Friday, March 17, 2006

Siman menggugat Tuhan

(Kronologi: Siman, seorang lelaki dari desa nun jauh dari asap kehidupan metropolis. Dia menjalani hidup berbekal intuisi dan mengumpulkan sedikit demi sedikit pengalaman untuk membangun kehidupanya sendiri dengan cita citanya yang sederhana; hidup tentram damai, pantas dalam peradaban manusia. Selepas dari pintu pagar rumah orang tuanya ketika dia remaja, dia merasa menjelajahi dunia ini sendirian, mengembara ke tempat tempat yang belum pernah dikenalnya, mengenali aneka warna dan rasa kehidupan dan menemukan pelajaran pelajaran tentang hidup sepanjang perjalanannya itu.

Syahdan, Siman membangun sebuah keluarga yang termasuk dalam cita cita sederhananya. Keluarga, sebuah investasi sosial dan pengejawantahan kehidupanya. Semua berjalan sempurna, dengan anak sebagai jimat penyemangat, dengan harapan dan mimpi yang terbangun dan perlahan menjadi kenyataan. Dia hanya tahu membangun, memberi dan mengadakan dari ketiadaan, menempatkan diri sebaik mungkin sebagai suami dan ayah bagi si kecil. Kebahagiaan yang lengkap, dia tak butuh apa apa lagi.

Suatu ketika, kebahagiaanya terampas oleh ulah durjana sang istri yang dia amat sayangi, istri yang dijadikan subyek pengabdian, ketika semua yang ditabung dan dibangunya runtuh oleh obesesi liar sang istri bersama lelaki bejat yang membuat sang istri jatuh cinta habis habisan. Maka Siman mengalami kebangkrutan mental dan material yang sempurna, merana berkepanjangan. Caci maki sang istri bahkan perlakuan fisik untuk memanipulasi kebejatanya diterimanya dengan hati perih, dan dia bertahan dengan investasi sosial yang ditanamnya. Hanya kepada Tuhan dia memohon untuk dikuatkan. Dan ketika tanpa nurani istrinya mengulangi perbuatanya untuk kedua kali, maka Siman menggugat Tuhan, mempertanyakan kesahihan doktrin doktrin moral yang selama ini dianutnya secara harafiah. Dia menggugat setelah bathinya letih berlari mengingkari kenyataan, setelah akal sehatnya tak mampu lagi mencerna makna ketidak adilan umat manusia. Demikian gugatanya….)

Benarkan engkau maha adil? Kalau demikian apakah adil memperlakukanku sedemikian buruk dalam kehidupan? Selama bertahun dipenjara oleh kekecewaan dan disiksa oleh kepintaran? Apakah salah jikalau aku lantas meragukan keberadaanmu sebagai yang maha adil dan penyayang? Rasa sayangkah ini namanya penganiayaan bathin yang tak berkesudahan, dan membiarkan si zalim sang penganiaya bebas tertawa berkeliaran diluar sana, diluar penjara pribadi yang terterali material?

Ketika kenyataan menjepit, aku telah datang kepadamu untuk berdoa, mengemis belas kasihan. Juga ketika orang orang yang begitu rendah budaya dengan enteng merenggut semua kebanggaan sebagai hakku, aku berdoa agar mereka dilaknat. Ketika kebahagiaan yang menjadi symbol dari kebanggaanku runtuh, engkau ada dimana untuk menegakkan keadilan? Apakah hanya mimpi buruk yang terus terjadi setiap malam itu saja yang pantas menjadi imbalanku, mimpi buruk yang terus saja terjadi dalam berbagai bentuknya.

Segala sesuatu yang terjadi dibumi ini tergantung kepada manusia sendiri. Kalaupun engkau maha adil, siapa yang bisa menunjukkan keadilanmu bagi diriku dalam peradaban manusia ini? Mengandalkan dan bergantung padamu hanya akan meracuni pikiran pikiran rasional, dan menaburkan benih harapan harapan yang tidak rasional. Aku sudah dianiaya, dihina, dirampas oleh manusia lain, dan itu membuatku memberontak atas segala keyakinanku sendiri.

Surgamupun terkadang aku ragukan keberadaannya. Bukankah manusia juga yang menggembar gemborkan tentang adanya surga sampai sampai orang rela membunuh dengan iming iming janji surga? Sungguh tidak rasional! Agama yang mengatakan bahwa janji surga itu berasal darimu. Tetapi semua yang menggunakan bahasa manusia adalah produk otak manusia juga.

Aku yakin semua hal dimulai dari pikiran. Demikian juga pembusukan perilaku, juga berakar dari pemikiran yang busuk, sebuah basis kleptrokasi ; kegembiraan atas prestasi jadi maling, kemudian jadi kebiasaan yang menyenangkan dan lama lama jadi kebutuhan. Bukankah dalam setiap kegiatan itu menghasilkan korban? Dan bukankah itu ketidak adilan yang senyatanya menurutmu? Apakah harus menunggu si klepto puas dulu sementara cerita tentang neraka hanya jadi momok belaka? Bukankah akan lebih ideal kalau engkau langsung saja menghukum mereka yang bermental maling dan bermoral bejat ketimbang membiarkan mereka menambah panjang daftar korban yang akhirnya akan datang mengemis padamu dengan doa doa mereka?

Aku menggugat atas kepiluan yang tiada berakhir…tolong jangan hanya diam saja.

Gempol, 060317