Friday, April 30, 2010

Dusta


Dalam urusan hati, ketika rasanya tidak ada satu orangpun yang layak untuk dipercayai, maka pertanyaan seharusnya dialamatkan kepada diri sendiri, mempertanyakan kredibilitas diri pribadi sebagai orang yang layak dipercaya untuk menganalisa lalu memilih keputusan untuk mempercayai seseorang. Yang menjadi parimeternya adalah penagalaman empiris pribadi yang melindas batin di masa lalu, dimana pernah dijejali dengan dusta secara berulang ulang dalam interval waktu yang acak. Sedangkan rasa sakit karena dibohongi yang sejatinya adalah karena si korban dianggap tidak cukup punya pengetahuan untuk mengungkap jawaban atas kejadian yang berniat disembunyikan. Si korban cukup diberikan skenario yang meyakinkan, untuk hiburan, seperti layaknya menonton bioskop plaza anu, yang isi ceritanya adalah bukan kenyataan; hanya hiburan sesaat. Mengkamuflasekan kejadian yang sebenarnya hanyalah akal akalan untuk berburuk laku sekaligus melindungi diri si pembohong sendiri dari pandangan negatif dalam mengejar kesenangan hati. Sedangkan kesenangan hati tidaklah berbatas, serakah dan tidak ada ukuran pencapaian yang bisa dijadikan skala penghitungan. Intinya, jika mengejar kesenangan hati maka kita tidak akan pernah menemukan ujungnya.

Ketika nafsu meneguk kesenangan disandingkan dengan miskinnya penghargaan atas pasangan, maka lahirlah apa yang dinamakan sebagai dusta atau kebohongan. Sebuah sikap mendua yang terkuak, menyebabkan luka yang akan perlu waktu sangat lama untuk sembuhnya, sebab yang terluka sebenarnya adalah kepercayaan. Kebohongan akan perlahan menjadi kebenaran apabila tidak terkuak, tetapi ketika kebohongan itu terungkap, judulnya menjadi kebenaran yang menyakitkan. Rasa tidak enak sekali ini sering diartikan sebagai ekspresi seorang pencemburu berat. Pemaknaan itu umumnya hanya dilakukan oleh mereka yang tidak dapat mengenal dengan baik pasangannya yang semestinya dapat dipercaya sepenuhnya, tanpa keraguan atas kepercayaan itu. Maka ketika kepercayaan itu menjadi cacat, maka segala makna yang terkandung dalam hubungan itupun lantas dipertanyakan kembali, dipertimbangkan kembali, dan semua membalik kepada diri sendiri.

Reaksi dari seorang yang merasa kepercayaannya telah dikhianati karena pasangannya berbuat dusta tidak lain tidak adalah kembali kepada diri sendiri. Semacam serangan balik bertubi tubi yang menghajar telak ke ulu hati, beraroma api yang membakar dada hingga seluruh isi kepala; meledak berkeping keping. Kepingan kepingan itu menjelma menjadi iblis, dengan masing masing dua belati karatan di kedua belah tangannya. Matanya mendelik, merah menyala, suaranya parau seperti badai dan segala tindakanya mencerminkan sikap yang destruktif. Sebenarnya orang yang mengalami hal seperti itu, ia sedang berada di titik didih kekecewaan hati yang menghancurkan. Ia akan merasa sendirian karena ternyata ia dikelilingi oleh orang orang kepercayaannya, yang ternyata berbuat bohong; sedangkan ia sendirilah yang menemukan kebenaran yang disembunyikan dengan berbagai modus.

Karena lelah jiwanya menahan perih, ia menjadi gila. Menjadi mahluk aneh penghuni bumi, selayaknya ia tersesat di planet yang asing dengan segala sesuatu yang memusuhi. Ia memilih menentang dunia diam diam, dengan sikap diam. Perkelahian demi perkelahian batin melahirkan perang besar berkepanjangan yang hanya melahirkan korban demi korban hingga menyisakan kehancuran. Jika sudah demikian, maka penyesalan datang ibarat matahari jam lima pagi yang membawa harapan. Ya, penyesalan yang beranak pinak dan terus berputar pada lekukan dan kelokan yang sama dalam angan angan. Hanya penyesalan yang bisa memadamkan bara pertanyaan anomali bagi hati yang tercabik cabik oleh dusta. Namanya penyesalan, tentu adalah perwujudan dari sikap menyalahkan diri sendiri karena ini itu atau karena tidak ini itu di masa lalu sehingga kejadian yang sama harus ia terima dari orang yang sama pula.

Bukankah yang menjadi landasan dari hubungan manusia antar manusia sebenarnya adalah sukarela (?!). Maka dengan pengertian seperti itu, setiap orang sebenarnya berhak untuk menentukan dengan siapa dan tidak dengan siapa seseorang boleh membangun hubungan; sukur sukur menjadi tempat saling menambatkan hati, menyandarkan kepercayan. Menjadi rumus alam paling hakiki, dimanapun pendusta sebenarnya tidak bisa dipercayai. Dan memilih orang yang tidak dipercayai sebagai tempat untuk mempercayai sungguh perbuatan bodoh. Kadang kadang perbutan bodoh itu datang dari pengambilan sikap yang ambigu, hanya karena cita cita untuk menjadi orang baik, memelihara damai dan membagi kebahagiaan. Menerima perbuatan dusta dari orang yang sama secara berturut turut, ternyata mengandung juga sisi lain, dimana sebenarnya si penerima dusta itu memiliki kekuatan hati yang memadai sehingga mampu memberikan kesempatan berulang ulang kepada si pendusta untuk mengkoreksi diri, agar menjadi orang yang benar benar bisa dipercaya, sebab hanya itu yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Berkali kali ia tanggungkan lara hati karena telah didustai, tetapi berkali kali pula hatinya yang patah tumbuh kembali.

Jika kemudian urusan dusta mendustai itu menjadi kebiasaan dan tidak menunjukkan kemajuan pada perilaku pasangan, maka memang sudah demikianlah sifat si pasangan. Dan sialnya, sifat seseorang tidak bisa dirubah oleh orang lain. Sifat dasar dari setiap orang hanya bisa dikontrol oleh si pemiliknya sendiri. Dan ketika si pemilik sifat itu merasa ’yakin benar’ dengan tindakan tindakan dustanya dan nyaman dengan itu, apa mau dikata? Mengasihani diri sendiri hanya agar dikasihanipun percuma. Sedangkan berharap untuk tidak dijejali dusta lagi di kemudian hari oleh orang yang sekarangpun ragu. Akal pikiran logika seakan mati, tercekik oleh kebingungan atas pertanyaan dan ketakukutan sendiri. Mengambang seperti tai hanyut di tepian kali. Tinggal bagaimana ia menyesuaikan diri dengan benturan dan ayunan dendamnya.

Gempol 100430