Tuesday, February 28, 2006

Episode jam makan siang

Berhenti sejenak wahai kejenuhan, ketika tiga tanda titik menjadi jeda bagi kelelahan fikiran mencari cari kemana perginya sang akal setelah dari pagi dibentur benturkan pada kemuakan demi kemuakan yang melelahkan, melumpuhkan.

Orang orang pergi, mengejar dunianya sendiri sendiri, menciptakan hidup mereka sendiri sendiri setelah bosan mendengarkan keluhan demi keluhan; yang itu itu juga. Hanya yang itu itu juga tak beralih juga tak berpindah.

Segala puja bahkan sekedar kata simpati telah pergi, jauh meninggalkan diri. Deret demi deret kata tak lagi punya makna, hanya pemaksaan atas ketidak relaan hati menerima bahwa semua sudah padam, layu diseret seret oleh kemeranaan yang diam.

Sapaan “apa kabar?” hanya sekali terlontar, itupun tadi pagi ketika matahari belumlah meninggi. Lalu hilang tanpa kesan. Jelas sekali hanya angin musim yang kesasar dan meniup nyala cinta yang telah padam, memunafikinya menjadi semacam prasasti bahwa hati pernah memiliki persinggahan yang menenteramkan.

Setengah pertama catatan hari berlalu dengan beban hampa bernama kesia siaan. Menghitung angka, menanti jarum jam menunjuk angka lima sementara setumpuk kewajiban ditumbuhi ilalang dan semak belukar ketidak mengertian, jauh dari sentuhan. Terdampar dibawah matahari yang tiba tiba menyilalukan, setelah berjuta tahun memberi penghidupan.

Mungkin sebaiknya padamkan saja hati, bungkam mulutnya, sumbat telinganya dan ikat matanya supaya hari berjalan tanpa rasa, tanpa cemburu apalagi curiga sebab pemberontakan yang terjadi dibalik kepala datang dari setiap panca indera.

Sepi, hening mencekam pada jam makan siang. Semua orang pergi tertawa didunia mereka sendiri sendiri….


Graham Simatupang, 060228

Sunday, February 26, 2006

Rindu Damai

Aku rindu rasanya damai, ketika senyum datang bersama mengalirnya detik demi detik merampas usia. Aku rindu rasanya hidup dalam genggaman harapan, dengan benih mimpi dan harapan jadi pemandu, dengan nurani dan logika sebagai rambu.

Inikah arwahku dari jasad jasmaniku yang tenggelam dikedalaman kegelapan? Inikah uap dari kemeranaan atas jiwa yang teraniaya? atau hanya kaki hatiku yang tertancap dilumpur beton, menunggunya mengeras dan lalu mematri diam, meninggalkan kedamaian menjauh ke awang awang?

Aku sungguh rindu rasanya damai, ketika jiwa menyediakan diri menjadi wadah masadepan, wadah ketidak pastian dengan kesiapan tak pura pura. Aku rindu datangnya pagi dengan matahari membawa janji bahwa benih benih harapan akan tumbuh dan bersemi menyemangati.

Setahun ini tempurung pengalaman mengurung dalam gelap, tanpa kisi kisi maupun ventilasi. Dan aku hanya rindu damai, rindu hudupku yang telah lalu. Kapan akan kembali kutemui??

Aku rindu rasanya hidup, dimana mendung, hujan, awan, langit, tanah, udara, air bahkan kegetiran menjadi nyenyanyian berirama damai…

Aku rindu, seseorang jelmaan malaikat yang mengajariku mengangkat dagu, tersenyum menumpas luka luka yang tersembunyi…


Gempol, 060226

Saturday, February 25, 2006

Hikayat Pendusta

Maka dari mulutnya mengalir cerita demi cerita bohong melulu. Sampai tangis dan sikapnyapun hanya imitasi belaka, menjejalkan dongengan untuk dipercaya bahwa dirinya bersih, kalis dari segala dosa. Sedangkan kenyataan begitu gampangnya dinalar dengan logika bahwa perbuatanya menghancurkan sendi kehidupan dari kaki sampai kepala. Bahkan si dungupun dengan gampang menterjemahkan dirinya sebagai pendosa.

Diniliainya orang lain tidak akan siap dengan kenyataan karena kenyataan itu sendiri jauh menyimpang dari jalur norma, melenceng meninggalkan tatanan peradaban dan aturan kepantasan. Dia tidak sanggup jujur bahkan kepada dirinya sendiri, ego dan kesombongan diri telah mengalahkan nurnainya, mati sia sia.

Si penghianat adalah pengecut sempurna, bagi dirinya sendiri dan bagi dunia. Dipandangnya segala dengan mudah, padahal kesulitan melilit langkah. Nurani plastiknya membutakan pengertian akan terimakasih dan rasa bersyukur apalagi balas budi. Yang ada dikepalanya hanya dirinya sendiri yang lebih tinggi dan lebih mulia dari apapun yang ada dimuka bumi. Sungguh kebodohan yang sempurnya yang pada saatnya akan membenturkan kesadaranya bahwa hidup bukanlah sekehendak keinginan belaka, bahwa orang lainpun akan sanggup menciptakan kehidupan yang harus dijalaninya, dan akan diterimanya dengan kesombongan sebagai beban, sebagai penghimpit nafas disetiap detik yang dilalui.

Dari mulutnya mengalir nyanyian tentang penghianatan yang dianggap sebagai ketidak mengertian, sebagai perbuatan lumrah, bahkan sebagai nilai. Dari mulutnya yang busuk mengalir segala sumpah serapah sebagai pembelaan bahkan semburan ludah sebagai benteng pertahanan akan aib yang dibuatnya yang terkoyak oleh kenyataan. Seluruh penampilan fisik dan bathinya hanyalah tinggal bangkai, yang akan menebarkan bau busuk bagi siapa saja, bagi dunia yang ditinggalinya.

Si penghianat hidup dalam kurungan dunia buatanya sendiri, karanganya sendiri dan memaksa siapapun untuk tinggal didalamnya, menghirup busuknya dan beranak pinak dalam kebejatan moralnya. Tak disadarinya bahwa satu persatu nilai duniawinya meninggalkan dirinya, hingga pada garis terakhir pertahanannya pelampung keselamatan bagi dirinyapun dimunafikinya sebagai suatu yang barharga. Harga diri yang diobral habis tetap dipegang teguh sebagai harga, tak sadar bahwa hampa semata yang dimilikinya.

Maka sebentar lagi, nyanyian sang penghianat hanya akan menemukan sunyi, melolong lolong tanpa seorangpun sudi mendengar, ketika dijualnya diri dan kehormatan untuk ditukarkan dengan semenit demi semenit tempatnya meniti hidup, pun tanpa sesal maupun pelajaran yang sanggup diserap oleh fikiranya yang buta. Dia telah menjadi penghianat bagi nuraninya sendiri…

Gempol 060225

Thursday, February 23, 2006

Korban

Perbedaan antara ‘dikorbankan’ dan ‘mengorbankan diri’ jelaslah sangat ekstrim. Tetapi bagaimana dengan diri yagn rela berkorban kemudian justru dipilih oleh sang iblis untuk dipecundangi dengan kebiadaban perilaku? Si korban dipilih untuk dikorbankan karena sikap ‘mengorbankan diri’nya dianggap sebagai kedunguan yang mudah untuk dimanfaatkan, sedangkan baginya mengorbankan diri adalah kesukarelaan untuk tujuan mulia, menjadi orang baik yang menurutnya pantas untuk sekedar dihargai, diperlakukan sebagai manusia syukur syukur manusia bijaksana.

Ketika sikap mengorbankan diri dipilih, maka ego dipenjara oleh keperkasaan nurani, oleh bisikan sang baik hati untuk rela menelan kotoran yang bukan dibuatnya sendiri, dengan hati remuk tanpa bentuk memperbaiki susunan kebanggaan yang pernah dibangun dan lalu dihancurkan iblis. Butuh kekuatan besar dan effort yang tidak sederhana untuk melakukanya.

Tidak perlu kecerdasan berlebih untuk bisa menafsirkan sebagai perbuatan mulia, hanya perlu mengembalikan diri pada cermin sebagai manusia yang berakal budi.

Kebohongan adalah ketika si pembohong menganggap kehidupan serba mudah sementara kesulitan tercermin disekeliling kenyataanya, dan yang lebih menonjol adalah anggapan si pembohong bahwa korbanya tidak lebih daripada si dungu yang memiliki kualitas intelegensia jauh dibawah miliknya sendiri, sangat apriori. Tetapi, kebohongan sama yang dilakukan berulang setelah si korban dengan gamblang menguak kebohongan itu sendiri menurutku adalah kebodohan yang sesungguhnya. Atau barangkali kesengajaan untuk menghancurkan, sebuah metode penghancuran terhadap sebuah karakter. Inilah kejahatan nurani yang sesungguhnya!

Lebih mengenaskan lagi ketika si pelaku justru menyalahkan si korban hanya karena memposisikan sebagai korban, karena tidak bisa menerima kebohongan sebagai kebenaran yang harus dipercayai, sebagai takdir, bahwa kebenaran hanyalah produk dari iblis yang sesungguhnya. Sungguh memprihatinkan krisis nurani yang terjadi pada orang seperti ini., karena kepintaran yang diakumulasikan dari nafsunya menempatkan dirinya pada satu level dibawah nilai seekor B-I-N-A-T-A-N-G.

Gempol, 060222

Wednesday, February 22, 2006

Balada si badut

Ini kisah tentang seorang penduka bernama badut, hidup didunianya yang hitam kelam dan sendirian. Menyediakan. Hatinya terpenjara demi dunia lelucon bagi peradaban. Ia menyediakan diri menjadi tertawaan, membunuh kepribadian dengan topeng kesedihan. Oleh penguasa pertunjukan, dia hanyalah benda mati sebagai mainan, bibirnya ditempeli plastik lukisan sebuah senyuman. Dia sadar, hidupnya sendirian.

Suatu kali ia terdampar dikerumunan sebuah pemberhentian; seseorang menjanjikan datang dan mengharap jemputan. Si badut merasa terhormat berada di tempat seperti orang kebanyakan. Seseorang, kali ini bukan badut. Segala atribut kebadutanya dilepaskan, ditinggalkan dirumah dengan kesedihan, sayang rasanya meninggalkanya tergantung dilemari pengalaman.

Subuh ini si badut akan menjadi orang biasa yang tak dapat dikenali kebadutanya. Dipersiapkanya sekeranjang duka sebagai cerita (sebab hanya itu yang dia punya), dibawanya langkah yang lelah menuju kerumunan, tempat yang dijanjikan. Dia menunggu bersama malam dan segala kegirangan dalam fikiran, dia menunggu seperti semua orang ramah dan baik hati menemani, mengajaknya berbincang tentang indah kehidupan.

Maka datanglah kereta kesekian, dengan sebuah hati membawa bunga dan senyuman. Sebuah hati tempat sibadut menitipkan riwayat kehidupannya. Dia tersenyum dengan hati berdebaran kencang, menyusun ribuan kata untuk jadi percakapan. Harum rambut yang pernah dikenalinya membius cerita duka yang sejak setahun terakhir memperkosa bathin si badut. Dia tenggelam dalam cerita cerita sebuah pertemuan di negeri dongeng, negeri khayalan. Sebuah hati berjalan kearahnya, hati yang ditungguinya yang diharapkannya tanpa kemungkinan lain. Mutlak. Tak sadar si badut melonjak girang.

Direntangkan tangan dengan dada penuh perban, ketika si hati berada dihadapan menyambutnya masuk dalam pelukan. Senyumanya tetap senyum yang memabukkan dulu, senyum yang dia bawa khusus buat si badut yang kegirangan. Tetapi si hati hanya berlalu dan terus tersenyum, si badut hanya memeluk udara, memeluk kehampaan mulanya. Lalu kehampaan itu menjadi pemberontak paling garang ketika si hati jatuh rebah dalam pelukan sang pemilik pertunjukan. Sang hati pembawa bunga, dia datang bukan untuk si badut, menjadi bintang bagi sang pemilik menggelar sebuah pertunjukan.

Dengan kehampaan udara dipelukan, dunia meledak dalam gelak tawa yang tak terbendungkan. Sebagian menunjuk muka si badut yang kemerahan. Dunia terpingkal mentertawakan kebodohanya dengan semua mata melekat pada wajahnya yang kehilangan pijakan. Berhenti tertawa tak diijinkan sampai si badut tahu diri dan menyingkir dari keramaian, berjalan menunduk menyusuri trotoar Jakarta dengan sesekali sumpah serapah merendahkan dirinya. Telah didengarnya caci maki, telah dirasainya ludah penghinaan, telah diterimanya tamparan kemarahan dan hari ini, diterimanya sebuah cemooh terhadap keangkuhan harga diri. Apa lagi yang lebih kurang merendahkan dari semua kejadian?

Si badut pulang kedunianya dikegelapan. Menemukan jubah badutnya tetap tersenyum dalam gantungan, lalu ia menangis mengasihani diri. Sungguh ia ingin melukai hatinya sendiri namun tak didapatinya satupun kemungkinan. Si badut kenyang dengan hidupnya yang dipermainkan. Si badut mengira telah cukup dilewatinya kesengsaraan, namun nyatanya penyiksaan masih saja diterima tanpa bisa dihentikan. Dibawah gerimis, dibawah gelap lepas subuh ia tersdar bahwa ia belum lagi meraih puncak kesengsaraan bathinya sebagi badut senyatanya bagi kehidupan, bagi sang pemilik pertunjukan; orang orang yang menganiaya bathinya.

Ya dia hanya patut jadi badut kehidupan…


Gempol, 060221 – 0201hrs

Monday, February 20, 2006

Drowning

Tenggelam semakin dalam, dikedalaman gelap dan pengap tanpa tuan. Ribuan beling jadi pijakan dikaki, dan bara api dalam dada, juga hujan silet mengamuk dalam badai yang maha pekat. Letih terluka dan merana, diri lumpuh teraniaya. Bahkan untuk pemberontakan terakhir berupa bunuh diripun diri tak sanggup melakukanya. Sesekali letupan dikepala dari kawah hati yang tak henti bergejolak mengalirkan tangis kepedihan yang melukai siapapun yang dihadapan, disamping kiri maupun kanan. Perih membakar.

Harum bau pedang mengundang keberanian, menantang diri untuk tetap tegak sedangkan tiang tiang sandaran perlahan melemah menanggungkan beban. Kehidupan raya semakin menjauhi diri, melayang meninggalkan bumi. Lalu dimana sebenarnya kaki harus dipijakkan dan udara harus dihisap untuk kehidupan jika memang ada. Tenggelam dalam gelap, yang terasa hanya pengap. Tak ada ruang maupun garis pembatas antara kehidupan dan alam fikiran. Sama saja, pengap.

Hujan badai mengamuk makin terasa jika lapar ikut serta mendera, ikut ikutan meramaikan pesta iblis yang membusukkan jantung, paru paru dan limpa. Jalan melempang menuju kematian telah dibangunkan untuk sebuah hati yang bersikukuh menempatkan telapak kaki disepatu laki laki, kekonyolan pribadi yang mengalahkan ruang toleransi yang memiliki garis batas berupa karet fleksibel, menawar nawar nurani untuk mengampuni sang iblis yang dengan tertawa menginjak injak tanpa rasa berdosa.

Semestinya nurani menjadi wasit yang maha bijak atas perdebatan antara hati dan logika, kepentingan diri dan pertimbangan kebajikan. Tetapi nuranipun telah kehilangan wibawa, terbenam dalam arus lumpur hitam yang membutakan. Maka tinggallah sekarang logika berjibaku dengan datangnya miliaran kemungkinan masa depan, berharap dan terus berharap agar dimengerti segala kecacatan mental yang ditimbulkan. Berharap dan terus berharap bahwa manusia kembali kepada fitrahnya sebagai manusia, menempatkan diri sebagai manusia dengan kesempurnaan dan ketidak sempurnaan sebagai manusia. Sungguh berharap bahwa kekuatan yang dipaksakan akan menjadi sesuatu yang patut untuk dibanggakan bahkan dihargai sebagai sebuah nilai penyelamat bagi kehidupan.

Jauh didalam pekat hujan badai asa meraba raba mencari kesejatian diri yang perlahanpun kehilangan nilai atas kebajikan, berubah menjadi monster mengerikan yang hanya tahu menepis, melawan dan mematahkan setiap iblis yang datang menyerang. Sementara cadangan tenaga dikaki untuk terus berdiri makin menipis, dan goyah oleh mimpi mimpi buruk yang dihasilkan dari kalkulasi perlawanan yang tampaknya hanya sia sia belaka. Ya, perlawanan yang sia sia sebab diri terkapar kehilangan rasa, kehilangan tenaga dan kehilangan asa. Kalah dalam siluet kemenangan yang selalu menjadi harapan hampa.


Gempol, 060220 – ketika iblis menyekap dalam siksa sendirian.

Sunday, February 19, 2006

Luka yang indah.


Kekecewaan belakangan menjadi teman akrab. Amarah menjadi tamu tetap, lalu menjelma jadi mutan dalam darah dan udara. Apa mau dikata, diri tak kuasa menentukan bahkan sekedar menghindarkan apa yang orang lain akan perlakukan. Pasang badan menjalani keadaan, meskipun kaki yang pincang kelelahan membuat otak kehilangan tuan sekalipun. Harus dijalani, mengharap akan jadi berkah suatu hari kelak. Mungkinkah?

Kebekuan ini begitu gersang oleh penghianatan terhadap fikiran. Seorang badut ditengah kerumunan dan gelak tawa dunia disekeliling. Dia benar banar sendirian dan tak punya pegangan sekarang. Dia hanya punya nafas yang panjang yang sesekali ditahan dan disimpan untuk cadangan kehidupan. Mulutnya kosong, matanya kosong tapi kepala dan lenganya sarat dengan beban. Dan didalam dadanya, sakit terasa mempertontonkak hehidupan.

Lalu dicari dari mana datangnya luka yang mengucurkan darah, jauh dikedalaman dunia fikiran sendiri. Lubang dan sobekan menganga dimana mana, ada yang baru ada yang lama, ada yang bernanah dan ada yang meneteskan darah hangat masih segar. Dan luka itu merubung hati, hancur kehilangan bentuknya yang asli.

Nasehat datang dari nurani yang kelelahan. Logika bodoh kecewa karena mengharap apa yang tak bisa didapatkan. Seseorang datang mengantar perban! Ia hanya lewat dengan senyuman sebab ia membawa bunga bagi kekasih hatinya. Subuh baru tiba ditempat yang dijanjikan, setelah sekian tahun dalam penantian. Sang penduka menangis digerbong terakhir yang berhenti, afkir, disetasiun pemberhentianya yang terakhir.

Betapa indah luka, ketika yang mengikuti hanya penghayatan sebab diri tak berhak menolak, tak kuasa mengelak. Betapa indah luka ketika titik titik kecemasan perlahan mengabur dan hilang, lalu tinggal hampa yang maha luas membahana menyelesaikan tugas sang malam untuk menikam bathin orang orang yang teraniaya oleh lukanya lukanya sendiri, luka luka yang indah…


Gempol, 060219

Saturday, February 18, 2006

Menunggu

Aku telah menunggumu sejak tak ada apapun lainya yang bisa dilakukan. Apakah aku harus membunuh penantianku, berjalan mengelak dari sergapan perih kenyataan bahwa engkau tak datang untukku? Semestinya begitu, tapi tolong ajari akau bagaimana caranya, sebab aku terlalu dungu untuk sekedar menjadi orang yang pura pura. Maka aku menunggu, sebab aku tak bisa menipu diriku bahwa aku telah lama menunggu dan akan terus menunggu datangmu.

Engkau tak punya pilihan, katamu tetapi engkau membuat keputusan dengan memilih pilihan. Memintaku menunggu, membuatku menunggu dan disebuah kota yang salah karena tak mendaftarku sebagai pilihan. It is fine to live with violated mind inside of me, because it’s just me, the whole me. Engkau tak akan pernah bisa mencicipi perihnya, seperti juga aku tak bisa sedikitpun merasakan pedihmu. Dinding gelembung dunia bathin kita, mustahil untuk didobrak, terlalu tebal meski transparan dalam pandangan.

Seperti mengharap, semua tak harus jadi bukti jawaban tepat. Demikian juga menunggu, tak semua berujung dengan ‘bertemu’. Dan engaku datang bukanlah buatku, itulah kenyataan dan kenyataan itu menyakitkan. Aku merasa tak melakukan hal yang buruk terhadapmu, ucapmu suatu ketika dan memang tak ada satupun hal buruk yang pernah kuterima darimu. Apapun itu. Bahkan sikapmu yang mempermainkan keyakinanku sekalipun tetap indah untuk kuhayati, menyadarkan diri bahwa aku bukanlah miliki peradaban dimana kehidupan normal dijalani.

Engkau mengenalku sebagai rangkuman kata kata, maka aku lahir dalam kehidupanmu sebagai wakil dari kata kataku. Sampai engkau membunuhkupun, aku akan tetap jadi kata kata yang hidup dalam jiwamu. Bahkan ribuan iblis yang kaukenali yang kini tengah berpesta ditengah tengah tubuhkupun tak sanggup merubah wujudku menjadi bongkah daging dan tulang yang tumbuh tanpa hati. Nanti, lihatlah dalam gambar saja, catatan tentang tipu daya yang tertoreh dilengan kiriku, menjadi saksi abstrak peneman penantianku.

Seperti kataku, aku akan tetap menunggumu meskipun sulit bagiku membedakan antara siang dan malam hari. Setidaknya sampai subuh, sampai engkau menginjak bumi kembali…


Gempol 060218


Friday, February 17, 2006

Sang Individu

Manusia individu adalah subyek yang mengalami kondisi manusia. Ini diikatkan dengan lingkungannya melalui indera mereka dan dengan masyarakat melalui kepribadian mereka, jenis kelamin mereka serta status sosial. Selama kehidupannya, ia berhasil melalui tahap bayi, kanak-kanak, remaja, kematangan dan usia lanjut. Deklarasi universal untuk hak asasi diadakan untuk melindungi hak masing-masing individu.


Pengalaman subyektif dari seorang individu berpusat di sekitar kesadarannya, kesadaran-diri atau pikiran, memperbolehkan adanya persepsi eksistensinya sendiri dan dari perjalanan waktu. Kesadaran memberikan naiknya persepsi akan kehendak bebas, meskipun beberapa percaya bahwa kehendak bebas sempurna adalah khayalan yang menyesatkan, dibatasi atau dilenyapkan oleh penentuan takdir atau sosial atau biologis. Hati manusia diperluas ke luar kesadaran, mencakup total aspek mental dan emosional individu. Ilmu pengetahuan psikologi mempelajari hati manusia (psike), khususnya alam bawah sadar (tak sadar). Praktek psikoanalisis yang dirancang oleh Sigmund Freud mencoba menyingkap bagian dari alam bawah sadar. Freud menyusun diri manusia menjadi Ego, Superego, dan Id. Carl Gustav Jung memperkenalkan pemikiran alam bawah sadar kolektif / bersama dan sebuah proses pengindividuan, menuangkan keragu-raguan untuk ketepatan pendefinisian individu ‘yang dapat diartikan’.

Individu manusia terbuka terhadap emosi yang besar mempengaruhi keputusan serta tingkah laku mereka. Emosi menyenangkan seperti cinta atau sukacita bertentangan dengan emosi tak menyenangkan seperti kebencian, cemburu, iri hati atau sakit hati.

Seksualitas manusia, di samping menjamin reproduksi, mempunyai fungsi sosial penting, membuat ikatan / pertalian dan hirarki di antara individu. Hasrat seksual dialami sebagai sebuah dorongan / keinginan badani, sering disertai dengan emosi kuat positif (seperti cinta atau luapan kegembiraan) dan negatif (seperti kecemburuan / iri hati atau kebencian).

Tubuh

penampilan fisik tubuh manusia adalah pusat kebudayaan dan kesenian. Dalam setiap kebudayaan manusia, orang gemar memperindah tubuhnya, dengan tato, kosmetik, pakaian, perhiasan atau ornamen serupa. Model rambut juga mempunyai pengertian kebudayaan penting. Kecantikan atau keburukan rupa adalah kesan kuat subyektif dari penampilan seseorang.
Kebutuhan individu terhadap makanan dan minuman teratur secara jelas tercermin dalam kebudayaan manusia (lihat pula ilmu makanan). Kegagalan mendapatkan makanan secara teratur akan berakibat rasa lapar dan pada akhirnya kelaparan (lihat juga malnutrisi).
Rata-rata waktu tidur adalah 8 jam per hari untuk dewasa dan 9–10 jam untuk anak-anak. Orang yang lebih tua biasanya tidur selama 6–7 jam. Sudah umum, namun, dalam masyarakat modern bagi orang-orang untuk mendapat waktu tidur kurang dari yang mereka butuhkan.
Tubuh manusia diancam proses penuaan dan penyakit. Ilmu pengobatan adalah ilmu pengetahuan yang menelusuri metode penjagaan kesehatan tubuh.

Kehidupan subyektif individu berawal pada kelahirannya, atau dalam fase kehamilan terdahulu, selama janin berkembang di dalam tubuh ibu. Kemudian kehidupan berakhir dengan kematian individu. Kelahiran dan kematian sebagai peristiwa luar biasa yang membatasi kehidupan manusia, dapat mempunyai pengaruh hebat terhadap individu tersebut. Kesulitan selama melahirkan dapat berakibat trauma dan kemungkinan kematian dapat menyebabkan rasa keberatan (tak mudah) atau ketakutan (lihat pula pengalaman hampir meninggal). Upacara penguburan adalah ciri-ciri umum masyarakat manusia, sering diinspirasikan oleh kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Adat kebiasaan warisan atau penyembahan nenek moyang dapat memperluas kehadiran sang individu di luar rentang usia fisiknya.

(Sumber: wikipedia.org)

Thursday, February 16, 2006

Penghayatan Hidup

Menghayati hidup barangkali sama dengan mengikuti arus gelombang, naik turun tanpa melawan. Merasakan dramatisasi setiap gerakanya, terkadang tenang menenteramkan, terkadang kacau membingungkan, mematikan akal sehat dan kemauan.

Penghayatan terhadap dramatisasi emosi adalah menyerahkan rasa kepada hidup yang memperlakukan sementara nurani tetap menggenggam rambu rambu tetap dijalur yang menjadi keseharusan. Jalur yang akan membawa sipengikut rasa menjadi aman dalam perjalananya.

Perjalanan kemana? Dari keseluruhan romantika rasa kehidupan, semua akan di shut down olehNya ketika kematian dihadiahkan sebagai sampul terakhir dari buku catatan perjalanan sejarah sebuah individu. Kematian menjadi muara dari segala cerita tentang kehidupan, dan terkadang dia datang tanpa meninggalkan catatan bahkan resensipun tidak, dilupakan orang karena memang tak berharga, tak punya cerita yang pantas untuk dijadikan sekedar perenungan bahkan untuk suri tauladan.

Ada kalanya kehidupan memperlakukan diri seperti raja bagi keadaan, dimana semua keinginan datang dengan satu jentikan jari bahkan menemukan kenyataan yang jauh lebih baik dari harapan yang sempat dibayangkan. Bagi yang patuh pada nurani, keadaan seperti ini membuat orang menjadi bijaksana, tetap menempatkan kesombongan ditangga terbawah dalam semua sikap dan teguh berupaya membagi ‘keberuntungan’ itu dengan orang lain.

Pada hitungan detik, keadaan bisa berbalik semena mena. Diri terasa meluncur dari puncak gunung kehidupan terbentur dan terantuk sepanjang peluncuran kedasar jurang yang belum ketahuan, seperti apa bentuk permukaanya, bahkan terkadang merasa tersangkut diketinggian lereng jurang dengan luka diseluruh persendian dan badan matirasa, hanya kesadaran bahwa hidup masih bertahta sebagai penguasa saja yang tersisa, sambil menunggu hukum gravitasi bekerja sempurna menghempaskan diri kekaki lembah.

Sikap menghayati seperti itu memerlukan konskwensi kekuatan yang sesungguhnya, tertunduk syukur ketika bahagia dan mengerang memelas ketika terasa lara, tertawa lepas ketika gembira atau menangis memilukan ketika berduka. Tak apa, hidup memang ada untuk dihayati dan dirasakan romansanya, sebagai karunia terbesar dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Mengikut arus gelombang kehidupan dengan perasaan penuh, adalah menyerahkan kesadaran diri sepenuhnya bahwa Dialah yang maha menentukan, dan kita hanya bertingkah entah menerima atau sekuat kuatnya melawan kehendakNya.

Gempol, 060216

Mimpi

Pucuk pucuk rerumputan pagi hari, menyisakan embun menyapa ditelapak kaki yang telanjang, hati ringan membawa badan berjalan menyusuri tepi hutan, lengang tanpa kehidupan. Sisa kabut menyingkir dihadapan hanya kicau burung menemani sepanjang jalanan. Pagi ini bumi begitu senyap, rembulan pulang meninggalkan bekas pesta semalaman berserakan sisa keteduhan romantisme kehidupan. Matahari masih malas melanglang menghitung jejak malam yang tertinggal direrumputan.

Jalan setapak ini kukenali, yang bertanah kering merah berdebu sisa lumpur musim lalu, sejuknya mengundang masa kanak kanak untuk menghambur dan rebah, dibawah rimbun rumpun bambu, pagi hari yang penuh cita cita. Alam memeluk kalbuku, damai menyelimuti bathin sendirian. Angin membawa kabar tentang negeri negeri yang jauh dibalik awan, menantikan catatanku untuk dibacakan, tentang peperangan yang aku pulang membawa bunga sebagai symbol perdamaian.

Persimpangan ini kukenali, dimana telah kutanam satu biji pohon kehidupan dan lalu tumbuh rimbun menjadi semboyan. Seratus langkah lagi aku tiba dihalaman, rumah tua tanpa penghuni, tanpa pagar maupun isi. Berdinding kayu berlantai batu, sepasang kursi tua setia menunggui tungku perapian yang membeku. Akupun mengenal rumah tua ini, dimana anak anak rohani lahir dari kehangatan cinta penghuninya dulu. Diberanda belakang, seikat bunga lili tergeletak merana, tampaknya baru saja datang sebagai persembahan. Seseorang setia menjaga rumah ini, merawat dan menyambanginya, barangkali berharap penghuninya pulang dari pengembaraan mengikuti langkah sang angin yang menerbangkanya, terpontang panting diantara rawa rawa.

Teduh rumah ini begitu mendamaikan, seikat lili dalam pelukan bersama sejuta kerinduan yang malu malu untuk dipertontonkan. Mengumpulkan lagi kenangan, diri tersesat pada labirin yang membingungkan, hilang ingatan. Catatan telah tercecer hancur bersama badai yang kuhadang ketika suara merdu memanggil pulang. Tapi aku kelelahan, mencari tempat dimana kaki dipijakkan sebab rumah inipun jadi hampa, tinggal aku yang duduk terpekur diberanda, menunggu matahari lewat dan malam datang bawa rembulan, dimana akan datang bidadari kayangan, mengajariku cara menjalani kehidupan. Dengan senyum yang tak dipaksakan…

Mimpiku, menafsir rindu akan diri yang lama hilang…


Gempol 060215

Wednesday, February 15, 2006

Senyum dan keikhlasan

(sebuah argumentasi atas kuasa sunyi)

“ Hidup jangan dipersulit, senyum itu lebih indah mengundang keikhlasan untuk masuk secara perlahan”
Mempersulit hidup, sungguh tidak seorangpun dimuka bumi ini yang masih menganggap diri waras mau melakukan itu. Terkadang hidup jadi dianggap sulit lantaran tanggungan konskwensi atas keputusan yang dibuat dan dihayati sungguh sungguh dengan nurani. Kesulitan itu sendiri menjadi denyut nadi kehidupan, sebuah indikasi harfiah bahwa hidup masih berjalan, masih ada dan terasa.

Hati yang ikhlas akan secara simbolis diterjemahkan dalam senyum yang mengembang, tanda kebahagiaan yang terundang masuk secara perlahan kedalam sanubari. Senyum menterjemahkan kebahagiaan itu dan menjadi bahan baku dari keikhalasan yang akhirnya beranak pinak dalam jiwa, berkembang biak menjadi suasana hati yang berbahagia.

Senyum sebagai umpan bagi datangnya keikhalasan menjadi imitasi atas kesementaraan, pertanda pondasi keikhlasan jiwa yang labil. Keikhlasan datang sebagai hidayah, bukanlah tamu bagi hati yang siap pergi kapan saja waktunya pantas untuk pergi. Dan ketika senyum dipaksakan sebagai umpan, keikhlasan yang datangpun hanya sebagai kiasan belaka. Sedangkan syarat mutlak dari keikhlasan adalah; sukarela.

Sebuah senyuman memerlukan kekuatan dari hati yang ikhlas, sebab ketika senyum dipaksakan maka keikhlasan yang menyertainyapun berupa keikhlasan yang dipaksakan juga, bukan keikhlasan yang hakiki, dan sama saja tidak ada keikhlasan disana.


Gempol, 060215


Tuesday, February 14, 2006

Si zalim Yang Menangan

Filsafat negeri dongeng sungguh menyesatkan, bahwa kezaliman akan selalu kalah oleh si benar, bahwa pahlawan terlahir untuk menumpas ketidak adilan. Lalu kebenaranlah pemenang sejatinya. Teori itu hanya menyemangati anak anak kecil untuk menanamkan budi baik kepada kehidupan supaya tidak ada kezaliman dari keturunan keturunan selanjutnya. Nyatanya dalam dunia sebenarnya, kezaliman lebih terasa kemenanganya ketika segala aturan dirampas dan ditindas dengan semena mena, bahkan untuk membuktikan bahwa si zalim lah yang berkuasa atas sabuah kejadian.

Ketika si zalim berkuasa atas sebuah pribadi, maka apapun yang dikehendaki si zalim ini menjadi kenyataan dengan serta merta. Lalu si pribadi hanya merasa telah menjadi korban dari kelaliman si zalim tanpa mampu memberikan pembelaan yang memadai. Ketidak mampuan untuk melakukan pembelaan adalah karena nurani si pribadi yang meng-upgrade kolam toleransinya menjadi semakin luas dan lebar meskipun menggerogoti daratan logika.

Ketika si zalim berkuasa atas sebuah pribadi, maka ekspansinya bisa semena mena, bahkan merekrut bayi bayi kebaikan untuk dijadikan aparat pelaksana kekuasaan kezaliman, menjadi sebuah tirani yang akhirnya akan melembaga dan membudaya. Ya, tirani peradaban namanya. Ini bukankanlah kehidupan rekayasa ketika kebiadaban sebuah tirani menjadi sesuatu yang umum berlaku, menciptakan rezim kolonialisme yang sangat menggerogoti nilai nilai kehidupan. Kebangkrutan moral dan keboborokan budi pekerti menjadi indikasinya, ketika si terjajah berubah menjadi pemberontak yang hanya bisa membarontak kepada dirinya sendiri dan pada saat yang sama lumpuh layu menghadapi bengisnya kekuatan tirani kelaliman.

Paparan diatas hanya terjadi pada sebuah gelembung dunia bagi sebuah pribadi, sebuah cerita kehidupan manusia. Ya, setiap manusia memiliki gelembung dunianya sendiri sendiri, hidup dan tinggal dalam gelembung itu dalam kesendirianya sendiri. Terkadang tak ada orang lain dari gelembung dunia lain yang bisa membantu bangkit dari keterjajahanya karena memang dinding gelembung menghalangi. Yang bisa dilakukan adalah berteriak teriak menguatkan semangat dari luar lingkaran, dan ketika teriakan melemah, maka penjajahan terus saja terjadi dan terjadi semakin merajalela.

Pahlawan yang diharapkan diidentifikasi sebagai striyo piningit sebuah retorika pemaksaan harapan bahwa akan datang satu sosok atau satu kekuatan yang akan menghancurkan birokrasi si zalim ini, kemudian mengembalikan harkat hidup ketempat yang semestinya. Dalam cerita ini, satriyo piningitnya sedang terjepit diantar dua batu karang dengan gelombang pasang yang mengempas dan menghantam setiap detik dan menit yang dijalani, dan tetap mencoba terus mempertahankan nafas yang melekat dibadan. Pahlawan ini bernama hati, yang karena kelaliman si zalim teraniaya dan menjadi kerdil namun tidak mati. Dialah yang akan membela kepentingan yang tertindas, menjadi pahlawan yang sejati bagi sebuah kehidupan di gelembung dunia sebuah kepribadian.

Penggambaran tentang kemenangan si zalim dalam dongengan pengantar tidur masa kanak kanak tidaklah sebengis dari kenyataan yang terjadi di dunia kenyataan, supaya nantinya anak anak yang tumbuh menjadi manusia utuh bisa belajar sendiri tentang nilai hidup yang harus dijalani tanpa harus terus terkooptasi dengan dongengan yang menghibur sebelum berangkat tidur itu.


Gempol suatu pagi, ketika iblis menyerbu dari segala penjuru, 060214

Sunday, February 12, 2006

Manusia baik hati

Sebuah long term relationship tidaklah bisa dimanifestasikan dalam satu perhitungan metematis, dimana 2 + 2 = 4 dan seterusnya, bahw satu individu + satu individu seyogianya menjadi satu kehidupan, bukan dua kehidupan. Bagaimanapun juga dua individu tetaplah sabagai dua individu dengan dan terikat dengan sebuah batasan bernama toleransi. Hubungan itu lebih rumit dari sekedar menggabungkan rumus rumus kimia untuk mencapai sebuah hasil yang terkandung di dalam pengharapan. Hubungan ini adalah seni menggabungkan dua unsur berbeda menjadi satu kesatuan untuk membangun harapan dam mewujudkan mimpi mimpi sederhana menjadi sesuatu yang dijalani dengan rasa yang sama.

Ketika orang memilih seseorang yang lain untuk melalui proses ini, maka yang dibutuhkan hanya satu kriteria, yaitu manusia baik hati. Pengertianya adalah bahwa seorang manusia yang baik hati meliputi semua hal yang dibutuhkan untuk menjadi teman hidup, teman hidup yang sebenar benarnya. Seorang manusia yang baik hati memiliki dasar dasar humanisme baku yang mengakar kepada sifat sifat baik pula, sekali lagi sebagai teman hidup, dia akan dengan sukarela mendengar panggilan nuraninya untuk menjadi pelindung, penenteram, peneman penguat dan pencinta terhadap individu partner hidupnya. Orang seperti inilah yang ideal bagi kehidupan sebuah relationship apapun bentuknya.

Manusia yang baik hati tidak perlu lagi mengeja eja bahkan memanipulasi tentang hukum hukum adat pergaulan seperti tenggang rasa maupun menghormati. Dia telah dibekali secara kodrati untuk menjadi manusia yang berarti, mungkin bagi dirinya sendiri dan berharap berarti bagi orang lain. Sifat baik hati sungguh adalah sebuah sifat yang mumpuni untuk menuntun sebuah hubungan jangka panjang menjadi sesuatu yang bermakna, berarti sesuai dengan janji dan isi mimpi mimpi yang dibangun.

Idealnya teman hidup memang seorang manusia yang baik hati karena dari situlah awal dari semua invsestasi hidup, karena dari sanalah jejak sejarah tentang sebuah riwayat diri terbentuk dan tercatat menjadi salah satu tauladan bagi kehidupan selanjutnya. Manusia yang baik hati akan sangat menghayati nilai nilai luhur sebagai manusia, menjadikan agama sebagai pemandu dan Tuhan sebagai muara bagi semua persoalan. Diluar dari topik bahasan tentang itu, manusia baik hati menyediakan diri dan hati untuk kehidupan orang lain, menjadi sesuatu yang bermakna dan bernilai bagi diri sendiri dan mungkin orang lain.

Adalah jamak kalau manusia baik hati itu menjadi semakin langka pada zaman elektronik sekarang ini. Kehidupan telah menciptakan imitasi imitasinya termasuk kepribadian. Penampilan yang menarik, kebendaan yang merangsang dan konsumi gaya hidup menjadi pola yang bisa dengan mudah membiuskan. Hampir segala sesuatu bisa terbentuk dengan instant dan juga keaslian sebuah manusia baik hati sering kali terkubur dalam imitasi sikap untuk sekedar memancing perhatian, menciptakan sebuah kepribadian rekaan sebagai umpan bagi pemenuhan atas kepuasan nafsu duniawi belaka.

Sayangnya memang manusia tidak bisa menghindari itu semua bagi sebuah kehidupan dibuminya. Kehidupan yang terkotak kotak (baca: kastanisasi diri) telah membantuk juga komunitas komunitas yang memiliki warna dan golonganya sendiri, terlalu mudah memincingkan mata bahwa kesederhanaan adalah milik golongan yang dibawah, bahwa charity adalah cara mengekspresikan simpati.

Semoga dalam kehidupan kita selalu dikaruniai manusia manusia baik hati, entah sebagai kenalan, sahabat maupun teman hidup. Sungguh beruntung mereka yang mengalami ini, menemukan individu lain untuk kita jadikan teman hidup yang bisa kita percaya untuk titipan hati sepanjang hayat dengan hak hak khusus yang kita miliki dan ukuran ukuran pribadi sebagai standardisasi dari kriteria yang sesuai dengan harapan nurani kita.


Gempol 060212

Friday, February 10, 2006

Bunuh diri; pemberontakan atau kemenyerahan?

Ketika logika tak sanggup lagi mencerna realita, terbentur dinding tembok tinggi bernama keadaan, alam fikiran gelap pekat terkepung pesimis. Bathin berjalan bimbang mengitari tepi garis batas keyakinan dengan ribuan pertanyaan yang hanya berujung kepada ribuan pertanyaan lainya. Buntu jawaban. Mandul akal fikiran. Diri tak punya apa apa lagi untuk diharapkan, apalagi dibanggakan.

Harapan yang terputus dan mati layu membawa dorongan untuk melakukan tindakan mengambil short cut dengan menyelesaikan hidup secara ekstrem, membunuh diri sendiri dan lepas tanggung jawab dari konskwensi kehidupan. Yang terbayang adalah bahwa tidak ada lagi kehidupan selain dimuka bumi ini. Sungguh pemahaman nurani yang gersang, tapi itu berlaku mutlak terhadap sesiapapun yang memang memiliki dorongan untuk melakukan bunuh diri ketika hidupnya terkurung ditempurung pengertian yang hanya berdinding gelap, berlantai gelap dan baratap gelap.

Sebermula dorongan untuk bunuh diri itu timbul dari kebutuhan akan empati dari sekitar, dimana diri mengharap agar orang melihat, mendengar dan merasakan apa yang sedang terjadi dialam bathin. Kebutuhan itu menemui jalan buntunya, tak mendapat pemenuhan. Yang terjadi tentu kekecewaan, kemudian berkembang menjadi rasa kesendirian dimuka bumi. Betul betul sendiri harus menghadapi kekecewaan, menghadapi keadaan yang tidak sesuai dengan pengharapan, sementara celah untuk memberontak samasekali tak ditemukan. Buntu. Orang orang terdekat dalam kehidupanya serasa menjauh dan diri merasa dijauhkan dari kehidupan, semakin terpencil dalam alam bathin yang berbadai dan memelas pada diri sendiri, dan pada saat yang sama kehabisan akal untuk menolong dirinya dari keadaan yang menyergap.

Bunuh diri dipilih sebagai perlawanan yang sangat ekstrim terhadap kenyataan. Sebuah penolakan yang sangat tragis kepada keadaan yang harus dihadapi. Kekuatan batin setiap orang tidaklah sama dan memilih bunuh diri adalah pemberontakan terakhir yang dimiliki sebagai symbol perlawanan, penolakan terhadap kemungkinan masadepan, yang didalam kepala kemungkinan itu hanya berisi satu hal; ketidak mungkinan!

Orang terdorong untuk melakukan bunuh diri juga karena menyerah dengan keadaan seperti tertulis pada paragraf diatas. Rasa malu dan tak berdaya yang berlebihan menjadi faktor faktor pendorong terjadinya bunuh diri. Kemudian menyerah, merasa tak sanggup lagi melawan atau merubah keadaan selama hidup masih dijalankan, lalu memilih untuk berhenti hidup dan berhenti bertanggung jawab atas segala laku hidup yang pernah dijalani, maka semua selesai tak lagi ada perhitungan perhitungan yang harus dipertanggung jawabkan bagi peradaban. Anggapanya adalah bahwa berhenti dari kehidupan berarti berhenti menanggung ‘beban’ yang dari hidup yang dijalani. Padahal kalau mau sedikit saja menyadari, bahwa ‘beban’ tersebut hanyalah konskwensi dari pilihan yang diambil dalam menjalani kehidupan. Haih…rumit!

Orang pada akhir ‘perjuangan’ hidupnya memilih bunuh diri, adalah orang yang memiliki bangunan rohani yang rapuh, tandus dari keimanan dan kepercayaan tentang semesta, tentang Tuhan. Orang yang berpemahaman bahwa hal hal duniawi adalah segalanya, bahwa peradaban tidak mengikut sertakan dirinya untuk berperan karena berbagai keterbatasan kemampuan. Materialistik.

Pada akhirnya, bunuh diri menjadi pililhan terakhir untuk melawan keadaan yang tidak sesuai keinginan atau harapan yang sekaligus menjadi cara mengasihani diri paling sempurna, menyerah terhadap kehidupan peradaban hanya karena merasa diri tidak layak menerima apa yang diberikan kehidupan. Sungguh, orang orang seperti ini adalah golongan orang orang yang kufur.


Gempol – Simatupang, 060210

Thursday, February 09, 2006

Kisah si Gaby

(Sebuah perenungan dari masalalu tentang setitik nilai manusia)
Balian Beach Bungalows, Desa Lalang Linggah – Selemadeg Tabanan-Bali pada suatu saat ditahun 1992. Dihalaman samping bangunan utama, seekor monyet terikat dengan rantai, terikat pada ‘kandang’ sederhana dari kayu disebuah cabang pohon Angsoka. Didekat pohon itu dua bangku dari beton menghiasi. Monyet jantan berumur sekitar dua tahunan itu bernama Gaby.

Pada mulanya memang rasanya ngeri mendekatinya, melihat caranya bereaksi dan juga pandangan mata liarnya. Tapi dia binatang kecil yang terikat, meskipun gigi gigi tajamnya terkadang membuat perasaan bergidik dibuatnya.

Keakraban muncul ketika hampir setiap hari tugasku memberinya makan dan mengajaknya bermain main. Makanan buah buahan, juga dan membiarkan Gaby untuk berada diatas tubuhku, sambil ngeri dan sesekali geli. Singkat kata, Gaby menjadi teman akrab, menjadi monyet yang hampir tiap hari akan bisa dengan mudah menjerit menyambutku setiap saat mendekat.

Lalu pada suatu kesempatan, entah sebab apa tiba tiba setelah baru saja dia berada dilenganku, dia meradang, mengamuk dan menggigit ketiakku. Sakit juga tidak begitu, tapi kaget saja bahwa Gaby masih menyimpan keliaranya, bahkan kepada orang yang setia memberinya makan dan mengajaknya bermain setiap hari. Aku tak mengerti jalan fikiran monyet ini. Yang terjadi adalah marah, menganggap dia mengerti kata kata yang kuucapkan, maka dengan kata kata kuperingatkan untuk tidak mengigit lagi.

Tugas tetap harus berjalan, kehidupan berjalan. Beberapa hari setelah insiden itu, Gaby mengulanginya lagi, kali ini tengkuk yang jadi sasaranya, digigit dengan semena mena padahal memar dan gores diketiak belum juga hilang warna merah kebiruanya, bekas gigi giginya yang menggores kulit. Kali itu aku yang begitu muda hilang kesabaran, kupegang tali pengikatnya dan menamparnya dengan marah, dengan kekuatan untuk ukuran seekor monyet, cukup membuatnya menjerit dan diam. Tingkahnya jadi ketakutan terhadapku. Dan menit berikutnya penyesalan mengganjal isi kepala, bahwa aku telah menjadi lebih binatang dari Gaby sendiri. Tetapi sejak itu, Gaby tak pernah lagi menggigitku, menjadi monyet manis yang sopan dan menyenangkan untuk diajak bermain dan menerima jatah makan dari tanganku. Rupanya dia belajar dari kekerasan yang terjadi.

Empat belas tahun kemudian, situasi yang sama dan lebih serius ternyata harus terlewati. Seorang manusia yang konon mahluk yang diciptakan paling sempurna ketimbang mahluk lainya dimuka bumi menganiaya batinku dengan semena mena. Tanpa sadarpun reaksiku sama seperti Gaby, menasehati dengan kata kata dan sikap dan memberinya kesempatan setelah berbulan bulan ‘mengorbankan diri’ menanti keajaiban kesadaran nurani. Tetapi rupanya hal itu bukan sesuatu yang berarti, kehancuran pendalaman dan kerusakan alam bathinku tak bararti apa apa baginya setelah sebelas bulan yang melelahkan syaraf itu, diulanginya lagi penganiayaan bathin itu dengan cara yang lebih keji dan sempurna. Rupanya dia tidak bisa menyerap sikap dan cara ‘halus’ itu menjadi pengertian untuk pelajaran perilaku, maka tamparan mendarat untuk pertama kali selama sepuluh tahun lebih kebersamaan.

Si mahluk yang notabene binatang yang paling sempurna itupun ternyata memiliki sifat melebihi binatang, bahkan ketika dia harus berlaku culas. Akal fikiranya memperparah kesempurnaan itu, menjadi peculas yang paling sempurna dibanding mahluk bernama binatang jenis apapun. Kali inipun aku kehilangan akal sehatku, mencoba mencerna jalan fikiranya yang kelewat ‘biadab’, atau mungkin kebiadaban yang sempurna itu, pun sikap belajar dari pengalaman tak jua kunjung datang menghampiri. Haih!

Rasa sakitnya lebih sakit karena dia juga dibekali dengan akal budi dan nurani dimana seharusnya tenggang rasa bersumber, dimana seharusnya perilaku bermuara. Tetapi barangkali memang benar teori bahwa manusia adalah binatang yang paling sempurna, demikian juga kesempurnaan dari sifat kebinatanganya justru melebihi binatang itu sendiri.

Gaby, yang hanya dibekali instinkpun bisa belajar dari kesalahan, seperti menerima resiko dari kekeliruanya dan kemudian ‘bersikap’ merubah perilaku. Sedangkan, seorang manusia yang dibekali akal untuk inisiatif, nurani untuk tenggang rasa, logika untuk mengukur rasionalitas, dan hati untuk wahana nilai justru dengan semua bekal keunggulan itu seperti sengaja melanggarnya, menindas semua batas pembeda antara manusia dan binatang, dan menjadi binatang yang paling sempurna.
Memprihatinkan!

Gempol, 060209

Wednesday, February 08, 2006

Kesetiaan Pak Ubung

Lelaki bertubuh kecil berusia sekitar 58 tahun itu tampak menyempil diantara kedua angkringnya, memikul dagangan keliling kampung diseputar Gempol – Cipayung. Pakaianya lusuh, berpeci lusuh dengan kulitnya coklat gelap. Angkring uniknya tak kalah menarik perhatian, dengan daging ayam dalam rangkaian tusukan disatu sisi dan perapian dari arang batok kelapa disisi lainya. Jaraknya antara kedua angkring itu demikian sempit sampai hanya cukup untuk badannya yang mungil. Lampu minyak terbuat dari gelas diisi minyak kelapa dan diberi sumbu sebagai nyala menempel disalah satu angkringya. Pikulan angkringnya begitu unik, dari batang bamboo yang melengkung tempat dimana beban diletakkan dipundaknya yang mulai renta.

Namanya pak Ubung, lelaki dari Cirebon yang sudah berjualan keliling kampung sejak belum ada angkot di daerah Cipayung sekitar tahun 1985. Sejak 21 satu tahun yang lalu sudah setia menyusuri kampung dengan daganganya dan dengan angkring yang sama pula. Tenaganya makin susut, usianya tak makin menjadi muda tapi semangatnya tetap yang dulu, yang ia punya pada 1985. Jam lima sore keluar dari kontrakan, lalu menjajakan daganganya hanya sampai nanti sekitar jam 12 malam, ketika waktunya orang untuk tidur beristirahat. Duaratus limapuluh tusuk sate paling tidak mampu terjual jika hari baik, yang berarti 250 x 600 rupiah = 150.000 rupiah dikantonginya.

Keramahan dan senyumnya menjadi penyejuk setiap pembelinya, ceritanya yang renyah mengalir tentang pengalamanya, tentang keluarganya dikampungnya di Cirebon, bukan keinginan maupun keluhan keluhan yang dipertontonkan kepada pembelinya. Kesetiaanya pada profesi mengilhami rasa rendah bagi siapapun yang sempat berpapasan dengannya, dan bagiku kesetiaanya pada keluarganya di Cirebon menjadi tauladan tersendiri yang patut kukagumi, dan mungkin kuagungkan. Dialah lelaki yang sesungguhnya, dengan postur mungil tergerus usia, dengan cita cita dan kesahajaaan yang luar biasa.

Ketika gelap menyekap malam, pak Ubung dengan langkah pendek pendeknya setia menyusri jalanan, gang demi gang dengan daganganya; sate ayam tanpa lontong maupun nasi. Sate ayam Cirebon. Pak Ubung bahkan menembus gerimis dan juga melewati hujan ketika memang Tuhan menganugerahkan hujan ke muka bumi. Peci dekilnya setia melindungi kepala yang ditumbuhi rambutnya yang ubanan dari tetesan air dinigin, sekaligus menjadi icon bagi pak Ubung penjual sate Cirebon.

Obrolan dengan pak Ubung sore tadi, menjadi tauladan bagi nurani betapa hidup begitu berharganya untuk disyukuri dan dijalani, betapa pemurahnya Tuhan dangan segala anugerah maupun karunianya kepada kehidupan. Menjadi pak Ubung barangkali menjadi manusia yang bersyukur, menjalani hidup dengan kesahajaan dan sukacita, setia pada profesi, setia pada tanggung jawab keluarga dan setia kepada tanggung jawab sebagai lelaki, sebagai manusia.

Gempol, 060208

Tuesday, February 07, 2006

Truth is the real answer

Pikiran adalah bumerang, ketika jawaban yang sesungguhnya adalah kebenaran. Dia seperti air menelusup dianatara akar dan celah tanah mengering mencari kesejatian. Dan ketika kebenaran ditemukan sebagai jawaban kesemestian, ia terkadang bermakna juga sebagai palu godam yang melumpuhkan kaki, meremukkan tulang belulang.

Adalah akal semata yang memaksa hati untuk terus bergerak mencari, mendesak sampai kedinding ego yang menjulang tinggi hingga penyok penyoklah nilai diri tergencet oleh dorongan hati dan kukuhnya ego yang semestinya melindungi nurani. Peperangan dalam ruang bukanlah futsal, permainan demi kesenangan. Dia adalah perkelahian panjang yang menghancurkan diam diam.

Hati memang tak selamanya memberikan pilihan terbaik, meskipun janji kebanggaan bahwa ego sanggup tertaklukkan dengan sakit hati dan katakanlah pengorbanan atas sebuah kepribadian. Keletihan mental yang melumpuhkan dan membutakan terkadang justru menjadi satu satunya keadaan yang harus ditelan, sebalum dibagikan kepada teman teman yang datang merubung menaburkan benih simpati di sanubari.

Ya, ego hanya memperjuangkan haknya atas kebahagiaan yang terampas semena mena, sementara hati menawarkan kebanggaan atas laku sang Nabi. Terus mendorong untuk tidak melakukan perlawanan, membujuk logika agar mau berkompromi bahwa semua hanyalah buah dari bebijian pekerti yang tersemai dimasa silam. Ego yang congkak terus saja merajuk, bahwa tidaklah sepadan lagi antara benih yang tersemai dan buah yang harus terpetik. Tetapi bukankah sebutir gabahpun menciptakan seuntai padi dengan puluhan butir gabah menempel disana?

Kebenaran memang selalu jawaban yang paling tepat atas pertanyaan. Sayangnya kebenaran terkadang harus mengalami transformasi nilai ketika ia didapatkan dari cara air yang menelusup dicelah tanah kering yang membelah, mencari kesejatianya dengan bantuan akal logika. Kebenaran yang menempati kodratnya sebagai kebenaran sejati, bukan karangan. Ada juga kebenaran yang terlambat untuk ditemukan, ketika semua sikap telah dipersiapkan untuk jawaban yang diyakini sebagai kebenaran kejadian. Jika itu terjadi, maka hidup, nurani, kepribadian tak lebih hanya sebuah alat permainan dari nurani korup yang dipenuhi belatung, menggerogoti nilai akan makna menjadi manusia berakal budi.

Gempol, 060207

Monday, February 06, 2006

Sebuah kisah biasa

Sejak 10 bulan terakhir, SI POLAN merasa tidak dapat tertawa lagi. Yang ada dalam benaknya hanya dua pertanyaan, teruskah atau berceraikah? Berat badannya menurun drastis, sulit tidur, dan tidak selera makan, jantung pun sering berdebar keras. Ia juga menjadi mudah marah dan bila dia sedang sendiri diluar dari istri dan anaknya, maka benda mati sering menjadi sasaran kemarahanya.
Kepercayaan terhadap istri hilang total, sehingga ke mana pun istri pergi sendiri, walaupun untuk belanja, selalu diidentikkan dengan pergi untuk mencari lelaki. Pertengkaran berlanjut tidak terhindarkan. Sebenarnya istrinya sudah meminta maaf berulang kali bahkan bersumpah tidak akan mengulangi “perbuatan” tersebut. Akan tetapi, sumpah yang diulangyapun dilanggarnya berulang pula. Hal itulah yang memupuskan kepercayaan SI POLAN terhadap istrinya.

Sering terlintas pikiran untuk bercerai, tapi ia juga takut akan berdampak sangat buruk terhadap kelangsungan kehidupan anak perempuannya yang berumur delapan tahun. Sementara itu, bila ia berpikir dalam-dalam dan mencoba menggali perasaannya yang dalam ia tidak tega membuat anaknya tidak beribu secara psikis dalam usia sedini itu. Pada sisi lain, timbul kecurigaan dan kekhawatiran mendalam, apakah peristiwa serupa tidak terulang di kemudian hari, bila perkawinan ini dilanjutkan? Ia pun juga menjadi trauma untuk memberikan kepercayaan baru, sehingga harus menanggung semua beban bathinya sendiri, kelelahan fisik dan mentalpun tidak terhindarkan.

Kondisi psikis SI POLAN , yang ditandai oleh konflik batin, berlanjut. Stres emosional semakin intens dan ketegangan emosional memuncak membuat SI POLAN mengalami keluhan-keluhan psikosomatis, seperti tidak bisa tidur, jantungnya sering berdebar keras, dan rentan terhadap meledaknya kemarahan dan kesedihan silih berganti tanpa henti. SI POLAN benar-benar menderita karena lelah fisik dan lelah mental.

Akumulasi Pengalaman Traumatik

Timbul pertanyaan, mengapa sedemikian beratnya ketidakpercayaan terhadap istri, dan mengapa sedemikian intensnya trauma psikis yang diderita SI POLAN ?
Dari anamnesis eksploratif, ternyata masa kanak-kanak dan remaja SI POLAN ditandai oleh kondisi perpecahan orang tuanya karena ayahnya hampir tidak pernah ada untuk melindungi dan membimbing pribadi kecilnya. Sampai semua anak-anak ibu SI POLAN berkeluarga, Ibu SI POLAN tidak pernah memutuskan untuk bercerai dengan ayahnya karena merasa lelah dan terbiasa menderita, tidak punya pilihan lain kecuali menyelamatkan anak anaknya.

Walaupun perceraian itu tidak pernah terjadi, tetapi SI POLAN merasakan kesedihan yang mendalam. Menurut SI POLAN , ayah adalah seorang yang gagah dan’ dandy,’selalu berpenampilan modis dan kelimis. Pertengkaran yang terkait dengan kehadiran perempuan lain dalam perkawinan memberikan efek traumatis yang ternyata tidak sederhana, sehingga dalam memilih istri, SI POLAN pun menetapkan pilihan pada wanita yang tampil sederhana, pendiam, sambil berharap agar SI POLAN tidak mengalami apa yang dialami ibunya.

Dengan peristiwa istrinya tersebut, di samping SI POLAN tersentak oleh akumulasi trauma psikis tentang sikap perempuan sebagai istri yang tidak setia, bayangan negatif tentang sikap laki-laki pada umumnya yang sering didengar dan dipercakapkan dengan teman teman pergaulan menjadi kenyataan. Jadi dapat dipahami, bila efek akumulasi pengalaman traumatik ini begitu eksesif dan intensnya.

Cubicle, 060206

Saturday, February 04, 2006

Jyllands-Posten

Hati bergidik rasanya ketika membaca ratusan tulisan yang bisa terfahami mengomentari karikatur nabi Muhammad SAW di harian Denmark Jyllands-Posten, yang juga bisa diakses melalui http://www.uriasposten.net/?p=2624. Ngeri rasa hati karena justru cemooh, ancaman dan kata kata kasar khas zaman jahiliyah ditayangkan sebagai polemik bebas. Orang berbagai ras dan pandangan , terutama keyakinan akan ketuhananya saling mengolok, mengancam bahkan mencela atau sekedar berkomentar.

Perbedaan agama kemudian dikemukakan lewat pemahaman logika, menempatkan agama dikepala yang muncul adalah perasaan hak azasi yang tertindas atau barangkali sampai kepada kehormatan yang terinjak injak. Tersinggung. Reaksi dari ketersinggungan itu sendiri muncul dengan vulgar, dan counter reaksinyapun tak kalah vulgarnya pula. Disini yang terlihat lagi lagi adalah bahwa orang seperti kehilangan makna dasar dari agama, bahkan keteladanan sang pemimpin telah diartikulasikan dengan cara yang impulsive.

Dimanapun agama mengajarkan sikap rendah hati, andap asor, dan bijaksana. Sikap sikap mulia untuk kehiduapan dunia yang akan menjamin ketenteraman bathin bagi siapapun yang menganggap diri sebagai manusia. Agama tentu tidak mengajarkan pembunuhan, pencelakaan, pembalasan dendam, dan segala bentuk kekerasan fisik maupun non fisik. Tetapi aneh, di uriaposten.com itu justru orang saling mengatasnamakan agama untuk memaki dan mencela.

Agama adalah faham, ajaran nurani, tatanan tingkah laku. Ujungnya adalah perilaku kebajikan dan permaafan. Membela agama idealnya adalah dengan mengamalkan ajaran luhurnya, dengan mempertontonkan keunggulan budi baiknya, dan itu dimulai dari diri sendiri, tanpa tendensi untuk memaksa orang untuk tunduk dengan kehendaknya, mengatasnamakan agama. Pembelaan dengan cara anarki maupun kasar justru akan memerosotkan nilai agama itu sendiri yang bagi orang dengan pemahaman (baca: agama) berbeda malah menjadi pembenaran dari keyakinan bahwa memang sikap si pembela yang anarkis itu mencerminkan ajaran yang sesungguhnya. Padahal hal itu tentu saja samasekali keliru.

Jyllands-Posten sudah meminta maaf, demikian juga pemerintah Denmark, namun reaksinya hampir diseluruh dunia belum lagi surut. Orang muslim tersinggung, sedangkan pers Denmark memandangnya sebagai kebebasan berekspresi tentang kondisi sosial dan menempatkan diri sebagai kontrol sosial. Denmark bukanlah negara Islam, dan si pembuat karikatur Kurt Westergaard juga belum tentu memahami kesakralan akan Nabi Muhammad SAW yang kemudian menyimpulkan bahwa memvisualisasikan Nabi Muhamad SAW dalam karikatur yang mungkin maksudnya adalah mengisyaratkan kepada sosial bahwa kaum muslim (digambarkan sebagai Nabi Muhammad sebagai symbol) adalah ancaman bagi kehancuran dunia dan kehancuranya sendiri (dilambangkan dengan Nabi Muhammad SAW yang diatas kepalanya membawa bom waktu). Kurt Westergaard barangkali memandang kaum muslim belakangan menjadi radikal yang menghalalkan kekerasan dan anarkisme. Kelompok kelompok radikal (atau bahasa orde barunya disebut sebagai ‘oknum’), dengan bendera Islam memang mengemukakan diri sebagai kelompok pencetus kekerasan meskipun barangkali hal itu terjadi karena reaksi atas tindakan yang dirasa sewenang wenang. Sebagai counter reaksinya, sebagian orang (barat) kemudian dengan skeptis menganggap bahwa memang begitulah Islam dicitrakan. Maklum, mereka bukan orang Islam.

Dimanapun, agama apapun, sekali lagi mengajarkan cinta kasih dan perdamaian, kebajikan dan kebijaksanaan nurani. Agama tercipta untuk memperbaiki keporak porandaan akhlak suatu kaum dan kemudian menjadi landasan filosofis paling sahih dimuka bumi. Dunia yang semakin ramai dengan kemajuanya menciptakan manusia manusia berpengetahuan yang kemudian memunculkan kesombongan ego, bahwa dirinyalah yang paling tahu tentang ajaran itu, kemudian menggunakan cara yang bertolak belakang dengan ajaran sebagai dalih kepentingan pembelaan agamanya sendiri. Sungguh kemerosotan moral yang digambarkan secara vulgar dan sangat telanjang oleh Jyllands-Posten pada September 2005 itu.

Jika agama hanya jadi ajang cemoohan dan ajang saling mencaci, juga alasan untuk menindas dan mengeliminasi, atau yang lebih parah sebagai dasar tindakan genocide, maka agama itu sendiri telah kehilangan esensinya, justru oleh pemeluk pemeluknya sendiri, bukan dari fihak luar. Seyogianya, cinta kasih, kebajikan, kebijaksanaan dan perdamaian menjadi dasar dan landasan moral bagi setiap sikap kita ketika orang menempatakan agama sebagai sebuah argumentasi. Sebab, sikap rendah hati dan perilaku cinta kasih karena ketulusan nuranilah yang adalah ajaran dasar setiap agama-lah yang bisa menciptakan kedamaian dimuka bumi.

Peace on earth!!

Gempol, 060204

Thursday, February 02, 2006

Terimakasih

:n
Akhirnya aku berhenti berharap. Setelah jiwa letih menanggung hasrat; kelewat berat. Kepalsuan telah merampas semua yang sempat menjadi warna hidup menukarnya dengan kawah amarah yang dengan perkasa kuredam sendirian. Aku mengerti, hidup hanyalah hiburan bagimu, permainan murahan belaka. Maka nikmatilah ini, luka disekujur tubuhku yang kauukir dengan pisau karatan berulang ulang, pisau yang kubelikan agar kau kukuh menjaga martabat kita.

Engkau dengan mata hatimu yang tertutup oleh debu kebejatan tentu tak mampu mengeja setiap tetes nanah yang meleleh, juga setiap tetes air mata yang menguras isi kepala yang meradang dan membusuk perlahan.

Maka aku berhenti berharap dan melanjutkan hidup berteman dengan iblis ciptaanmu; segala usia, yang kupiara jadi virus bagi jiwa sekelompok penjamin bagi kematian yang tak mungkin akan datang terlambat menghampiri.

Terimakasih sekali lagi, untuki sumbangsihmu bagi kedewasaanku…

Gempol, 060202

Wednesday, February 01, 2006

All I know


“Engkau semakin menjauh…”
Bisikmu pada angin Januari yang basah disutau senja yang gelisah. Bisikan itu memecah gemuruh hati yang koma, membangkitkanya sesaat sebelum jatuh pingsan lagi untuk yang kesekian kali.

“Aku hanya tahu, sesuatu yang dahsyat menyedot energiku, aku tak berdaya dipermainkanya, menempatkanku pada ruang kubus yang sempit pengab. Aku hanya tahu, semakin tenggelam dikedalaman dunia mini yang kupilih sebagai ‘bijaksana’”

Tanganku erat terikat oleh rantai kewajiban dengan gembok bernama kesemestian. Bahkan untuk mengecup air matamu yang berlinanganpun aku tak kuasa, terhalangi oleh dinding kaca setebal kemustahilan.

Samar terdengar, tangis kehilangan mengiringi keterbenamanku, dilumpur lengket yang melumpuhkan tangismu jadi hymne pengiring kematianku bagi hidupmu, dimana hidup baru harus berjalan tanpamu menggenggam lenganku, menguatkanku untuk terus menapaki cadas waktu.

Rasanya aku telah kehilangan hampir semuanya, wahai secuil hatiku. Bahkan benih benih keyakinan dan harapan yang sempat engkau semaikan dikebun kalbu kini membusuk digenangi kekecewaan yang berat melumat.

Ah, all I know…
You can feel me so easily so that I don’t have to tell you how it feels for being me, and the beauty of battle inside of me. One day, I will be walking out from the dust as a champion, with the glorious triumph of honor sit on top of my bare head. Or, you will find a pair of wing growing on my back where stars follow my steps and clouds protect me from the heat of dry sunbeams.

Yes heart, all I know at the time being is I’m drowning deeper into the ocean of uncertainty, floating around with hurricane of anger and sorrow torturing me…


Gempol, 060101