Friday, October 26, 2012

Filsafat rumput Teki



Rumput Teki (Cyperus Rotundus L.) adalah lambang alam yang mengandung makna tekad baja jika dicerna dengan cara berpikir rumit, bukan sekedar menganggapnya rumput liar tidak bermanfaat. Kekuatan tekad rumput teki yang sanggup menembus kerasnya aspal hotmix, dalam kondisi tidak penyok penyok, hijau segar runcing menujulang sungguhlah menakjubkan. Daripadanya manusia ditauladani, bahwa kekuatan sebuah tekad dapat menembus rintangan terkeras, dapat melewati medan terganas dalam kehidupan.

Benar kata para pintar bahwa suatu bencana yang tidak membunuh akan menjadikan seseorang untuk sanggup memangku amanah yang lebih besar. Bagi rumput teki, jangankan diinjak manusia, dilindas berulang kali dengan roda pun akan terus tumbuh segar kembali. Bahkan kemarau yang seolah menghanguskan setiap klorofil dimuka bumi sekalipun tidak akan mematikan mereka dari eksistensi. Rimpangnya akan tetap bertahan hidup di tanah tertandus, untuk seuatu saat menyembul ke muka bumi dan bersyukur untuk menjadi sesuatu yang tidak menjulang tinggi. Bangga dan bersyukur karena menjadi rumput Teki. Tekadnya yang kuat dan konsisten tidak terpengaruh oleh cobaan dan ujian yang tidak membunuhnya.

Menjadi rumput teki adalah hal terbaik yang bisa dijalani oleh makhluk hidup di alam semesta. Bagaimana tidak, penampilannya adalah mahkota bentuk; sederhana. Karena mahkotanya itu pula, karena kesederhanaan itu pula yang menyebabkan ia menjadi mahluk yang pintar bersyukur dengan keadaan dan hidup yang dijalaninya. Rumput teki tidak memerlukan pencitraan maupun belas kasihan, apalagi terbersit keinginan untuk menjadi rumput jenis lain. Keberadaannya dimaknai sebagai anugerah tertinggi dari sang pencipta, sehingga untuk mengharap lebih dari keadaanya sekarang dianggapnya sebagai penghinaan terhadap keagungan pencipta.

Rumput Teki tak tergoda oleh dendam meskipuan diabaikan keberadaannya, bahkan terkadang dijadikan materi celaan dalam obrolan tanpa bobot. Kata kata “mung sak teki”dan teman temannya tidak akan mempengaruhi kebanggaanya atas diri sendiri. Ia tak mudah sakit hati. Segala yang didapat didalam hidup sudah lebih dari cukup, oksigen gratis, dan semua molekul dan atom yang menyokong hidupnya dengan cuma cuma adalaah kemewahan dari kehidupan. Tidak layak untuk dinodai dengan keluhan, apalagi congkak dengan sikap pamer. Pamer kehebatan, pamer kebaikan, pamer akan sesuatu yang sejatinya tidak patut untuk dipamerkan, pun sesuatu yang sejatinya tidak layak untuk dikeluhkan.

Dari inferioritas dan kesederhanaan bentuknya, kebaikan tertebar lewat setiap butir angin yang mengampiri batang dan daunnya, serta bunganya yang kecoklatan membentuk payung mini dipermukaan kumpulan debu. Ia memberi manfaat kepada mahluk lain yang mengenalnya, termasuk mereka yang mengesampingaknnya.

Filsafat rumput teki, sejuk dihati laksana butir embun yang menggantung dipucuk lembar daunnya, hijau mencium tanah; memupuk kekuatan bagi hati yang mulai melemah.

Gempol 121026 

Friday, October 12, 2012

Sabana Kosmos Maya

Dalam hukum rimba, bersembunyi adalah cara terbaik untuk tetap bertahan hidup. Barangkali mahzab itu juga yang mengilhami manusia modern dengan kapintaran bermimikri, kepintaran berkamuflase diantara sesamanya. Intinya adalah mengelabuhi orang lain demi kepentingan pribadinya. Terlebih lagi dalam kehidupan dunia maya, dimana apa yang ditampilkan seringkali sebenarnya adalah apa yang hendak disembunyikan. Itu namanya pencitraan. Menampilkan sesuatu yang hebat hebat agar orang hanya mengenal kehebatannya saja.

Kehidupan kosmos maya dalam rekam jejaknya banyak menampilkan kepameran dan unjuk keluhan. Kedua duanya adalah modal utama untuk mengumpulkan simpati sebanyak banyaknya. Dan jika simpati sudah terkumpul, seseorang bisa berubah menjadi selebriti dunia maya, dengan ribuan penggemar, ribuan orang yang mengaku dan dianggap sebagai teman; bahkan terhadap mereka yang sebenarnya tidak dikenal sekalipun. Di dunia nyata, hanya orang yang kita kenallah yang disebut sebagai teman, bukan? Banyaknya teman dunia gaib dimana mana itu juga memberi peluang untuk menanam bibit bibit rasa yang buahnya bisa dipetik dimana saja dan kapan saja sesuai selara. Jika keberadaannya dikonfimasikan di dunia nyata, maka jawabannya akan sama "bukan siapa siapa". Ah, sungguh aneh mainan hati yang satu ini. 

Pada masa yang lebih modern dan canggih lagi, dunia maya yang tadinya bermaksud sebagai wahana pertemanana virtual, bisa pula berubah fungsi sebagai pengemban tujuan materi. Media sosial bisa menjadi etalase yang sangat efektif di masa ekonomi global hari ini. Dan tentu saja, fungsi utama sebagai media sosial, pengikat pikiran antar manusia yang berjauhan atau berdekatan lokasinya ini tidak akan pernah terlepaskan. Etalase berbasis laba bisa menjadi penyamar dari ribuan maksud pribadi yang tersembunyi rapi dibalik gemerlap barang dagangan, dan juga dibalik riuh rendah komentar maupun pujian. Pada saat yang bersamaan, korban korban penipuan berjatuhan, berbanding sejajar dengan para pelakunya yang melenggang sambil tertawa.

Memang sudah sifat manusia untuk haus akan sanjungan, terutama bagi mereka yang merasa terlalu modern dan maju untuk sejenak kembali memahami makna kehidupan akar rumput. Padahal, pujian di dunia maya dengan sangat mudah dapat diartikan sebagai ajakan untuk mengejawantahkan rasa saling mengagumi dan saling memuji itu untuk tujuan yang lebih pribadi lagi; urusan yang berkaitan dengan syahwat dan kepuasan individual. Buktinya, media sosial itu memproduksi korban perkosaan, korban pencabulan, penculikan bahkan human trafficking tanpa henti. Setiap hari selalu ada berita baru mengenai itu di koran dan tivi. Itu jika kita masih mau membaca dan mennyimak berita berita humaniora. Tentu di dunia maya tidak banyak tertampilkan, sebab dunia maya adalah dunia ideal bagi para pemuja asmara berbasis kebohongan. Dan lebih konyol lagi, pujian dan penghargaan di dunia maya tidak lebih hanya symbol lisan, bukan lahir dari ketulusan.

Eksistensi seseorang di dunia maya sebenarnya adalah kelahiran kehidupan yang serba instant. Tanpa melewati fase kanak kanak dan pembelajaran, tetapi tiba tiba dewasa dengan berbagai kepentingan pribadi. Dengan kepentingan pribadi itu pula pada akhirnya justru jejaring sosial dimanfaatkan untuk kepentingan kepentingan tersembunyi, penuh kamuflase dan intrik dimana program kepura puraan dapat diaplikasikan semaksimal mungkin. Di dunia maya orang yang gemar menampilkan kehidupan seolan olah bisa hidup subur makmur. Seseorang tidak perlu mengenal orang lain untuk menjadi teman, dan kita bebas “mematikan”orang yang tidak sesuai dengan selera kita kapan saja kita mau tanpa beban. Sungguh suatu kehidupan yang ideal bagi para pendusta.

Maka, ketika seseorang sembarangan membuat pernyataan bahwa dia akan menutup diri dari jenis pertemanan apapun bentuk media sosial , hal itu sesungguhnya omong kosong. Ah, memang dunia virtual ini sudah meracuni akal sehat orang, membuat orang tak mampu mengelola janji, mengelola kata katanya sendiri. Padahal sesungguhnya kata yang kita ucapkan sendiri adalah ukuran dari kualitas seseorang. Setahu saya, di dunia nyata, yang namanya janji adalah hutang, dan yang namanya hutang harus dilunasi. Sebab tidak dilunasi maka akan ditagih nanti di akherat sana. Meskipun berpendidikan sederhana, tetapi sebagai orang yang beragama - meskipun tidak terlihat religius amat -  tentu kita paham maknanya. Maka sudah selayaknya kita patut untuk berhati hati dalam mengelola janji.

Akan tetapi, jika dipandang dari bumi dengan kaki menapak tanah dan dicerna dengan pikiran yang bersahaja, sebenarnya dunia kehidupan virtual tidak lebih dari sekedar jendela tempat ilmu berada. Secara positif kita bisa belajar dari sana mengenai banyak pengetahuan. Dari situ saja kita bisa mengambil intisari kesimpulan bahwa motif dan modus untuk eksis di dunia maya sebenarnya dikendilkan oleh akhlak masing masing individu pemilik akun. Kita tidak bisa menyalahkan media sosial sebagai zat memabukkan dan menggemboskan akhlak, tetapi manusia dengan sadar dan sengaja terlibat dan memandangnya sebagai sarana dan arena yang cocok, aman dan canggih untuk berlaku durjana. Keputusan untuk memilih dan mematikan teman dan keputusan untuk menggunakan kebijaksanaan dalam mengelola akun jejaring sosial sungguh sangat menentukan citra dari pemilik akunnya. Hanya saja memang, sebagian besar dari orang modern dengan sukarela menyediakan diri untuk terjebak dalam gemerlap hura hura dunia maya, mengumbar segala yang tabu menjadi hal biasa. Salah asuh atas kondisi ini bisa menyebabkan orang berpikiran serba negatif, dan menciptakan kerangka pikiran yang sarkastik. Mungkin karena biasa ber "seolah olah" itu.

Sekali lagi, kemampuan untuk mencerna kebijaksanaan hidup memberi kita peluang untuk menentukan pilihan dalam bergaul di dunia modern dan instant ini. Hanya orang orang yang kurang peka terhadap kehidupan nyata di sekeliling kita saja yang mudah termabukkan oleh pesona dunia maya. Mereka yang akan menjadi mangsa empuk bagi para predator yang telah bercokol dan melanglang buana di dunia seolah tanpa batas itu untuk satu tujuan; mencari mangsa. Internet memang adiktif, dan itu nyata nyata dimanfaatkan orang untuk mengambil keuntungan pribadi. Sebagai media yang diciptakan menyerupai labirin pikiran manusia bertata krama, jejaring sosial bisa menjadi tempat yang sangat berbahaya jika kita salah menafsirkannya. Homo homini lupus, inilah modernisasi dari kejahiliyah-an dalam kemasan menawan sesuai selera zaman.

Jejaring sosial di dunia virtual, tidak ubahnya sabana kosmos maya tempat pendusta memuja rasa.

Surabaya 121011

Thursday, October 11, 2012