Sunday, July 16, 2006

Perjalanan ke tanah hitam

Pada tiga perempat usia hidupnya dan entah untuk berapa ratus kali lagi akhirnya dia harus bersiap untuk melangkah pergi. Kali ini ke tanah hitam yang bahkan tak pernah singgah dalam mimpinya. Suatu kali dahulu, seorang teman pernah menginjak tanah bumi itu dan bercerita sebagai sebuah tempat di ujung dunia, dimana langit hanya dalam jangkauan tangan. Bahkan si teman tidak punya kata kata untuk menggambarkan keindahannya.

Langkahnya kali ini gamang. Tak lagi berisi tekad dan antusias lelaki yang haus akan penjelajahan hal hal baru dan belajar sambil mengabdikan diri kepada kehidupan. Bahkan keyakinanya menjadi abu abu ketika ketidak pastian demi ketidak pastian ditelannya mentah dan sebagian membuatnya muntah. Dikenangnya kisah kisah perjalanan, tempat tempat persinggahan dan kemewahan pribadi berupa kesendirian sepanjang perjalananya dulu. Ia rindu pada semangat mudanya yang hangus dan belum tergantikan dengan tunas yang baru.

Ikat pinggang pemberian menjadi bekal penguat semangat, dan doa restu bunda menjadi belati pengawal bagi keselamatan. Namun toh pintu pintu kemungkinan tetap dipelihara dengan layak, bahkan yang paling mengenaskan sekalipun keadaanya; siapa tahu justru itu yang dipilih kehidupan masa depan untuk lorong perjalanan. Setiap pergi sama saja dengan membawa kemungkinan kemungkinan baru ketika nanti kembali; mungkin tidak utuh lagi, mungkin tak bernyawa lagi, atau bahkan mungkin menjadi manusia dengan pemahaman hidup yang lebih kaya dari sebelumnya. Semua hanyalah teka teki hari depan, tak patut dijawab sekarang.

Perjalanan kali ini tak dibawanya keranjang harapan seperti yang sudah sudah. Akan ia bawa beban dan barangkali buah pengalaman semampu pundak dan tangannya merengkuhnya nanti. Inipun sekedar menjalani kewajiban hidup manusia untuk menjadi manusia, melihat dan merasakan hal baru untuk disimpan dalam lemari pengalaman, disimpan menjadi resep kue kehidupan. Ia tidak akan kaget dengan rasa sakit yang barangkali nanti ia akan terima di tanah perantuanya yang jauh dan sendirian. Ia telah mengalaminya beratus tahun tanpa catatan untuk hal yang satu itu, kecuali kebanggaan diri bahwa ia menempuh lebih jauh karena berjalan sendirian.

Maka esok, ketika mataharipun masih berselimutan embun dan gelap masih rajin mengurung, ia akan berangkat dengan langkahnya yang pertama, meninggalkan pagar rumah kontarkannya menuju negeri hitam yang kabarnya diamuk api. Tas punggungnya berisi pengalaman, dan tatapan matanya berusaha menyingkirkan gelap harapan. Ia melangkah terus melangkah dalam menapaki udara dan mengayunkan kaki ke depan. Entah apa yang dirasakan, yang pasti tak banyak yang ia harapkan dari perjalanannya kali ini, kecuali menjalani kewajiban.

Angin dari tepi kota akan membawanya pergi pagi ini, jauh ke ujung bumi tempat dimana langit hanya sebatas jangkauan tangan, suatu saat iapun akan kembali lagi, kerumah kontarkan istana sonyaruri.
Entah hidup entah mati…

Gempol, 060715