Wednesday, November 21, 2007

Sembunyi

Dimanakah dimuka bumi ini tempat untuk bersembunyi, dimana tidak ada manusia dan hanya ada alam; langit dan seisinya. Benar benar sendiri ketika segala perhubungan menjadi penjajah bagi batin bimbang. Manusia menjadi wakil dari ribuan jarum yang merajam hati kesakitan satu persatu tanpa henti.

Aku ingin sembunyi, menghindari tatapan dan prasangka keji. Sembunyi dan diam tanpa kata kata membiarkan segala kehidupan berjalan dalam lindungan rasa aman tenteram, tanpa harus merasa kecewa karena manusia.

Kutemukan tempat sembunyiku, teduh rimbun dalam balutan sepi, adalah kamar tempat dimana mimpi mimpi menjadi raja atas hidupku. Tenggelam dalam ketidak sadaran dan mengembalikan fitrah pada kepasrahan. Menayuh harapan dan kecemasan yang menjadi tali ayunan sepanjang hari.

Tempat tempat yang jauh tak menjanjikan privacy, hanya jarum tajam berbentuk beda, tetap saja mengandung keperihan setiap kali nama demi nama disebutkan. Tuntutan untuk menjadi sempurna telah meletihkan semua unsur syaraf dan menyisakan lolongan tanpa suara nuin jauh di lubang rasa.

Lalu aku ingin diam. Diam berjuang memendam semua suara yang berjubal di kerongkongan, menghindar dari setiap kata yang menyerang melalui udara. Diam dan sembunyi dari manusia, hanya ada alam angan angan berbatas langit keinginan, menikmati perih siksa masalalu yang setia menjadi warna darah.

Engkau boleh bercerita tentang perjalananmu menembusi malam, menembusi gerimis dan kegembiraan, melupakan bahwa akupun punya pengharapan.

Di mimpiku tak kutemui manusia, disana tempatku menyembunyikan rasa dan raga. Disana hanya ada segerombolan iblis yang berpesta, mencabik cabik kulit tulangku sesenti demi sesenti sampai tak terasa beda antara perih dan gembira. Disana tempatku bebas mengutuki nasib diri, tanpa perlu menipu berpura menjadi lelaki.

Gempol, 071121

Saturday, November 10, 2007

Risalah Pengantin

:Embun
Kutulis kesaksian, menyerta lompatan dan potongan waktu yang lahir dan mati dengan cerita. Demi kisah yang bergulung dalam sistem penanggalan, kutancapkan kerelaan pada lelaki dan perempuan dengan segenap cinta kasih. Perempuan restu ibunda hingga akhir hayatnya. Perempuan lapang dalam duka, damai dalam suka. Perempuan pilihan, tempat anak-anak bersenda di pangkuan. Tanpa keraguan, sebagaimana anak panah yang melesat menembus bilik-bilik kesunyian semesta.

Bersama, menara mimpi terbangun, kisah-kisah dan legenda terpatri pada pintu dan jendela. Membukanya ketika fajar. beranjak ketika bayang meninggalkan cahaya. Menjalin angin yang menyelusup di antara kisi-kisi hati. Merebahkan jiwa pada gugusan malam dengan sepenuhnya sukacita. Menjadi pagar besi bagi kegundahan hati. Menjadi pengasih bagi kedukaan. Menjadi bapak dalam kekanakannya. Menjadi anak bagi keibuannya.

Engkau perempuan, yang menyulam kain menjadi baju-baju. Merenda dinding kasih keniscayaan hari ini. Menjemput bunga-bunga tumbuh semusim di taman imaji. Menyiraminya dengan titik air yang meleleh menelusuri kali-kali dari hulu sudut matamu. Mengembus ubun-ubun dengan kehangatan napas kesturi.

Dia laki-laki, yang datang padamu tanpa sepatah janji-janji. Tiada sangka takdir mengulurkan tangan di hadapan. Menarik diri menelikung nurani. Merengkuh batu-batu, melunturkan luka berabad-abad. Menghadapkan wajah-wajah pada tanah keabadian.

O, Tuhan! Izinkan mereka membelah ladang-ladang. Melahirkan keturunan dari perempuan restuMu. Mengalirkan darah yang memancar membasahi lorong-lorong persemaian.

Hanya mantra doa-doa sebagai pelipur lara. Bahkan aku menziarahimu melepas segala sesal. Pada dunia lain aku berharap, sunyi akan mendengar dengan keluasan semesta. Membelaiku dengan tangan rasa penuh luka. Menghapus air mata yang menderas, mengenangmu pada cermin masa lampau.

Tak ada yang berubah atau berganti rupa. Aku tetap manusia anak manusia sediakala. Di jantungku tak lekang prasasti tentang asal-usul sejarah pertemuan. Ada darahmu yang mengalir dalam darahku. Jangan biarkan aku jadi durhaka. Lepas bakti tinggalkan jasa. Tanpa ilmu kenakan alpa dan keangkuhan. Menyusahkanmu tiada henti. Sementara waktu semakin menjadi tua. Menjadi abu. Menjadi segala yang akan kembali pada asalnya terjadi. Mungkin menjadi arang atau tanah liat, yang menanti dengan setia, seluruh kejadian terangkai untuk dikembalikan seperti semula.

O, wahai orang tua! Perkenankan waktu menyunting anak anak terkasihmu. Akan berangkat pada ketinggian derajat. Mengayun perahu batu karang. Menebar jala mengail suka. Memupuk amarah merangkum rindu. Bawa berlari menerabas halang esok hari. Meniti harapan serambut dibelah tujuh. Lepaslah dalam bentangan tiada tara.

Lepaslah bersama jiwa-jiwa bebas penerus generasi! Wahai, pengantin! Engkau menapaki jalan yang pernah aku lewati. Dengan busur dan selusin anak panah, lepaslah engkau sebagai ksatria di medan perang. Esok hari akan kembali ulang dengan kemenangan. Sekali langkah ke depan takkan dijumpai surut sejengkal. Meski tak selamanya berarti keluasan, ia hadir bersama makna-makna.

Melempangkan jalan lebih baik daripada menimbunnya dengan batu-batu. Biarkan mengalir dalam sungai-sungai yang akan pasti ke muara. Sementara sebelumnya, ia berkelok mengikuti sifat asalnya. Aku masih bagian jwamu. Seperti siang mengisi keterbatasan waktu malam, begitu pula sebaliknya kejadian. Siapa dapat menebak perhentian rumah tangga?

Wahai, pengantin! Kutulis risalah ini sebagai mahar untuk pernikahanmu. Tiada intan atau emas permata bakal kau terima, kecuali kata-kata yang berdenging di telinga, persembahan paling berharga yang sempat kumiliki. Engkau tahu, betapa tubuhku bergetar dipenuhi rasa bimbang untuk menuliskannya. Aku mati rasa menyusun kalimat demi kalimat. Dihantui ketakutan teramat sangat, membayangkan engkau yang paripurna.

Namun, wahai pengantin. Kekuatan hati telah menyatu bersama risalah ini. Tak ada bahasa lain yang mampu kusampaikan, selain lompatan huruf-huruf yang engkau mugkin tidak tertarik untuk membaca dan mendengarnya. Karena semua telah menjelma butiran-butiran di atas gemuruh jantung.

Dan ketika senja mengusung segumpal awan-awan, aku bergerak melambai pada cakrawala. Mungkin aku melebur menjadi semburat jingga, yang meriak di kaki langit meski sekejap. Dan esok lusa, aku akan muncul kembali dalam bentuk dan rupa lain. Seperti siklus berputar berwarna-warna. Siapa mampu menghadang kehendak, selain siapa yang berhak memilikinya.


Ciracas, 071110

Friday, November 09, 2007

Selembar foto kenangan

Kuncup kuncup daun rumput menguning dikalahkan musim, dicerca oleh debu yang timbul tenggelam dalam permainan angin pancaroba. Jauh mimpi dari nyata menyasarkan pencarian pada ketiadaan demi ketiadaan, badan badan wadag yang tak berisi apa apa. Dari kosong melompat ke kosong lainnya dalam kepincangan nasib yang dipertaruhkan dengan diam.

“Aku merasa sendirian sepanjang jalan, berteman dengan kecemasan yang tak henti mencumbui kehendak diri”

Matahari selalu lahir prematur menumpas sisa embun yang terurai. Semalam tadi curah hujan mengaburkan tangis, menyisakan penindasan kenapa subuh tak datang belakangan setelah semua mimpi terlunaskan dalam tidur yang dalam. Begitu panjang jarum arloji merabai setiap permukaan perasaan, suara detaknya bagaikan genta memekakkan telinga. Di bumi ini kesendirian bisa jadi mengerikan, ketika keindahan telah kehilangan bentuk karena dipermainkan oleh keinginan dan ketidak berdayaan maya.

Remah remah di kamar tempat dulu kita tinggalkan noda di spreinyapun ikutan mati berpupur debu. Tinggal kentara sebagai kenangan yang tak lagi punya nafas hidup meski tak mati jua. Seluruh persediaan air mata telah tumpah sepanjang jalan matahari, tinggal mengering menjadi gurun raksasa tanpa nama. Sepi yang sejati tak mengenal tenggang rasa, berdiri sendiri dan tak terbagi meski hanya dengan kata kata.

Inilah adat dunia; dari ketiadaan lalu menjadi ada kemudian menjadi sesuatu dan oleh waktu ditindas menjadi udara hampa, hilang ditelan sejarah masa. Hidup menjadi sekilas sekilas, sepotong sepotong kemudian lengang tak bertuan. Prosa atau puisi menjadi catatan yang melekat dalam darah, demikian juga sakit hati.

Pikiran mengingatkan masa dimana matahari tiba tanpa selimut awan, hanya embun pagi yang setia memupuk semangat sepanjang hari. Mata bening yang cerah senyum simpul pantang menyerah seoalah mengurai sepotong demi sepotong sejarah masasilam. Waktu membangkai, menyisakan lingkaran debu dalam cerita dan angan angan.

Selembar foto kenangan menyimpan beribu cerita kehidupan, berisikan kisah kisah panjang tentang sesuatu yang selalu bermula baru. Gambar yang terbaca melambangkan kehilangan panjang setelah jarak dan cerita kehidupan menceraikan.

Ciracas dibawah hujan, 071109