Friday, July 16, 2010

Rindu

: embun


Semalam aku ditikam siksa oleh merindukanmu. Ketika hati galau oleh pikiran sendiri dan ketika kepercayaan dipermainkan laksana layang layang. Ya, aku merindukan sejukmu yang tak pernah menyakiti dan tak pernah memberiku cemas. Aku sungguh sungguh merindukanmu, ketika awan gemawan dan kabut menghadang pandangan, cahaya memburam dan aku terkurung oleh lengkung langit langit pikiran. Terkadang engkau tetap menjadi cahanyaku, meskipun tak kujumpai lagi adamu.

Sepuluh tahun lagi dari waktu itu - engkau masih ingat kata kata itu bukan? - akan seperti apa kita di kehidupan fana ini? Sekarang kita telah menjadi, dua lembaga yang terpisahkan oleh aturan peradaban. Sedangkan kenangan mengakar tumbuh laksana batang raflesia didalam kuburan. Jejak jejak kakimu menjadi nisan, yang kujilati penuh dendam ketika rindu kembali menikam. Aku rindu caramu mengurai dungkul dungkul duka yang menghimpit dadaku.

Aku rindu tangan halusmu, yang memperlakukanku serapuh telur. Menjagaku dari keliaran yang mungkin menghancurkan. Memelihara luka lukaku dengan penuh ketabahan.

Engkau ingat pohon teduhan itu? Telah kugali sampai ke akarnya, lalu kuboyong pulang jadikan paru paru jiwa. Hidup kokoh di jambangan kaca, kurawat dan kujaga dalam kamar rahasia. Ia pohon yang berjasa, memberi keteduhan ketika kita hampir mati dianiaya kenyataan masa silam. Pada lapis demi lapis kulit batangya tercatat sejarah tentang perjalanan dua manusia beda segala. Dan sebuah kisah indah tentang pertemuan kita.

Ketika musim menghempaskan cahayaku, sejukmu menjadi pemandu. Meskipun kaki kaki terterlikung oleh jarak dan waktu, dibelah belah oleh dimensi ruang yang sama seperti jutaan tahun silam sebelum kita bertemu. Namun langit kita tetap sama, udarapun tetap yang itu itu juga. Demikian juga kodrat alam, yang mengharuskan kita legowo menerima setiap goncangan dan hempasannya.

Masihkah engkau kini, menjadi pengikut setia arus hati? Ah, aku rindu tatapanmu yang menyejukkan kalbu...


OPP 100716