Tuesday, August 01, 2006

Satu senja di tanah hitam

Hujan badai baru saja reda, pucuk pucuk cemara takluk menggigil dalam diamnya. Tanah basah, ranting ranting patah menghitung luka luka. Empat ekor burung beo melintas cepat diatas camp, memekik lalu menghilang di kegelapan rimba. Serombongan awan kelabu bergerombol berkejaran menghapus jejak mentari sore.

Pada mesin penyambung rasa, sepatah demi sepatah kata menguntai menjadi rantai yang mengikat rindu menimbun dalam kandungan membeban hampir tak tertahankan. Ditanah ini, menyusuri jejak kenangan yang membenalu dalam jiwa, mencoba mengeja satu demi satu maknanya, tersisa indah dan sekaligus perihnya. Darah belum mengering dan tawa belum lagi reda didalam sana, menggumpal mempertegas hitam putih hidup yang terlewati. Serombongan iblis muncul mengepung dari setiap balik semak, merampas tempat kosong dalam bilik jantung yang tak terawat karena ditinggal pergi pemiliknya.

Hawa hangat dari tanah seberang membelai wajah, mengabarkan tentang tempat tempat teduhan hati yang mengharap diri kembali kedalam kesempurnaan masa dimana dunia kehilangan pemiliknya dan menjadi medan makna yang sesungguhnya. Lekaslah pulang wahai hati yang merana, padamu telah kesediakan sebaskom air hangat cinta untuk membasuh segala letihmu setelah diperdaya fikiran durjana. Di pintu kedatangan akan kusambut hadirmu tanpa tari dan nyanyi nyanyi, hanya segunung rindu yang menyesakkan dadaku (ucapnya pada senja yang semakin menua).

Hati mulai merayu rayu meminta penebusan atas rindu yang memerihkan, sementara bilik ruang dan waktu kokoh menjadi penjara keleluasaan. Bahkan jikapun saatnya kelak diri bertolak, penjara lain lagi menanti, dengan mata mata bengis yang menjaganya, dengan kata kata perih yang akan menjadi imbalanya. Seperti layaknya mummi, tak ada masa depan dicetak dengan pasti. Hanya menjalani saja setiap utas usia dengan kenelangsaan yang membabi buta. Tempat ini sungguhlan bukan milik diri, juga tempat dimanapun dimuka bumi. Terpencil, jauh dan menyendiri menyadarkan diri bahwa kematianpun tidaklah cukup berarti ketika hidup telah kehilangan tempat pengabdian untuk aktualisasi diri. Jika bahkan sungaipun memiliki muara, pohonpun memiliki akar untuk alasan hidup, diri hanyalah menghirup dan menghembuskan nafas sepanjang hari dari pagi, siang, sore malam hingga bertemu pagi entah sampai kapan.

Senjapun luruh disela sela porta camp, diiring gemuruh mesih dan nyala lampu lampu listrik. Pohon pohon raksasa menyaksikan kehidupan berjalan, melupakan badai dan hujan dan terus setia menemani bumi berjalan dalam siklus ketidak menentuan. Malam sebentar lagi kan datang, sunyi dan gelap mengurung bumi melindapkan segala tingkah polah seharian penuh. Perenungan perenungan menjadi mantera pengundang iblis berkerumun dikepala mencacah harapan yang tersisa. Mereka tak jua mau pergi.

Porta camp 38 – Papua 060801