Sunday, May 14, 2006

Analogi sebatang pohon

(pengakuan sebatang pohon yang menjulang ditengah terik tanah lapang)

Tubuhku makin tua, sebagian melapuk dirampas usia. Ribuan daunkupun telah rontok jadi pengalaman pemupuk kesuburan masa depan, sedangkan goresan demi goresan tangan durhaka kusimpan sebagai kenangan yang menghiasi kisah keberadaanku. Disetiap pucuk dahanku tunas tunas harapan tumbuh atas kuasa matahari dan udara, karunia tunggal sebagai bekal kehidupan. Cabang dan dahanku menjulur ke seribu arah mata angin, mencari angkasa tempat jawaban atas misteri kehidupan tersimpan.

Aku bersaksi atas kejadian demi kejadian sejauh batas pandangan pemahamanku. Butiran debu musim kemarau telah berbiasa singgah diantara daun dan dahanku sebelum akhirnya luruh kebumi bersama derai hujan. Bagiku tak ada siang maupun malam, waktu adalah sebuah jelujur panjang tanpa jeda dan persinggahan. Angin menawarkan rimbunku bagi setiap pejalan ingkari letih, dimana darinya kucatat ribuan cerita perjalanan beraneka rupa.

Temanku yang setia mengurai rasa adalah sejuk sisa embun yang selalu malas beranjak dari pucuk daunku, dan rembulan yang malu malu mempercakapkan tentang kesepian jagad raya, terlebih tentang aniaya oleh cinta umat manusia. Dengan langit dan senja juga kupercakapkan tentang segala bentuk imajinasi yang terkurung oleh keadaanku, tertancap di bumi bagai balok tanpa kehidupan.

Musim demi musim yang lewat kusimpan dalam lingkaran pengertian. Pernah juga datang angin puting beliung dan badai hitam yang memamerkan keperkasaan sang angkara murka. Menerjang dengan nafsu merobohkan apapun yang ada dihadapan. Aku sendirian dan hampir rubuh mempertahankan pijakan, pernah layu oleh parasit yang menghisap sari pengalaman yang kukumpulkan, hampir menyerah pada kematian, terampas segala keinginan.

Kedurjanaan kemudian hari justru menjadi enzim baru bagi batang tubuhku, membekali setiap pori pori kulit dengan kekebalan terhadap keinginan diluar batas kemampuan akarku menyerap sari harapan. Ia mengajari tunas tunas daunku melihat dengan cara lebih bijak, menjadi sederhana; bahwa apapun yang terjadi dan terasa semestinya tak menjadi keharusan sesuai dengan kamauan. Biarkan saja terjadi, sebab aku hanya sebatang pohon tanpa fungsi kontrol terhadap kehidupan diluar labirin nuraniku sendiri. Sedih dan bahagia, puas dan kecewa memang telah permanen menjadi milik isi dunia, dan kita harus siap mengecap apapun rasanya. Dan tunas tunas pengharapan takkan berhenti merangkai langit kebebasan.

Aku hanya sebatang pohon, kepada pejalan kutawarkan rimbun ketika terik menikam dan teduh ketika hujan mendera. Barangkali saja akan terbaca catatan pengalaman dari akar yang menancap dibumi kehidupan sebelum mati datang menjemput dan aku tinggal jadi pokok kayu, monumen tanpa catatan baru…

Gempol menjelang pagi, 060214