Tuesday, August 21, 2007

Kampung Kolongtol

(Ceritera dari Jakarta V)

7 Agustus lalu lebih dari 200 ‘rumah’ ‘milik’ sekitar 6.000 kepala keluarga yang dihuni sekitar 14.000 nyawa manusia terbakar ludes di ruas sepanjang 13 kilometer kolong tol Wiyoto Wiyono atau gampangnya tol Jembatan Tiga interchange Pluit. Sepanjang kolong jalan tol itu memang telah disulap jadi kampung kumuh berdasarkan ijin dari Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia tahun 2002 lalu, meskipun ijin tersebut konon sudah dicabut pada tahun 2006.

Kebakaran itu menyisakan selain abu dan arang secara harfiah juga menyuguhkan persoalan sosial yang teramat pelik bagi pemerintah kecamatan Pluit. Dari total sebanyak itu warga, hanya 24% yang memiliki KTP dan selebihnya illegal lias penduduk liar. Masih ada sisa 76% dari warga kampung Kolongtol yang akan menghadapi ‘deportasi’ ke kampung halamannya masing masing meskipun jika dilihat dari adat kebiasaan kota Jakarta, mereka yang semestinya pulang kampung itu hanya akan pindah ke satu lahan kosong ke lahan nanggur lainya. Begitu dan seterusnya.

Tidak heran kalau angka dari jumlah manusia yang tinggal di kolong tol Jembatan Tiga mencengangkan siapapun yang tidak pernah memperhatikannya, karena dari hari ke minggu, kemudian ke bulan dan tahun, mereka beranak pinak dan berkembang biak di tempat itu atas ‘restu’ dari abdi negara yang semestinya mengedepankan aturan dan kepentingan Jakarta secara luas. Upeti memberikan akses bagi kehidupan layaknya rumah normal dengan tata cara maupun budaya yang dibuat sedemikian rupa legal. Pola hidup konsumtif Jakarta tak urung memberi dampak langsung terhadap keberadaan para penghuni kolong tol.

Jakarta memang semrawut, dan mental Jakarta juga yang membuat kesemrawutan itu bisa menjadi lahan rezeki bagi sebagian orang. Apalagi jika sebagian orang oportunis tersebut memiliki seragam yang menunjukkan kepemilikan atas kewenangan mengatur dan menjaga, maka soal tanggung jawab tugas bisa dengan gampang saja digadaikan di Jakarta ini untuk tujuan pengkayaan pribadi. Belum sampai ke level kaya barangkali, sekedar pemenuhan dari keinginan sebagai dampak langsung dari budaya konsumtif Jakarta yang mahal. Tumpang tindih pungli dan pungutan ditengah kesemrawutan membuat lahan kolong tol menjadi ajang pendpatan yang menggiurkan bagi banyak fihak, termasuk Satpol PP, Kampraswil, maupun BPN.

Sekarang nasi sudah menjadi bubur, kolongtol tumbuh subur menjadi kampung bernama kampung Kolongtol. Daerah daerah seperti Pluit, Penjaringan, Warakas, Tanjung Priok dan banyak lagi lainnya seperti invisible bagi mereka yang berkewajiban menjalankan pengelolaan sistim tata kota, atau lebih parah lagi justru dijadikan bahan obyekan penghasilan tambahan. Sebuah ‘kemajuan’ yang sebenarnya sangat mudah diprediksi untuk bisa dicarikan solusinya sejak awal apabila pegawai dan pejabat berseragam bisa membwa diri mereka sebagai pengemban amanah, pemomong dan pengayom masyarakat serta pelaku berjalannya hukum dan peraturan. Pendekatan sosial saja belumlah cukup untuk bisa mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di kampung besar Jakarta. Ketegasan pelaksanaan hukum, pemberlakuan sanksi serta aplikasi tata tertib secara murni dan terkontrol dibutuhkan demi kepentingan semua fihak.

Ketidak pedulian pelaksana pemerintahan maupun tumpang tindih wewenang sering kali menjadi pusat konflik panjang yang juga sekaligus menjadi ajang pencucian tangan tangan yang kotor. Kebakaran hebat kolong tol Jembatan Tiga tidak urung menimbulkan kerugian miliaran bagi pengelola si jalan tol yang nota bene adalah atap kampung Kolongtol dan juga tentunya para penghuni yang menjadi korbannya juga. Meskipun dalam 2 tahun terakhir saja sudah 5 kali terjadi kebakaran di kolong tol, namun nampaknya tidak ada upaya serius untuk pencegahan.

Setiap sudut, lorong maupun inci tanah di Jakarta adalah ajang mencari makan bagi siapapun yang tinggal di kota ini. Sebagian besar pendatang membawa mimpi manis untuk dikonfirmasi dengan kenyataan kota ini, sebagian lagi berjibaku dengan nasib saja cukup. Sebagian besar orang beruntung bertahan dan berkembang menjadi manusia yang pulang kampung dengan dialek dan penampilan berbeda dibandingkan dengan pada saat berangkat dulu, dan sebagian lagi menghitung hari demi hari dengan mengumpulkan mimpi mimpi yang berantakan.

Di kolong tol interchange pluit Jembatan Tiga kontradiksi Jakarta terlihat nyata. Sebagian kita lewat di atap rumah mereka sepulang dari berterbangan atau hendak berangkat terbang melaluai Jakarta International Airport Soekarno Hatta.
Dan…Jakarta masih menyimpan jutaan cerita manusia sebagai catatan dari sejarah zamannya…


Ciracas, 070821