untuk memiliki hasrat membangun dan maju melangkah kedepan, menyongsong tantangan zaman.

Toh kenyataanya, semangat kesatuan itu pula yang menjadi ujung tombak dari terwujudnya kemerdekaan, pengakuan atas kedaulatan bangsa sendiri atas diri sendiri. Kesatuan melahirkan gagasan gagasan brilian tentang bagaimana mengelola sebuah bangsa, melahirkan individu individu idealis yang memiliki sitemap lengkap tentang rancang bangun sebuah pemerintahan yang absolute. Ketika ‘bola’ kedaulatan itu sudah berada di tangan, kemudian yang terjadi adalah debat demi debat panjang tentang pola pengelolaan yang dari satu kepala dengan kepala lainya tentu berbeda. Bahkan perbedaan itupun acap kali disikapi dengan cara yang berbeda pula. Enam puluh satu tahun sesudah Soekarno membacakan proklamasi, bangsa ini masih saja berkutat dengan definisi definisi yang melebar, dan sedikit melupakan arti harafiah dari kata “m.e.r.d.e.k.a” itu sendiri.

Penulis yang pendek nalar ini mengartikan kemerdekaan sebagai kebebasan sebuah negara, sebuah bangsa dari segala macam ancaman dan ketakutan. Kemerdekaan semestinya adalah sertifikasi dari kebebasan akan rasa tertindas, perlakuan tidak adil, maupun kebebasan dari rasa takut dari apapun. Makna kemerdekaan itu sendiri lebih detail seharusnya menjadi landasan mental nasion, setiap individu bangsa Indonesia. Sebuah pola pemikiran progresif yang menegaskan bahwa baik buruk, kemajuan maupun kemunduran bangsa ini terletak pada individu tiap gelintir manusia yang mengaku sebagai warga negara Indonesia. Kemerdekaan idealnya disikapi sebagai sebuah tonggak baru untuk melangkah maju bersama sama, membangun dan memelihara demi tercapainya kesejahteraan setiap gelintir manusia penghuni negeri. Kemerdekaan memberikan peluang seluas luasnya kepada kita untuk turut berpartisipasi secara penuh untuk mewujudkan gagasan gagasan agung itu.

Tetapi apa lacur? Mental karakter sebagai bangsa terjajah masih lebih mendominasi bangsa ini. Kebebasan bagi sebagian orang (kapanpun masanya) lebih dilihat sebagai peluang untuk memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi. Semangat kesatuan sesudah enampuluh satu tahun merdeka terasa lebih mengendur, berubah menjadi kotak kotak labirin oligarki. Dalam kaitan pengelolaan negara, tidak ada hal yang menjadi sederhana di negeri ini. Undang Undang Dasar sebagai landasan konstitusional paling sahih di negeri inipun sering hanya dilangkahi, atau dipajang di rak buku sebagai simbol, bukan pelaksanaan atas nilai yang terkandung didalamnya. Mental purba yang memandang hal hal yang datang dari luar dan tak diketahui pasti dianggap sebagai sesuatu yang lebih bagus dan patut untuk ditiru. Pendidikan generasi mendatang lebih didominasi oleh tayangan televisi yang lebih banyak menonjolkan kebobrokan akhlak maupun tontonan tanpa nilai yang dicap sebagai hiburan yang melambungkan mimpi mimpi dan membuat anak anak kita jadi gemar onani. Dari mana datang semua budaya baru itu sesudah enampuluh satu tahun merdeka? Dari kerajaan Majapahit? Samudera Pasai? Hikayat Hang Tuah? Atau kitab ramalan Ranggawarsito? Atau hikayat hikayat yang mengandung petuah luhur bagi pembentukan nurani generasi muda dari setiap pelosok negeri? Jawabanya kita tahu, bahwa semua bukan berasal dari itu semua. Tivi dengan canggihnya mencekoki otak anak anak kita dengan mimpi, menggembosi karakter tunas tunas muda bangsa ini menjadi kaum tanpa akar, hidup menggantung di dahan pohon mati.

Apa yang kita harap dari generasi muda dengan bahan mental dari tayangan tivi? Kita tentu tahu pasti bahwa enampuluh satu tahun setelah kemerdekaan, bangsa ini belum memiliki karakter bangsa, masih gentayangan mencari jati dirinya yang terus diingkari sebagai sebuah kaum monarkis absolute yang mengemban teguh wawasan kebangsaan, yang memiliki rasa memiliki, melindungi, dan berani membela terhadap kepentingan negara dalam bentuk apapun. Bukan lagi sikap berlawanan arah antara pemerintah dan warga negara, penguasa dan rakyat jelata. Indonesia masih tetap menunggu lahirnya sebuah generasi berkualitas yang akan bisa mengelola negara ini dengan bijaksana dan mengembalikan semangat nasionalisme sebagai tali pengikat keberagaman isinya. Jika semua orang mengerti betul bahwa fungsi gelintir individu adalah untuk negara, maka kita tidak perlu risau lagi melihat tayang tivi tentang betapa gigihnya Satpol PP melakukan law enforcement bagi ketertiban umum, razia gelandangan, pengemis, anak anak jalanan, pembongkaran lapak pedagang kaki lima, razia pelacur dan sebagainya. Darimana semua itu datang dan berkembang? Kita tahu, bahwa semua bermula dari ketidak becusan pengelola negara menjalankan fungsi elemental sebagai pengemban, pengayom, pelindung dan sekaligus pemimpin rakyatnya. Mari berkaca didepan cermin besar, betapa banyak atribut asing menempel di tubuh dan pakaian kita dan tak satupun menerbitkan patriotisme yang membanggakan.

Enampuluh satu tahun setelah kemerdekaan, kita masih tetap menunggu sebuah generasi terlahir dengan nation character yang jelas, dan tugas kita adalah membentuk embrio dari hari ini, dari diri sendiri.

Dirgahayu Indonesiaku, jayalah kembali engkau seperti di masa lalu…


Gempol, 060816

Sunday, August 13, 2006

The Pain

(An ultimate human drama)

Menjabarkan perih, seperti halnya menguraikan bibit keindahan dalam pembungkus seni yang sesuai. Keindahan yang lahir dari tetes demi tetes darah dari lukanya jiwa, membaur dengan partikel bebas lainya dari angkasa, lalu bersinergi kompak menyuguhkan bangun bangun keperihan yang indah nikmat. Sebagian luka kerasan tinggal lama lama, membentuk kampung dan peradabanya sendiri, menjadi penguasa lalim bagi labilnya bathin di kadang kala. Mereka tinggal dari generasi ke generasi, menempelkan label dendam di setiap jendela kepengapan dimana diri bisa sedikit mengntip dunia diluar dari keruh dan gemuruhnya tempurung kepala. Dramatisasi dari kekecutan hati sebagai bumbu atas luka yang menganga, adalah cara mengekspresikan nilai estetik dari penderitaan. Dan seni sebagai pembungkusnya, memelihara agar luka tetap ada, menjadi sumber keindahan bagi seisi dunia.

Keindahan dari penderitaan menjadi lebih mantap terasa beralaskan pengertian bahwa segalanya terjadi di dalam lingkaran kaca kehidupan individual. Penderitaan setimpal dengan keindahanya tak tersentuh oleh jangkauan realitas, menjadi kepemilikan yang ekslusif sebagai satu elemen psikis yang memberi dampak kepada kualitas seorang manusia, yang mencerminkan independensi sebuah pribadi. Dunia pribadi tak ubahnya partikel bebas yang bisa membentuk debu, bisa berkelana sendirian dan bisa menjadi apapun dimana alam mendamparkan. Tak ada sesiapapun dimuka bumi ini yang bisa merasakan indah maupun perih yang sama dengan satu orang lainya. Yang bisa dilakukan adalah mengira ira, kemudian sebisa mungkin menimbang rasa diri untuk mencoba mengukur tekanan serta mencoba menemukan faktor faktor penentunya, kemudian menyimpulkanya dengan sebuah kata sederhana “ I can feel you easily” .

Bahkan diri kita sendiripun belum tentu bisa mengenal dengan baik nilai si diri dalam perspektif kualitas kemanusiaannya. Sifat inkonsisten dengan dalih mengikuti irama zaman tidak memberikan jaminan apapun terhadap sebuah kepastian dimasa depan. Bumi terus berputar, segala isinya pun turut terubah dengan siklus yang tidak teratur. Yang kita kenal pada diri kita sendiri adalah kembali lagi, penderitaan yang melahirkan seni, kemudian seni yang bisa menganak pinakkan rasa perih disekujur organ pikir. Kepincangan pikiran semestinya tidak terlihat sebagai sebuah keanehan atau bahkan dianggap sebagai sebuah cara mendramatisir keadaan. Akan tetapi kepincangan mental fikiran selayaknya lebih dipandang sebagai satu dari ribuan faktor yang membuat si individu eksis. Segala kecompang campingan perasaan itupun adalah satu elemen kecil dari sebuah keseluruhan utuh sebuah pribadi.

Bagi si cripple minded pun, bukan hal yang diingini terjadi kecacatan mental seperti itu. Jikapun perlahan maupun sekonyong konyong ia menyadari ada elemen elemen yang hilang atau tertimbun pekatnya kepedihan yang mengerak, dipandangnya apa yang tampak sebagai hidup normal apa adanya, bahwa memang harus demikian terjadi dan persis seperti itu kejadianya, menyadari bahwa semua hanyalah catatan biografi paling original, paling asli milik sebuah pribadi, sebuah individu, dunia dengan lingkaran kaca. Dunia yang rapuh terbungkus dalam gambar gambar pantulan dua warna hitam putih, sebagai perlambang dari hukum relativitas, aturan kodrati untuk soal keseimbangan. Semua pantulan dari dua kubu berseteru; logika dan hati. Meskipun kerap kali antara logika dan hatipun berjabat tangan dan saling memberi kompromi atas kepentingan masing masing. Ketika penderitaan hadir sebagai hasil hubungan gelap antara iblis dan akal, maka hati dan logikapun disibukkan dengan rapat rapat yang melulu mempertentangkan keraguan demi keraguan, prediksi demi prediksi, dan evaluasi demi evaluasi atas semua yang telah terjadi.

Lalu tidak ada segala sesuatu yang berdiri sendiri. Satu sama lain unsur dan elemen, saling berhubungan hanya dengan isyarat sensor. Semua mengangkat kepentingan yang sama dan satu saja, yakni manusia, kita diluar dari kehidupan diluar kita, dan sekaligus melingkupi segala riwayat dan kisah yang menyebabkan diri kita menjadi ada hingga tulisan ini terbaca. Penderitaan sekali lagi adalah baginda yang memerintah pribadi setiap manusia hidup dan berakal waras. Banyak orang bernasib tragis, runtuh dinding kaca yang melingkari kepribadianya, pecah oleh peperangan dahsyat antara hati dan logika dan kehilangan tempat untuk melihat diri. Mereka bahkan tidak menyadari kemalanganya sendiri, bebas dalam dunia ikatan sederet tatanan kepantasan dan aturan peradaban umum. Orang orang malang itukah yang beruntung karena mereka dibebaskan dari himpitan penderitaan mental? Ataukan mereka dari golongan dari orang yang justru gagal mengartikulasikan penderitaan dengan sebagai keindahan seni kejiwaan?

Ah, tidak saudara. Orang orang malang yang karena miskinnya hati nurani penguasa negara mereka harus menjadi manusia tak berguna diperempatan jalan ataupun sepanjang trotoar itupun adalah manusia juga, tetap memiliki jatidiri meskipun terlempar dari kumpulan peradaban. Di dunia mereka, penderitaan menjadi lembah terindah dan terluas yang mereka tinggali. Mereka yang kita pandang malang, telah menyempurnakan ultimate human drama. Pikiran mereka terbebas dari kewajiban berpura pura, serta kewajiban kewajiban lain sebagai simbol kewarasan seorang manusia. Kemalangan mereka hanya terletak di masa lalu, memfosil dan menjadi batu pijakan dalam kehidupan alam fikiran yang mereka bawa bawa tanpa beban kamanapun juga. Jiwa mereka terperangkap dalam kungkungan kodrat mahluk hidup, terbungkus dalam rangkaian kulit, daging, tulang, syaraf dan darah. Sebenarnya mereka adalah siluet bagi kehidupan fana. Terlalu terbiasa dengan penderitaan membuat mereka tak mengerti lagi apa itu penderitaan dan seperti apa itu rasanya perih hati. Tak ada seorangpun yang waras bisa mencicipi citarasa penderitaanya maupun nikmatnya dia berselancar dalam gelombang jiwanya. Demikian juga mereka, tak mengerti makna kewarasan dengan mengorbankan sederet nilai kemanusiaan hanya demi pengekspresian rasa kecewa, yang diganti nama menjadi penderitaan bathin.

Penderitaan dari segala sisi tetaplah absurd. Ia adalah dramatisasi indah dari sebuah hidup individu, titik debu bagi komunitas kosmik. Yes, the pain is an ultimate human drama…

Gempol, 060813