Monday, December 10, 2012

Menara Bisu



Bagi kenangan, malam adalah menara tanpa cahaya, tanpa suara. Pada bastion bastioan sepi ziarah pikiran berpendar liar memunguti serpihan kesan. Ternyata, kuota usia yang semakin menipis menggiring langkah langkah kaki menyusuri pematang lengang yang menyempit. Makin lama makin sunyi, hanya ada langit dan bumi. Pikiran menjadi satu satunya teman, tempat kenangan terangkut dalam ingatan yang patah patah. Separti halnya sejarah yang hanya mampu terbaca dengan cara draba.

Mozaik bisu susul menyusul mengerjap seperti bunga langit yang menggeletar lalu lenyap. Sungguh, masalalu telah menjadi benda mati yang kehilangan warna hidupnya, tinggal sinema berwarna pucat sebagai penghiburan rasa. Berharap menjadi kebanggaan pribadi sebab pernah menjadi elemen debu di ranah bumi. Barangkali memang inilah penjelmaan dari relief ingatan yang membentuk museum sangat pribadi; sebaris catatan di dinding langit.

Pada pandangan yang enggan terlepaskan, terpaksa pedang menebas simpul pengikatnya, agar lepas mengembara sesuka udara. Ada kalanya, sesuatu yang terlalu menggila tak mewakili rasa. Euphoria penuh keniscayaan tak ubahnya induk dari déjà vu yang rajin datang hampir disetiap waktu. Déjà vu yang sekarang sudah berubah bentuk menjadi runcing menusuk di setiapa mata sisinya. Sebenarnya, yang melahirkan sakit dari kenangan buruk bukanlah kejadiannya, melainkan penyesalan yang tumbuh setelah saling berpamitan.

Maka kepingan demi kepingan ingatan kemudian bermetamorfosis di dalam palung hati, menjadi monumen bisu yang sangat diam. Menara tanpa suara menyimpan relief relief keindahan ketika tawa terbagi dalam cerah hari hari. Lalu mendung menghalang matahari, membuat bumi muram. Ah, apa bedanya juga jika toh pada akhirnya pematang yang menyempit menumbuhkan bunga bunga rumput disepanjang sisinya. Hidup tetap berjalan meskipuan lengang seolah tak bertuan. Dan semua yang sepatutunya terjadi akan menjadi kejadian dalam kehidupan. Yang tua ditinggalkan, dan yang muda muda kemudian berlagak seolah juragan. Juragan yang berhak atas kehidupan lahir batin orang lain, manusia lain; atas hakekat hidup mahluk lain. Sudah menjadi jamak memang, bahwa usia muda berbanding lurus dengan kesombongan, sebagai implementasi dari pencarian jatidiri yang tidak ada.

Jendela jendela keinginan menganga tanpa daun, membiarkan lumut dan debu bersetubuh disetiap lekuk dan bentuknya. Biar menjadi usang, bekas peradaban masa silam yang tadinya disangka sebagai masa depan. Lalu hujan yang kebingungan mengundang jasad  renik dari benturan pertemuan  yang berhamburan di lantai granit kala itu. Tempat ini menjadi hidup dalam matinya yang tenang. Ada jejak jejak purba yang muram membatu ditingkahi masa. Ada rindu yang jatuh barsama rintik hujan di daun kamboja tepi balkon.

Inilah kisah ziarah sepanjang lorong sepi sisa pertikaian pemahaman. Menara tanpa suara bagi hati yang diam diam kehilangan. Detak arloji memaparkan sesal demi sesal atas kesempatan yang terisa siakan begitu saja tanpa disadari. Sedangkan pikiran atasnya masih menjulang laksana monumen senyap yang menggapai gapai langit, mencari seserpih saja kenyataan. Rupaya waktu telah mengalahkan semua kejadian, seperti sebutir debu yang hanyut terbawa air hujan; melintas hampa dibawah jembatan Ampera menuju lautan.

Seperti halnya air mata yang luruh tanpa tangisan…

Palembang 121210   



Friday, October 26, 2012

Filsafat rumput Teki



Rumput Teki (Cyperus Rotundus L.) adalah lambang alam yang mengandung makna tekad baja jika dicerna dengan cara berpikir rumit, bukan sekedar menganggapnya rumput liar tidak bermanfaat. Kekuatan tekad rumput teki yang sanggup menembus kerasnya aspal hotmix, dalam kondisi tidak penyok penyok, hijau segar runcing menujulang sungguhlah menakjubkan. Daripadanya manusia ditauladani, bahwa kekuatan sebuah tekad dapat menembus rintangan terkeras, dapat melewati medan terganas dalam kehidupan.

Benar kata para pintar bahwa suatu bencana yang tidak membunuh akan menjadikan seseorang untuk sanggup memangku amanah yang lebih besar. Bagi rumput teki, jangankan diinjak manusia, dilindas berulang kali dengan roda pun akan terus tumbuh segar kembali. Bahkan kemarau yang seolah menghanguskan setiap klorofil dimuka bumi sekalipun tidak akan mematikan mereka dari eksistensi. Rimpangnya akan tetap bertahan hidup di tanah tertandus, untuk seuatu saat menyembul ke muka bumi dan bersyukur untuk menjadi sesuatu yang tidak menjulang tinggi. Bangga dan bersyukur karena menjadi rumput Teki. Tekadnya yang kuat dan konsisten tidak terpengaruh oleh cobaan dan ujian yang tidak membunuhnya.

Menjadi rumput teki adalah hal terbaik yang bisa dijalani oleh makhluk hidup di alam semesta. Bagaimana tidak, penampilannya adalah mahkota bentuk; sederhana. Karena mahkotanya itu pula, karena kesederhanaan itu pula yang menyebabkan ia menjadi mahluk yang pintar bersyukur dengan keadaan dan hidup yang dijalaninya. Rumput teki tidak memerlukan pencitraan maupun belas kasihan, apalagi terbersit keinginan untuk menjadi rumput jenis lain. Keberadaannya dimaknai sebagai anugerah tertinggi dari sang pencipta, sehingga untuk mengharap lebih dari keadaanya sekarang dianggapnya sebagai penghinaan terhadap keagungan pencipta.

Rumput Teki tak tergoda oleh dendam meskipuan diabaikan keberadaannya, bahkan terkadang dijadikan materi celaan dalam obrolan tanpa bobot. Kata kata “mung sak teki”dan teman temannya tidak akan mempengaruhi kebanggaanya atas diri sendiri. Ia tak mudah sakit hati. Segala yang didapat didalam hidup sudah lebih dari cukup, oksigen gratis, dan semua molekul dan atom yang menyokong hidupnya dengan cuma cuma adalaah kemewahan dari kehidupan. Tidak layak untuk dinodai dengan keluhan, apalagi congkak dengan sikap pamer. Pamer kehebatan, pamer kebaikan, pamer akan sesuatu yang sejatinya tidak patut untuk dipamerkan, pun sesuatu yang sejatinya tidak layak untuk dikeluhkan.

Dari inferioritas dan kesederhanaan bentuknya, kebaikan tertebar lewat setiap butir angin yang mengampiri batang dan daunnya, serta bunganya yang kecoklatan membentuk payung mini dipermukaan kumpulan debu. Ia memberi manfaat kepada mahluk lain yang mengenalnya, termasuk mereka yang mengesampingaknnya.

Filsafat rumput teki, sejuk dihati laksana butir embun yang menggantung dipucuk lembar daunnya, hijau mencium tanah; memupuk kekuatan bagi hati yang mulai melemah.

Gempol 121026 

Friday, October 12, 2012

Sabana Kosmos Maya

Dalam hukum rimba, bersembunyi adalah cara terbaik untuk tetap bertahan hidup. Barangkali mahzab itu juga yang mengilhami manusia modern dengan kapintaran bermimikri, kepintaran berkamuflase diantara sesamanya. Intinya adalah mengelabuhi orang lain demi kepentingan pribadinya. Terlebih lagi dalam kehidupan dunia maya, dimana apa yang ditampilkan seringkali sebenarnya adalah apa yang hendak disembunyikan. Itu namanya pencitraan. Menampilkan sesuatu yang hebat hebat agar orang hanya mengenal kehebatannya saja.

Kehidupan kosmos maya dalam rekam jejaknya banyak menampilkan kepameran dan unjuk keluhan. Kedua duanya adalah modal utama untuk mengumpulkan simpati sebanyak banyaknya. Dan jika simpati sudah terkumpul, seseorang bisa berubah menjadi selebriti dunia maya, dengan ribuan penggemar, ribuan orang yang mengaku dan dianggap sebagai teman; bahkan terhadap mereka yang sebenarnya tidak dikenal sekalipun. Di dunia nyata, hanya orang yang kita kenallah yang disebut sebagai teman, bukan? Banyaknya teman dunia gaib dimana mana itu juga memberi peluang untuk menanam bibit bibit rasa yang buahnya bisa dipetik dimana saja dan kapan saja sesuai selara. Jika keberadaannya dikonfimasikan di dunia nyata, maka jawabannya akan sama "bukan siapa siapa". Ah, sungguh aneh mainan hati yang satu ini. 

Pada masa yang lebih modern dan canggih lagi, dunia maya yang tadinya bermaksud sebagai wahana pertemanana virtual, bisa pula berubah fungsi sebagai pengemban tujuan materi. Media sosial bisa menjadi etalase yang sangat efektif di masa ekonomi global hari ini. Dan tentu saja, fungsi utama sebagai media sosial, pengikat pikiran antar manusia yang berjauhan atau berdekatan lokasinya ini tidak akan pernah terlepaskan. Etalase berbasis laba bisa menjadi penyamar dari ribuan maksud pribadi yang tersembunyi rapi dibalik gemerlap barang dagangan, dan juga dibalik riuh rendah komentar maupun pujian. Pada saat yang bersamaan, korban korban penipuan berjatuhan, berbanding sejajar dengan para pelakunya yang melenggang sambil tertawa.

Memang sudah sifat manusia untuk haus akan sanjungan, terutama bagi mereka yang merasa terlalu modern dan maju untuk sejenak kembali memahami makna kehidupan akar rumput. Padahal, pujian di dunia maya dengan sangat mudah dapat diartikan sebagai ajakan untuk mengejawantahkan rasa saling mengagumi dan saling memuji itu untuk tujuan yang lebih pribadi lagi; urusan yang berkaitan dengan syahwat dan kepuasan individual. Buktinya, media sosial itu memproduksi korban perkosaan, korban pencabulan, penculikan bahkan human trafficking tanpa henti. Setiap hari selalu ada berita baru mengenai itu di koran dan tivi. Itu jika kita masih mau membaca dan mennyimak berita berita humaniora. Tentu di dunia maya tidak banyak tertampilkan, sebab dunia maya adalah dunia ideal bagi para pemuja asmara berbasis kebohongan. Dan lebih konyol lagi, pujian dan penghargaan di dunia maya tidak lebih hanya symbol lisan, bukan lahir dari ketulusan.

Eksistensi seseorang di dunia maya sebenarnya adalah kelahiran kehidupan yang serba instant. Tanpa melewati fase kanak kanak dan pembelajaran, tetapi tiba tiba dewasa dengan berbagai kepentingan pribadi. Dengan kepentingan pribadi itu pula pada akhirnya justru jejaring sosial dimanfaatkan untuk kepentingan kepentingan tersembunyi, penuh kamuflase dan intrik dimana program kepura puraan dapat diaplikasikan semaksimal mungkin. Di dunia maya orang yang gemar menampilkan kehidupan seolan olah bisa hidup subur makmur. Seseorang tidak perlu mengenal orang lain untuk menjadi teman, dan kita bebas “mematikan”orang yang tidak sesuai dengan selera kita kapan saja kita mau tanpa beban. Sungguh suatu kehidupan yang ideal bagi para pendusta.

Maka, ketika seseorang sembarangan membuat pernyataan bahwa dia akan menutup diri dari jenis pertemanan apapun bentuk media sosial , hal itu sesungguhnya omong kosong. Ah, memang dunia virtual ini sudah meracuni akal sehat orang, membuat orang tak mampu mengelola janji, mengelola kata katanya sendiri. Padahal sesungguhnya kata yang kita ucapkan sendiri adalah ukuran dari kualitas seseorang. Setahu saya, di dunia nyata, yang namanya janji adalah hutang, dan yang namanya hutang harus dilunasi. Sebab tidak dilunasi maka akan ditagih nanti di akherat sana. Meskipun berpendidikan sederhana, tetapi sebagai orang yang beragama - meskipun tidak terlihat religius amat -  tentu kita paham maknanya. Maka sudah selayaknya kita patut untuk berhati hati dalam mengelola janji.

Akan tetapi, jika dipandang dari bumi dengan kaki menapak tanah dan dicerna dengan pikiran yang bersahaja, sebenarnya dunia kehidupan virtual tidak lebih dari sekedar jendela tempat ilmu berada. Secara positif kita bisa belajar dari sana mengenai banyak pengetahuan. Dari situ saja kita bisa mengambil intisari kesimpulan bahwa motif dan modus untuk eksis di dunia maya sebenarnya dikendilkan oleh akhlak masing masing individu pemilik akun. Kita tidak bisa menyalahkan media sosial sebagai zat memabukkan dan menggemboskan akhlak, tetapi manusia dengan sadar dan sengaja terlibat dan memandangnya sebagai sarana dan arena yang cocok, aman dan canggih untuk berlaku durjana. Keputusan untuk memilih dan mematikan teman dan keputusan untuk menggunakan kebijaksanaan dalam mengelola akun jejaring sosial sungguh sangat menentukan citra dari pemilik akunnya. Hanya saja memang, sebagian besar dari orang modern dengan sukarela menyediakan diri untuk terjebak dalam gemerlap hura hura dunia maya, mengumbar segala yang tabu menjadi hal biasa. Salah asuh atas kondisi ini bisa menyebabkan orang berpikiran serba negatif, dan menciptakan kerangka pikiran yang sarkastik. Mungkin karena biasa ber "seolah olah" itu.

Sekali lagi, kemampuan untuk mencerna kebijaksanaan hidup memberi kita peluang untuk menentukan pilihan dalam bergaul di dunia modern dan instant ini. Hanya orang orang yang kurang peka terhadap kehidupan nyata di sekeliling kita saja yang mudah termabukkan oleh pesona dunia maya. Mereka yang akan menjadi mangsa empuk bagi para predator yang telah bercokol dan melanglang buana di dunia seolah tanpa batas itu untuk satu tujuan; mencari mangsa. Internet memang adiktif, dan itu nyata nyata dimanfaatkan orang untuk mengambil keuntungan pribadi. Sebagai media yang diciptakan menyerupai labirin pikiran manusia bertata krama, jejaring sosial bisa menjadi tempat yang sangat berbahaya jika kita salah menafsirkannya. Homo homini lupus, inilah modernisasi dari kejahiliyah-an dalam kemasan menawan sesuai selera zaman.

Jejaring sosial di dunia virtual, tidak ubahnya sabana kosmos maya tempat pendusta memuja rasa.

Surabaya 121011

Thursday, October 11, 2012

Saturday, September 29, 2012

Si Dodoh


Sungguh kita patut menaruh kasihan sama orang seperti ini. Karena kedangkalan nalarnya, Si Dodoh merasa berhak untuk menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Si Dodoh selalu menjadi hakim atas semua perkara, hakim yang menentukan tentang benar salahnya sesuatu, bahkan benar atau salahnya kreasi pikiran. Kedangkalan nalarnya itulah yang membuat dirinya menjadi merasa paling pintar serta paling mulia. Sungguh menyedihkan!

Orang type ini mengukur kualitas orang lain dari hal hal duniawi yang ada pada seseorang. Jabatan, profesi, dan tentu saja materi. Sebuah metode pengukur sangat picik jika dilihat dari lingkungan sosialnya. Caranya mendeskripsikan sesuatu yang sarkastik terasa sangat dangkal makna, wujud dari penjabaran akan miskinnya pengetahuannya. Apalagi nuraninya. Tetapi Si Dodoh tetap bangga dengan itu semua, merasa berjaya karena kepicikannya sendiri. Merasa hebat bagi dirinya sendiri, padahal sebenarnya Si Dodoh tidak ubahnya tong kosong yang nyaring bunyinya di dunia nyata.

Hal hal yang bukan dirinya tetapi berasal dari titisan darahnya diagung agungkan sedemikian rupa, seolah adalah yang terhebat diseluruh dunia. Orang yang tahu pergaulanpun pasti paham jika apa yang dipongahkan itu tidak lebih dari lapisan penghibur di kalangannya. Sungguh tidak lebih dari sebuah probabilitas kehidupan; jaya atau merana. Sesuatu yang tidak elok jika dielu elukan sebagai pemenang atas semua persaingan. Apalagi digunakan untuk menghina dan merendahkan orang lain. Bukankah orang yang menistkan orang lain justru menempatkan dirinya lebih rendah dari manusia ternista sekalipun?

Si Dodoh seperti menepuk air di dalam dulang, menyemburkan ludah ke langit pada setiap kata katanya yang akhirnya sebenarnya mendeskripsikan tentang dirinya sendiri. Kemengertiannya tentang tatakrama pergaulan sudah bisa menjadi penunjuk tentang kualitas intelektualnya. Itu bisa tercermin dari susunan kata kata yang dikirimnya melalui pesan singkat. Untungnya Si Dodoh bukan lagi muda. Potensinya sudah habis dimakan usia. Tuhan memang maha adil, orang seperti itu memang tidak layak diberikan kuasa dunia, seandainya Si Dodoh berkuasa, tentu akan menebarkan kemudharatan yang lebih besar. Jadi sebenarnya Si Dodoh tidak lebih dari manusia kardus yang kebingungan mencari cara menyombongkan kedunguannya sendiri.  

Sangking tidak masuk akalnya cerca yang dihamburkan, saya jadi curiga bahwa orang ini mengidap suatu penyakit. Bisa jadi penyakit hati, bisa jadi pula penyakit otak atau mungkin syaraf. Kewarasanya tercemar oleh ambisi atas sanjungan duniawi. Si Dodoh bisa tiba tiba menjadi pembenci paling sadis terhadap orang yang tidak ada hubungannya dengan kekecewaan yang dialaminya, tentu ada sesuatu yang tidak beres atas orang ini. Yang bisa dilakukan oleh mereka yang menyadari kegilaan ini tentu hanyalah menyarankan untuk pergi mencari pertolongan, berobat ke dokter atau ke dukun. Memang hanya sedemikianlah pemahamanya soal pengobatan; itupun pasti dia akan menyangkal bahwa dia sakit. Bukankah tidak ada orang gila yang mengaku sakit jiwa?. Padahal, obat yang sebenar benarnya obat adalah hidayah dari Tuhan.

Sungguh kita patut untuk prihatin atas beban negativisme yang ditanggungkan sehingga Si Dodoh menjadi begitu rendah ahlak. Si Dodoh terang terangan menghinakan sebuah profesi, sedangkan bagi si pemilik profesi itu adalah amanah dan pengabdian mulia kepada Tuhan, keluarga dan pengejawantahan dirinya sendiri. Kita tidak patut merendahkan suatu pekerjaan halal, seburuk dan sekasar apapun itu. Disekeliling kita, kita bisa melihat orang orang yang menghayati pekerjaannya, menjalankannya dengan tekun sebagai ibadah. Sayangnya, Si Dodoh dibutakan dari itu semua sebab yang dilihat adalah bayang bayang kemuliaan dirinya sendiri. Kemuliaan  hayali seseorang yang kehilangan akal pikiran. Jika sudah sampai pada kesimpulan ini, tentu obrolan dengannya menjadi tidak berguna lagi. Bahkan keberadaan dirinya di dunia maya mati kaku hanya dalam hitungan detik, dua kali klick mouse unfriend dan block this person.

Sebenarnya, Si Dodoh berada pada strata terendah dari lingkungan peradaban. Kasihan! Semoga Tuhan memuliakan hidupnya.


Bambuapus, 120929

Wednesday, August 22, 2012

Matinya Pak Urip


Ini kisah dunia biasa, proses alam yang menjadi kendalinya. Bahwa segala yang hidup akan mati, bahwa niscaya semua yang bermula akan berakhir di dunia ini. Dari kisah cinta yang menggebu hingga berubah menjadi debu, dari masa muda yang gemilang menjadi hari tua yang suram dan kesepian. Kejadian demi kejadian adalah rangkaian proses dari metamorfosa kehidupan, sedangkan perasaan hati sebenarnya adalah pewarna hari hari; agar hidup tidak melulu berwarna sephia.

Suatu ketika Pak Urip adalah lelaki gagah perkasa, yang begitu kokoh menjadi sandaran jiwa dan gantungan hati bagi si pemuja. Di dalam setiap geraknya menimbulkan birahi, dan utas demi utas kalimatnya menjadi cahaya. Pak Urip adalah malaikat tanpa sayap bagi seorang bidadari yang terbuang diluar sangkar emasnya. Terlunta lunta dan tersesat sendirian diburu oleh pendendam. Di ketiak Pak Urip semua luka dapat disemayamkan, sedangkan luas hatinya laksana telaga sejuk yang tak pernah kering walau kemarau berlangsung ribuan tahun. Disana pula segala resah dialamatkan.

Dia yang membangun keikhlasan dari kehancuran atas kebanggaan pribadinya sebagai lelaki. Tak perlu diceritakan kepada dunia, sebab ia tersembunyi di kuburan hati, tersimpan pada bilik sunyi setelah melewati lorong panjang labirin kerahasiaan. Bahkan seorang pemujapun bisa palsu. Luka imitasi yang hanya dipergunakan selama menguntungkan, selama menyenangkan. Kiranya memang jalan hidup harus demikian, Pak Urip mengikhlaskan hatinya dijadikan alas kesetan; material pembersih dari gedibal tengik yang menempel di telapak kaki.

Kiranya harta juga ikut mengendalikan manusia. Menjadi salah satu faktor penentu perilaku antar sesama. Harta jugalah yang sanggup memodifikasi romantisme kenang kenangan menjadi sekedar masalalu tanpa sejarah. Oleh karena ketersediaannya yang semakin terpangkas oleh kewajiban usia, pak Urip perlahan menjadi benda mati yang usang didalam hati. Sesosok manusia tawar tanpa cahaya, tidak lagi bedaya pikat; membeku seperti self portrait di dinding ruang sembahyang. Kebersamaannya telah ditebus dengan angka demi angka, tualang demi tualang jiwa raga diantara gang dan selokan rimba beton. Itu lebih dari cukup, bagi pak Urip yang bukan apa apa.

Di dalam hidupnya, pak Urip dimatikan dari arti keberadaan. Senar senar pengantar suara telah putus, rantas oleh datangnya kekaguman baru atas sesuatu yang lebih berwarna, lebih baru dan memesona. Untuknya, telinga telinga dipatri mati, mata mata dibutakan bahkan hati sendiri dapat ditipui. Derai tawa yang meletupkan birahi mejadi pengganti photo profile; agar seluruh dunia tahu hati sedang berbahagia. Agar seluruh dunia tahu, bahwa kecongkakan diijinkan bagi yang mampu. Agar seluruh dunia tahu tentang kehebatannya melalui status statusnya; biksu karbitan baru berjubah musang.

Bagi penipu, Pak Urip tak ubahnya nisan kayu yang akan segera lapuk dimakan waktu. Lalu hilang dari pandangan bahkan dari ingatan. Dia telah mati, dimatikan dengan perlahan, lalu dikubur di bawah dipan. Tak layak dirindukan, apalagi dipikirkan. Sebab, dunia tak berhutang kenang kenangan atas hidupnya.

Bambuapus 120822

Monday, August 20, 2012

Mudik


Kehilangan momentum bertubi tubi ternyata bisa membuat orang frustrasi. Seseorang yang tidak lagi merasa punya kampung halaman sama halnya telah kehilangan akarnya, kehilangan rumah sejatinya, dimana segala persoalan bermuara, diamana semua jenis kebahagiaanpun menyegara. Rumah dimana setiap pengembaraan berakhir dengan cerita kisah kisah tempat yang jauh dan menyenangkan. Dan kehilangan kepemilikan secara batiniah terhadap rumah menjadikan jiwa seolah yatim piatu, bocah lola yang tidak memiliki tempat sebgaimana mestinya.

Kampung halaman yang sering dilewatkan tanpa kehadiran pada moment moment hari raya, moment istimewa, sejatinya tetap berada dalam kalbu, menjadi penaung dan pengingat semua ajaran tentang kesederhanaan dan budi pekerti. Manakala kampung halaman itu kemudian kehilangan bobot karena habisnya masa pakai, rontok satu demi satu dimakan zaman dan digantikan dengan cerita cerita baru yang dianggap lebih seru, maka pulang kampung hanya akan menjadi acara seremonial penyemarak ritual tahunan.

Ketika jutaan orang berbondong menuju timur, kaki akan melangkah ke selatan, beda tujuan. Menyaksikan orang begitu bergembira menyambut hari raya, paling tidak ada juga terbersit kegembiraan yang tak perlu dikatakan. Sebuah kegembiraan yang maha sunyi, empati diam diam sambil membenamkan keinginan. Toh jika kita kembali kepada kesahajaan, hari raya hanya akan berlangsung paling lama dua hari. Kedua duanya pun sama, berasal dari siklus waktu yang berulang tak henti itu; antara Seinin hingga Minggu. Ada baiknya juga mengistimewakannya, pertanda memberi hormat kepada warna peradaban. Mudik adalah ritual ziarah kenangan masa kecil, satu bab tentang awal muasal kehidupan manusia.

Wajah wajah lelah terslemurkan oleh ceria, harapan berlimpah akan datangnya saat bertemu dan berbagi cerita dengan sanak saudara, handai taulan yang lama tidak dijumpa. Jalalnan menjadi riuh oleh para musafir, kegembiraan meluap kemana mana disepanjang jalan. Dan sebagian lagi menyaksikan ingar bingarnya dengan diam diam, dengan perasaan nelangsa yang ditekan sedemikian rupa sehingga tidak terlihat di permukaan. Dunia berjalan dalam sunyi, senyap yang menyergap. Segalanya berjalan dalam diam, angan angan dan keinginan semua dibenamkan dalam percakapan monolog tentang lebaran.


Di jalanan, jutaan orang hilir mudik mengangkuti rindu yang menjadi energi langkah melaju, menziarahi masa lalu. Sejenak mempecundangi bumi perantauan dengan lagak dan gaya sebagai orang baru.

Tasikmalaya 120816


Sunday, August 19, 2012

Lebaran

Akhirnya euphoria lebaran datang lagi. Kali ini seperti tahun sebelumnya, dimulai dengan ketidak pastian oleh pajabat negeri. Pejabat di negeri ini memang semakin gemar membuat bingung rakyatnya. Semakin tidak bermutu. Dulu dulu, hari lebaran itu sudah bisa diketahui setahun sebelumnya, hingga dalam setahun itu semua orang bersiap siap untuk merayakannya hingga hari H.

Semangatnya sama, kegembiraan dan ritual fenomenalnya sama. Yang membedakan ada beberapa, diantaranya prestise dan rasa kewajiban untuk memberi kegembiraan. Sedangkan dulu sewaktu kecil moment lebaran adalah keadaan yang paling menggembirakan, datang dengan sendiirinya. Rupanya kebahagiaan anak anak itu disokong oleh para orang yang dewasa. Pakaian baru dan uang saku berrlimpah adalah identitas lebaran masa kecil, dan sekarang dirubah persepsinya menjadi sebaliknya; penyedia pakaian baru dan uang fitrah lebaran.

Diumumkan di tivi maupun tidak, lebaran tetap harus terjadi. Ritual pulang kampung para perantau sudah dimulai dua minggu sebelum hari lebaran sesuai dalam calendar. Ucapan ucapan selamat dan permaafan menjadi nuansa yang mendamaikan. Permintaan maaf dilahirkan dalam lafal kata kata serta diucapkan  didalam batin serta ditujukan untuk satu pribadi secara spesifik. Zaman berubah, orang sekarang lebih gemar menyebar pesan broadcast permintaan maaf secara massal dan di rapel dalam satu kali klik tombol send. Ucapan selamat dan permintaan maaf yang dilahirkan dari text di gadget menjadi kehilangan bobot makna. Hanya seremonial, tidak ada pendekatan secara up close and personal.  Jadi hambar rasanya.

Ini lafal lebaran yang diajarkan dari tahun ke tahun di masa kecil dulu:
Suasana kalal bikalal begitu sacral. Yang muda mendatangi yang tua secara berkelompok, dan yang tua membuka diri untuk yang muda. Si muda dengan sikap taklim akan menjabat tangan si tua dengan kedua tangan, dan menunduk (pantang menatap mata senior). Si muda lalu berucap “ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sedoyo kalepatan lair lan batos”suaranya harus lirih, khidmat seolah dengan segenap perasaan ucapan selamat dan permohonan maaf disampaikan.  Harus tertib, berurutan satu persatu. Si tua dengan santun dan berwibawa akan menjawab runtut :”Iyo, podo podo, semono ugo aku, wong tuwo akeh lupute mugo dilebur ing dino rioyo iki”. Ketika semua sudah selesai sungkeman, maka pecahlah suasana menjadi ceria. Si tuan rumah mempersilahkan tamu tamunya mencicipi hidangan. Dari rengginang, permen, kacang, tape, roti maupun kue kue aneka rupa.

Idealnya semangat seperti itu dipertahankan meskipun dengan cara yang jauh lebih modern. Pesan massal itu ibaratnya menempelkan secarik kertas berisi tulisan, ditujukan kepada siapapun yang membacanya. Sungguh tidak ada hormatnya. Akan sangat berarti jika pesan itu disampaikan seperti halnya pesan pribadi, ditujukan untuk pribadi si penerima. Indikasinya adalah panggilan atau nama si penerima disebutkan.

Diluar dari itu semua, lebaran selalu menghadirkan wajah wajah gembira penuh sukacita. Masing masing orang melewati dengan keadaan dan caranya sendiri sendiri. Sebagian besar berbagi bahagia bersama keluarga, kerabat dan sanak famili; pokoknya orang orang tercinta. Sebagian lagi melewatkan hari raya dengan tetap berada ditempatnya bekerja seolah lebaran tidak lewat di pos jaga. Yang lebih mengenaskan lagi adalah mereka yang mlewatkan hari raya di dalam penjara atau tergolek sakit di pembaringan. Tetapi lebaran tetap terjadi, menghadirkan kesan dan suka dukanya sendiri, untuk diperbandingkan dengan lebaran tahun mendatang. Itupun jika Tuhan masih mengizinkan kita ikut dalam peryaan lebaran tahun depan.

Selamat Idul Fitri 1433, semoga semua mahluk selalu berbahagia. Saling memaafkan tulus dari jiwa.


Bambuapus 120819



Tuesday, August 14, 2012

Kota Mati


Gedung gedung kusam itu tampak membatu.  Pepohonan dan pagar pagar rumah dikuasai debu yang membungkam kehidupan. Kemegahan masalalu menjadi runcing oleh peperangan dalam kenang kenangan. Nyatanya iblis memang tidak pernah mati meskipun zaman menelantarkan sebegitu lama. Memenjaranya dalam kuburan waktu sendirian.

Luka yang mati suri memprovokasi damai dalam hati. Bahkan pada saat malam malam riuh oleh khayalan. Aku meminta maaf kepada batu yang telah tergores oleh kisah dan menjadi prasasti, benda mati yang tak mungkin tergeser dalam hati. Lukisan di dinding sejarah mengandung bekas bercak darah, oleh hati ungu yang terseblak kasih salah kisah. Barangkali nanti kuasa waktu akan mengangkuti butir butir debu yang tersangkut di ranting ranting prasangka.

Sewaktu matahari kuning meredup di tepi bumi, semua luka datang menghiba hiba. Mempertontonkan rekaman demi rekaman memar  yang terperangkap oleh cahaya; kisah suatu masa pada enam tahun berlalu. Pada angin tinggeng di kota mati, pikiran terbelah oleh perih dari pedang bermata ganda. Antara ketakutan akan tragedi laten dan takjub atas keajaiban misteri kehidupan. Perebutan dominasi atas masa lalu dan masa depan; mengesampingkan hari ini. Menapakkan kaki di kota mati ternyata bukan sekedar ziarah ketiadaan, tetapi juga mencicipi kembali beling masa lalu yang menempel di telapak kaki dan sela jari jari.


Pada waktu malam turun mengurung kota mati, jiwa jiwa menari dalam gelapnya.  Tidak lagi menjadi soal siapa yang ada dalam genggaman, sebab ternyata kegelapan telah membutakan mata dari cahaya. Di dalam hitam maha luas, pikiran mengayun mengikuti irama nostalgi; kiranya hanya perih melulu yang muncul kembali.  Rupanya di dalam gelap hanya ada pedang bermata dua, yang melahirkan keragan tak kira kira. Nyanyian angin, nyenyanyian bulan dan bintang bintang telah turut mati bersama sonyaruri. Tinggal angin udara bediding yang tersesat disela palawija, bingung mencari selimut yang tersembunyi di rumah rumah batu.

Ah, kota mati tidak ubahnya gunung batu yang menjulang menghalangi jarak pandang. Mendakinyapun hanya bisa dengan angan angan. Sedangkan pada tebing tebih jurang dan hamparan lembah tandus itulah seretan jejak jejak kaki membekas sewaktu perkelahian tidak mendatangkan pahlawan untuk mengadu. Catatan dendam terbawa berkeliling dunia, memetiki buah buah pengalaman yang kemudian kita sembunyikan. Sebagiannya menjadi penawar sempurna sehingga tak patut untuk diberitakan. Luka itu begitu sempurna, sehingga tidak ada satupun penawar atas perihnya.

Sedangkan aku, telah kutetapkan arah laju perahu, meninggalkan kota mati dan melangkah mengikuti garis langit. Ia akan menjadi catatan masa lalu yang tersimpan rapi di rak kenangan. Tidak ada kuasa dan daya untuk menghapusnya, kecuali melihatnya sebagai fragmen fragmen masa yang tak lagi punya nafas dan tunas. Kepada rumah pelangi layar terkembang memuja angin. 

Rupanya perang telah menyisakan biji bijian yang terabaikan, hingga tumbuh menjadi monumen pengingat bahwa di pematang ladang itu cinta pernah lahir prematur dan kemudian mati suri. Kita pernah membangun mimpi di rumah kayu di kota itu, yang kemudian hancur menjadi beling beling tajam yang mejauhkan dari rabaan tangan.

Kota mati kota kenangan, berisi benda benda mati serta zombie yang tak henti bergentayangan meneror mimpi mimpi yang baru saja terbangun kembali di kejauhan.

Bambuapus 120814 

Monday, August 06, 2012

Buku Wajah


Sungguhlah tidak bijaksana mengukur kualitas sebuah buku hanya dari melihat dan membaca judul di sampulanya. Sebab inti sebuah buku terletak pada susunan huruf demi huruf yang tercantum pada lembar demi lembar halamannya. Dan, sebuah karya tulis yang hebat dan bermutu hanya bisa lahir dari penulis yang rajin mebaca buku. Mungkin sekedar referensi, atau bisa jadi sumber inspirasi. Dan selamanya esensi sebuah buku akan tetap menjadi misteri manakala lembar demi lembar halamannya tidak dibaca.

Berbeda dengan buku wajah, yang kemudian menjadi habitat dari hampir satu miliar manusia di dunia. Buku wajah menjadi panggung sandiwara raksasa dimana setiap orang bebas mengambil peran untuk berpura pura ataupun bersungguh sungguh menampilkan jatidirinya. Kepalsuan dan ketulusan dibatasi hanya oleh garis tipis yang mengaburkan warna antara dua abu abu; dunia bayang bayang dan alam wujud. Itulah sebabnya, sampul sampul dari buku wajah seluruhnya berisi suatu pertontonan dan keluhan. Kedua duanya memiliki makna magnetik pada simpati, dan simpati dapat ditunjukkan tanpa harus merasa bersimpati. Cukup icon gambar jempol.

Selebihnya dari dua macam model sampul buku tadi adalah tuntunan moral. Tuntunan moral yang lahir dari jiwa yang (bisa jadi) brengsek di dunia wujud, dengan serta merta menjadi filsuf maha bijak melebihi pertapa yang selama puluhan tahun hanya menghambakan diri kepada kemuliaan laku. Jelas bahwa sampul sampul dalam buku wajah tidak semuanya mewakili esensi atau isi yang terkandung didalam lembar demi lembar kisah sejarah, pengalaman bahkan tautan moralitas pemilik atau penulisnya. Seorang brengsek bisa tampil palsu menjadi ksatria alim, seperti halnya predator yang mengenakan jubah dan topeng pahlawan si buku wajah.

Semua orang bebas menipu dirinya sendiri sebab aturan peradaban yang dipergunakan hanya tertulis di dinding dinding awan tempat segala sesuatu berkelebat cepat hilang. Dinding awan itu mengambang dalam sanubari setiap orang, yang tidak memiliki sanksi memaksa kecuali rasa malu yang pada akhir akhir ini orang semakin kebal. Sungguh tidak ada penipu yang lebih hebat dari orang yang sanggup menipu dirinya sendiri. Kita layak untuk bersimpati kepada orang orang seperti ini, yang hidup jauh dari sejuk tanah, hanya kakinya menjuntai tinggi di tepi kabut kenyataan. Kita patut bersimpati atas mereka karena mereka sebenarnya terbutakan oleh kebanggan menjadi bukan dirinya sendiri sementara mesin waktu terus mengurai usia. Pasa saatnya nanti mereka tersadar, mereka telah terjebak dalam kubangan kesemuan itu yang mengantarkan mereka pada ketertinggalan yang tak termaafkan.

Maka akan lebih bijaksana lagi jika kita menilai sebuah buku dari tulisan yang terkandung didalamnya, syukur syukur tulisan tulisan yang lahir dari perenungan tanpa tendensi, yang memiliki bobot pemikiran realistik layaknya manusia hidup di lama kasunyatan. Hampir satu miliar sampul buku wajah memainkan magnet simpati. Hanya kebijaksanaan yang didapat dari pemahaman tentang nilai hidup yang bisa dengan bijaksana menentukan buku mana yang layak dijadikan elemen pengait pengetahuan tentang cara menjalani hidup agar tercipta harmoni. Sebab tidak semua sampul buku wajah berisi maklumat palsu.


Gempol 120521

Wednesday, July 25, 2012

Residu Dendam

Pada dinding langit kau pahat murka, menjulang tinggi menikam atap dewa dewi. Bersama embun terakhir, aku terbanting kembali ke bumi, jadi debu milik sang sediakala. Sebentar akan lesap oleh angin tanpa warna.

Malam tengggelam dalam gugusan angan angan. Sonyaruri bisu ditinggalkan kepak sayap sayap mati. Di tanah basah tepi comberan, aku tersesat mencari mimpi yang mati tiba tiba; padahal baru saja kutemukan tertimbun candi jiwa.

Mungkin memang tak semestinya merestorasi mimpi, ketika putaran waktu telah mentahbiskannya jadi prasasti. Sebab mimpi tak pernah benar benar sanggup menyakiti, pun ia adalah titian tertinggi jagad khayali.

Kita tidak akan benar benar saling mengenali, oleh sebab perhatian kita sibuk mengagumi pantulan cermin diri sendiri yang mengelilingi lingkaran keangkuhan penuh sangkalan.

Mungkin semestinya kita tidak harus bersentuhan, agar api tak memercik pada residu dendam yang tersimpan pada guci keabadian. Sekarang ia telah menjadi api yang menghanguskan, hanya menyisakan abu penyesalan. Setinggi lantai khayangan ego kita perdebatkan, nyatanya memang dibalik pelangilah tempatmu berkipu dengan bermacam kemegahan sanjung sanjung dan pujian.

Oleh karena pecahnya suara, maka cinta membara yang melahirkan rindu menggebupun perlahan menghampa. Awan gemawan mengangkutinya pergi menjauh, dan kembali menjadi anak bumi. Rebah disejuk tanah berdebu, sisa lumpur kering musim lalu. Disini, dimana diri menjadi raja atas bukan siapa siapa, raja atas bukan apa apa kecuali dunia yang syahdu sunyi.

Engkau terlalu indah untuk terkena kibas amarah, bahkan percikan darah pertikaian. Menjagamu tetap tak tersentuh adalah kebijaksanaan perih tanpa tawaran. Engkau akan tetap ada dengan segala indahmu yang menyumber, didalam ruang kaca pajangan jiwa; bukan untukku.

Kutitipkan sesal kepada sepasukan pahlawan yang tak henti memuja dan menyanjungmu sepanjang jalan, atas sombong sikapku yang meyakini kesamaan isi hati kita.

Kiranya kegagalan menyapa, atas satu satunya keinginan yang ku jaga.

Lepas sonyaruri - Bambuapus 120725

Saturday, June 09, 2012

Itik berbulu ayam


Sejak semula dia memang seekor ayam, yang ditetaskan oleh induk ayam hasil persetubuhan dari ayam jantan dan betina. Ia bermula dari bukan apa apa pun, berubah jadi telur dan menetas jadilah ia memiliki hidup individu sebagai seekor anak ayam. Ia menetas dalam komunitas ayam. Hidup memberinya kaki yang mampu berjalan dan menjelajah bumi mencari makan, tetapi juga memberikan pengetahuan pengetahuan baru tentang segala sesuatu yang berbeda dan maha luas seperti tak berbatas.

Syahdan, si ayam kecil beranjak dewasa jua setelah masa kanak kanak dan remajanya dihabiskan dengan kesederhanaan kandang ayam.  Si ayam muda mengelana, melintasi sungai sungai serta bebukitan, bahkan gurun dan lelautan. Langkah kecilnya tiba dikeramaian baru, sekerumunan itik dengan susunan masyarakat itiknya. Si ayam kini berada di dunia itik. Itik itik lain menerima kehadiran si ayam sebagai saudara jauh dalam silsilah unggas. Sang ayam muda bergaul dengan itik segala usia, dari yang kekanak kanakan hingga itik dewasa. Di dunia itik, sang ayam disambut baik, yang lalu berbagi cari makan di bumi itik. Ia belajar tumbuh bersama sekawanan itik, hatinya semakin menjauh dari asal muasalnya sebagai ayam dengan keturunan ayamnya. Ia kini berbahasa itik dan berkehidupan sesuai gaya itik. Segala perbedaan tentang asal usul dikamuflasekan meskipun hasilnya wagu semata. Ia berbicara dan bergaya layaknya itik sungguhan. Ia kemudian tersesat dalam kesadaran, merasa dirinya adalah itik, bukan ayam. Bahkan ia merasa dirinya lebih baik daripada itik itik lainya. Padahal dimata itik itik dalam lingkungannya, ia tak lebih hanya ayam yang medapatkan kebaikan hati dari para itik di dunia itik.

Maka iapun tidak sadar bahwa ia hanya punya durasi waktu tertentu untuk menikmati dunia itiknya. Sebab segala sesuatu yang berawal pasti akan ada akhirannya. Segala sesuatu yang hidup akan mati, dan segala sesuatunya akan kembali kepada ketiadaan. Prosesnya evolusi usia akan membawanya naik turun, meluncur berselancar dan kadang ibarat kaki tertancap di lumpur yang mengering. Pahit manis, sedih senang, jaya dan sengasara. Segalanya berporos pada cinta, pada hubungan sosial dalam budaya itik. Kejayaan membuat sang ayam durhaka terhadap asal dan leluhur ayamnya, ibarat kacang yang lupa akan kulitnya. Ia telah merasa berbeda denagan teman teman kecilnya, ayam ayam lain yang tetap bangga dengan identitas ayam meskipun ada di dunia asing di alam perburungan.

Memelihara nilai nilai pergaulan yang terbangun semasa kecil sama halnya menghormati kesebermulaan. Sejarah asal usul diri semestinya tetap terpelihara meskipun badan sekeping terbawa arus ke bumi asing yang jauh dari kampung halaman. Mengingkari asal usul sungguh tak ubahnya menghancurkan jalan setapak yang seharusnya dipelihara sebagai jalar yang sama untuk kembali diretas kelak. Tetapi sebagian orang memang masih meyakini slogan rukun agawe santosa, bahwa kekuatan hanya dapat terwujud dengan kerukunan dan persatuan. Perbedaan serharusnya disisihkan, kepentingan kepentingan pribadi mestinaya semestinya dikorbankan demi terpelihara kebersamaan. Materi, dan kehormatan yang didapat di perantauan semestinya bukan menjadi hal yang dipersombongkan. Kesederhanaan dan kerendahan hati justru mengajarkan kepada kebesaran sebuah pribadi. Sayangnya materi dan gila hormat kerap merubah orang kampung menjadi raja kecil yang harus selalu disembah dan dianggap penting oleh orang lain.  

Menaruh hormat pada kehidupan sosial sebenarnya memberikan satu peringkat lebih tinggi martabat kita. Kehidupan sosial melalui organisasi sederhana yang bertekad kuat untuk menjaga hubungan sesama teman sekampung di perantauan. Sesuatu yang tidak menghasilkan keuntungan materi. Sesungguhnya keuntungan yang bisa didapat dari menjaga silaturahmi, merasa menjadi bagian dari niat baik paguyuban memperoleh keuntungannya sendiri yang jauh lebih bernilai dibanding materi.  Sungguh, orang yang bisa mementingkan sesuatu yang lain sesudah diri sendiri akan menemukan kebahagiaan yang tidak dapat dinilai dengan angka. Sebuah kebahagiaan tulus yang dapat meruntuhkan kesombongan, melahirkan perasaan syukur atas hidup yang penuh karunia.

Kehidupan kampung halaman yang selalu menyenangkan dan selalu ada dalam ingatan dikarenakan oleh kesederhanaan para warganya. Kehidupan kota besar yang pragmatis dan materialistis diyakini dapat menggerus bekal kesederhanaan yang menjadi watak asli orang kampung. Peradaban orang kota yang cenderung berlomba untuk kemegahan imitasi dan rasa hormat imitasi sering menjadi budaya baru yang diadopt oleh orang kampung. Tidak jarang orang kampung menjadi (pura pura) lupa asalnya. Dari gaya berbicara, berpenampilan dan bertingkah laku sudah menjadi orang kota; meskipun tetap wagu. Kepura puraan menjadi orang kota yang diperbanggakan menggambarkan betapa rendahnya pemahaman terhadap pengetahuan etika. Tetapi ada yang tidak bisa berubah dan tidak bisa menipu; ialah dari wajahnya! Dia tetap orang kampung dimata siapapun.

Tabik hormat untuk kawan kawan yang tetap berkeras menjaga dan memelihara kerukunan sesama warga kampung di bumi perantauan. Tetaplah bersatu, untuk keteguhan dan kejayaan nama kampung kita; Indonesia.

Gempol, 120609    

Saturday, June 02, 2012

Tenggur




Si Lia anak Mak Layur hari ini menikah. Kelas dua SMU, tiga bulan hamil oleh Jay pacarnya yang anak Kampung Lubang Buaya. Pestanya besar besaran, tiga malam anak anak remaja teman kakaknya begadangan. Puncaknya hari ini, pagi pagi ke KUA, akad nikah dengan maskawin uang seraturs ribu. Acaranya khidmat, si Mada Caplang kakaknya yang jadi walinya oleh sebab bapaknya lia sudah enam tahun di akherat. Seharian speaker besar melantumkan lagu lagu campur aduk, dari lagu Sunda, Dangdut, Barat, Betawi, bahkan lagu lagu alay jaman sekarang; girl band dan boy band!

Lia bukan jenis gadis periang dan banyak inisiatif, haus ilmu pengetahuan dan punya khayalan liar tentang penjelajahan, tentang pengetahuan dan pengalaman. Dia hanya anak bontot pendiam dengan sorot mata yang nyaris tak bercahaya, dan kabarnya jika ada kemauannya tidak dituruti, atau dia ada dipuncak marahnya, maka segala perabotan dan barang barang dirumah akan hancur lebur menjadi sasaran kedahsyatan amukannya. Dia sejenis anak yang harus selalu terpenuhi keinginannya dan emaknya tidak punya pilihan lain dikarenakan kecintaanya pada titisan darah dan ruhnya yang menjelma jadi cantik jelita, hamil pula. Pacarnya kebetulan sesama ABG, bermuka tiris dan punya potensi merusak kehidupan orang lain. Type cowok ABG yang diidamkan cewek cewek ABG karena tampang. Enah bagaimana ceritanya, yang pasti Lia hamil oleh lelaki yang hari ini resmi menjadi suaminya. Jay.

Sewaktu zaman dimana nilai moral masih menjadi azas yang berwibawa, kejadian Lia tentu adalah aib keluarga yang menghancurkan banyak aspek. Orang menyebutnya Tenggur, sebuah abreviasi dari Meteng Nganggur (hamil tanpa nikah). Berbulan bulan orang orang akan memperbincangkan dengan sembunyi sembunyi perihal kehamilan yang tidak dilengkapi dengan status suami bagi si hamil. Dari gossip, berkembang jadi desas desus yang selalu ditunggu kelanjutan kisahnya. Menjadi pembicaraan negatif orang orang dilingkungan tentunya aib sebagai hukuman yang sangat berat bagi nama baik keluarga. Sebab keluarga adalah investasi sosial.

Saking aibnya, banyak usaha dilakukan orang kurang cerdas ini untuk menutup nutupinya. Meng- abort proses yang sedang jalan menjadi solusi paling umum; gugurkan kandungan. Pada level yang lebih ekstrim, aib justru dicoba di delete pada saat si janin sudah menjadi orok yang berarti menjadi seorang manusia yang kelak mungkin jadi pemimpin dunia. Untuk menyembunyikan pelanggaran moral memang kadang diperlukan laku amoral. Sebuah jibaku dengan taruhan nyawa yang mengandungkan atau yang dikandungkan. Banyak contoh teman teman Lia yang mati dicekik pacarnya hanya karena diminta bertanggung jawab atas sperma yang mulai menggumpal di rahim.  Lia sungguh orang yang beruntung!

Miris juga, ternyata soal tenggur bukan lagi menjadi hal yang terlalu mengganggu. Ada degradasi moral di lingkungan kita yang sebenarnya sangat memprihatinkan. Mak Layur mungkin bisa menjadi salah satu prototype statement diatas itu. Nyatanya pernikahan anak bungsu tersayang berjalan lancar jaya, semua seusai dengan anggaran dan lebih melegakan lagi pihak mertua yang kebagian sebagai donatur wajib dan lagi tunggalnya. Mertuanyalah yang harus menanggung sejumlah angka atas kebejatan anak laki laki mereka membejati anak perempuan Mak Layur. Prosesnya sama dengan prosesi pernikahan Betawi pada umumnya. Pakai nyebar undangan, pakai datang kerumah rumah memberitahu, pakai pengajian majlis taklim, pakai acara resepsi juga meski kali ini tanpa organ tunggal.

Sama sama pernikahan, tetapi motif dari terjadinya pernikahan itu sebenarnya yang menentukan ruh yang dapat dirasa dari pesta perkawinan. Perkawinan normal datang dari dua orang dari dua lembaga berbeda yang menggalang niat sangat kuat untuk mendirikan satu lembaga baru sebagai penanaman modal sosial. Persiapannya bertahun tahun, kalkukasi segala macamnya termasuk kriteria pasangan pengantin sudah diperhitungkan masak masak dan hati hati, menghindari zero accident. Pernikahan seperti itu akan terasa memang khidmat, dihadiri teman dan kenalan yang datang mengucapkan selamat dengan tulus, membagi kebahagiaan dengan perjamuan dan suasana menyenangkan. Perkawinan karena tenggur kebalikan dari itu semua!

Betapa nikmatnya menjadi masyarakat sederhana, yang menjunjung tinggi kepatutan dan perilaku susila. Sebuah lingkungan beradab yang jauh dari intervensi hukum karena sedikitnya kejahatan dan pelanggaran norma sosial. Dari lingkungan seperti itulah semestinya bayi bayi lahir dan tumbuh dewasa dengan ketulusan dan memegang teguh misi untuk selalu mengumpulkan kebaikan dimuka bumi. Bukankah dengan mengumpulakn kebaikan maka seseorang akan memiliki kesempatan lebih untuk membagi kebahagiaan yang lebih besar (?). Ketika setiap perilaku tunduk pada mazab formalistis, niscaya setiap yang beridentitas Indonesia adalah agung dan mulia, oleh perilaku warga negara maupun tamu tamunya.

Betapa nikmatnya menjadi masyarakat sederhana, dimana setiap orang berlaku dan bersikap apa adanya. Ternyata, sejarah peradaban dunia bermula dari hubungan cinta antar manusia. Tidak peduli jenis kelaminnya!

Gempol 120602


Saturday, May 26, 2012

Instan



Teknologi melahirkan kemajuan zaman. Mendorong terjadinya perubahan sosial instan pada hampir segala aspek hidup. Usia dilupakan, sejarah diabaikan lalu segala hal yang bersifat praktis dan instan menjadi berhala baru untuk dipuja dan diperbanggakan. Padahal kekunoan mengandung sejarah panjang hingga terjadinya revolusi diam bagi kebudayaan umat manusia.

Makanan yang dibuat dengan cara instan oleh kecanggihan alat modern akan menghasilkan rasa kenyang yang instan pula; cepat melesat pergi dari lidah dan perut untuk kembali ke status lapar. Proses instanisasi memerrlukan zat zat anorganik yang lambat laun akan menumpuk jadi residu dalam darah, dalam syaraf bahkan sampai ke lapisan daging dan tulang serta organ organ pencernaan.

Lalu hiburan instan, berupa kesenangan kesenangan sesaat yang didapatkan dengan cara kilat, mudah dan berbiaya. Kesenangan macam itupun pada akhirnya akan menimbulkan kepuasan sesaat, untuk kemudian menyeret penikmatnya kembali ke dunia hambar, dunia lapar akan sensasi.

Lebih parah lagi kawan isntan. Berkawan tidak lagi menggunakan metode metode konservatif yang bagi banyak kalangan dianggap tidak efisien alias tidak praktis. Teman bisa didapatkan dengan instan, hanya dengan menekan satu tombol permintaan melalui buku muka. Kehilangan atas teman instan ternyata semudah mendapatkanya. Sebab sesuatu yang diperoleh dengan mudah sama halnya mempermudah proses kehilangannya.

Tetapi sekali lagi, instanisasi berbagai segi ini adalah budaya baru yang melahirkan sensasi kembang api di zaman canggih yang semakin hambar citarasa. Teman yang dikenal bisa tiba tiba berubah menjadi saudara angkat, saudara hati, atau entah apalagi sebutanya yang menunjukkan sifat berlebihan tanpa melalui proses waktu yang semestinya. Tanpa disadari maka akibatnyapun akan menghasilkan sebuah hubungan penih atificialistik. Teman yang diperoleh dari menekan tombol akan cepat melesap lenyap hanya melalui sekali pencet tombol pula. Akan berbeda jika hubungan antar dua manusia diawali dari komunikasi sederhana, dijalani dengan pikiran sederhana untuk kemudian disimpulkan sebagai sebuah hubungan yang memberikan nilai kedamaian karena kesederhanaan itu. Jika pertemanan dibentuk secara instan apalagi dilingkungan dunai tempat kehidupan palsu, maka resikonya adalah sebuah pertemanan yang mungkin juga palsu.

Budaya instan secara perlahan mengeser nilai nilai mulia dari sejarah, dari tatanan sederhana yang mempersatukan umat manusia secara lahiriah dan batiniah. Keajaiban budaya instan dianggap mirip seperti wujud nyata dari khayalan khayalan yang dengan mudah berubah nyata. Hal itu sering melupakan orang dari cara berkaca, cara bertanya, cara berkomunikasi dengan nurani sendiri. Orang cenderung semakin jauh dari nuraninya sendiri, mengedepankanpencitraan dan demi penilaian orang lain.  Budaya instan mendangkalkan hati, dimana banyak hal manusiawi yang tidak dapat lagi diselami karena dangkalnya palung hati. Asumsi menjadi kebenaran umum yang disepakati diam diam, sementra obyektifitas penilaian dipertaruhkan dalam tatanan tatanan baru yang dilatarbelakangi  kepentingan dagang.

Tidak ada salahnya menari mengikuti gelombang perubahan zaman. Tetapi menenggelamkan diri dalam khayalan yang seolah kenyataan sesungguhnya adalah awal dari kebangkrutan identitas. Perwujudan jejak masalalu barangkali hanya benda mati warisan masalalu, tetapi manusia sering lupa bahwa di masalalu, interaksi antar manusia menggunakan konsep hati nurani, jadi tidak mengherankan jika kemudian kisah sejarah menjadi lebih abadi. Sedangkan sejarah yang tercatat dengan tinta instan, akan lekas terhapus oleh angin liar yang melintasi labirin waktu.

Sepatutnya kita menaruh hormat atas apa yang telah membentuk kita menjadi diri kita hari ini sebab dari sekian banyaknya rekayasa peradaban, maka hukum alam akan tetap menyajikan keadilan yang hakiki.


Gempol 120521

Friday, February 24, 2012

Kemaruk Jaya Makmur

Sebatang pohon itu memang bisa menjadi guru bagi kehidupan, asal saja manusia mau meletakkan ego dan kesombongannya di lantai terdasar kesadaran nurani. Sebatang pohon tidak akan menghisap jatah rezeki lebih dari apa yang dibutuhkannya, pun dia masih sanggup menghasilkan buah buah manis bagi kehidupan yang diberikan gratis untuk dunia. Kita belajar bersahaja dari sebatang pohon, kita belajar kukuh dan setia dari sebatang pohon pula.

Sayangnya manusia memang mahluk paling sempurna, yang dibekali dengan akan budi dan juga pikiran pikiran kreatif dalam segala hal. Segala atribut itu menjadi pembungkus sifat dasar bernama nafsu, nafsu diniawi yang tak berbatas langit atau bumi. Sebagai yang paling sempurna diantara mahluk lainnya penghuni dunia, ukuran kesempurnaan itu menjadi subyektif disesuaikan semau maunya. Acuan parameternnya adalah kepuasan, sedangkan kepuasan nafsu akan terus bertumbuh bersama keinginan dan lingkungan yang menyertai pertumbuhan itu. Pergaulan, kebiasaan, tata cara kehidupan semuanya berkembang berdasarkan taraf keserakahan masing masing orang.

Pada level tertentu, keserakahan ditolerir sebagai sebuah “kebutuhan dasar” yang diterima oleh peradaban. Satu orang manusia biasa dengan atribut titipan sementara berupa kekuasaan dan harta diatas rata rata akan sangat mudah terjebak pada paradigma ini. Kehidupan perkotaan yang dibuat seolah olah matematis dan artificialis menjauhkan diri dari pola pola kesederhanaan. Coba saja, sudah umum bahwa satu orang bisa memegang telepon genggam lebih dari satu buah. Bisa dua, bisa tiga, bisa lebih dari itu. Gaya kemaruk seperti itu dipertontonkan justru lebih banyak oleh orang orang yang tergolong intelektual dan berjabatan; sebagai identitas baru sebagai manusia supersibuk yang tidak cukup hanya mengandalkan satu nomor telepon kontak. Kemaruk!

Sebagai manusia supersibuk produk zaman teknologi, bersamanya juga tumbuh kastanisasi kastanisasi berdasarkan kesukaan dan ketidak sukaan semata. Telepon dengan harga lebih mahal dan jangkauan lebih luas diperuntukkan bagi kalangan sekelas yang disebut sebagai kolega, sedangankan pesawat telepon genggam yang lebih rendah nilainya diperuntukkan bagi orang orang yang berada dibawah selevel atau dibawahnya. Ini disebut teman. Kasta kasta tak terlihat nyata itu dibuat penuh keseolah olahan yang sebenarnya mengabaikan tatakrama dasar antar manusia. Sifat kemaruk penguasaan telepon genggam hanya sebuah cerminan, karena dibaliknya sebenarnya terdapat sifat sifat kemaruk untuk hal hal lebih besar lainnya dalam kebanggaan pribadi masyarakat modern.

Di kalangan kehidupan hedonis dan matrialistis, penguasaan atas satu bidang materi sepertinya tidaklah cukup. Batasan batasan tenggang rasa terhadap kondisi sosial sekitar menjadi abu abu dan cenderung terabaikan oleh keangkuhan serta pengakuan duniawi semata. Kekemarukan itu juga meliputi wilayah wilayah kekuasaan (power) serta pengakuan pada komunitas tertentu, jadi tidak semata pada soal kekayaan materi. Kekerabatan, keakraban yang divisualisasikan sebagai teman hanya sekedar pepesan kosong ketika bersentuhan dengan kebutuhan atas pemenuhan nafsu duniawi tersebut.

Kondisi seperti itu menciptakan akar rumput yang apatis, ibarat bara yang menjalar di bawah permukaan tanah gambut. Mereka yang kemaruk, jaya dan makmur sesungguhnya disumpahi, dan didoa doakan oleh mereka yang tebakar ketidak adilan, terinjak injak tak berdaya dibawah duli kuasa sementara. Doa doa terburuk yang pernah lahir dari mereka yang didera penderitaan bathin diam diam di dalam lautan kehidupan ini.

Sudah seyogyanya kita belajar dari sebatang pohon, yang tak merampas lebih dari yang dibutuhkan untuk memberikan hal hal manis dan berguna bagi kehidupan dunia.


Palembang 120224

Monday, February 20, 2012

Filsafat Pohon

Semakin tinggi pohon, maka semakin jauhlah daun dari akarnya. Bahwa memang dedaunan sebagai elemen kehidupan dibatasi oleh siklus usia sebagai penampung dan penampang seluruh silsilah si pohon. Dedaunan pula yang mencatat kisah sejarah si pohon dalam guratan guratan batangnya. Akar ada sejak sebermulanya kehidupan, dia pula yang menjadikan dedaunan yang merepresentasikan sebuah pohon. Daun tak lebih hanya muncul berbentuk kuncup, lalu hijau berjaya, kemudian perlahan menua, kuning dan akhirnya luruh ke tanah, kembali kepada akar yang sebenarnya ketika usia tak lagi membutuhkannya. Nasib daun tidaklah lebih baik dari batang apalagi akar. Terkadang ia terombang ambing dalam arus angin tak menentu, bahkan terkadang patah layu bersama ranting yang menyerah oleh derasnya angin nasib.

Maka semakin tinggi tingkat kehidupan seseorang, pada umumnyapun akan semakin jauh dari akar yang membuatnya menjadi ada dan tempatnya berada. Nilai nilai kesahajaan sering membias bersama dengan pola dan gaya hidup yang dipengaruhi oleh pikiran pikiran hedonis. Memang demikianlah sifat manusia pada umumnya, yang mengukur kejayaan dari segi segi yang dapat dihitung dalam bentuk angka angka. Jangankan pada akarnya yang menjadikannya ada, pada kepastian siklusnyapun terkadang orang menjadi sombong dan pelupa.

Pada ketinggian tingkat daun, angin segar dan langit membentang tak terbataskan garis apalagi dinding menjadi seakan kepemilikan atas kekuasaannya yang abadi. Seluruh kehidupan seolah menyoraki dan menyokong segala yang diperlukan untuk menyenangkan nafsu duniawi. Kaki kaki kesadaran nurani menjuntai tak menyentuh tanah kenyataan, apalagi mengecap becek dan kotornya lumpur dan debu dunia milik sang akar. Daun daun mati yang berserak tak lebih hanya akan menjadi gizi bagi daun daun lain di generasi lain, tak memberi makna apa apa bagi pohon dan akar. Ketika hidup berjaya, terkadang bahkan makna pertemananpun sering diukur dengan pasal pasal pengatur peradaban.

Sungguh malang mereka yang miskin akan kekayaan nurani, meskipun hidup dalam gelimang kemudahan karena materi. Mereka menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan menjadi nyaman di kehidupan maya, kehidupan semu yang diciptakan demi melindungi kesenangan yang mampu terbeli. Kebiasaan pamer dan juga tidak peka terhadap perasaan orang disekeliling sesunggunya telah mematahkan anak anak tangga yang didaki dulu, dan karena sombongya menganggap takkan memerlukan anak anak tangga itu lagi. Ah, hidup itu hanya siklus. Sesuai hukum alam, bahwa segala sesuatu yang naik pastilah akan turun lagi. Bukankah akan bijaksana jika kita tetap memelihara anak anak tangga yang membantu kita mencapai puncak, untuk suatu saat nanti kita injak lagi jika tiba saatnya kita harus turun? Sebagian kita memilih jatuh terbanting dari ketinggian, menjelempah bagai sampah karena gravitasi yang diingkari justru dari tempat tinggi.

Memuja angin sama saja memuja ketiadaan, sedangkan langit yang tampak kosong tak selamanya berisi kehampaan. Segala yang hidup pasti akan mati, dan semua yang berwujud dimuka bumi tidaklah kekal. Pamer, sombong, congkak dan mati rasa sesungguhnya hanya akan menjerumuskan kita kepada perasaan antipati serta menebar benih benih kebencian yang pada saatnya kita terjatuh akan menjelma menjadi tepuk tangan yang meriah dari mereka yang berbahagia atas kejatuhan kita.

Kotabumi 120220

Friday, January 13, 2012

Darpin

Ini dongeng mistik masa kecil, yang menelikung keberanian setiap bocah lelaki kecil yang mendengarkannya. Konon Darpin adalah ilmu hitam yang menggunakan mayat orang lain untuk dirubah bentuk menjadi bermacam macam bahan pangan, seperti beras dan lainnya. Konon beras hasil Darpinan ini butiran butirannya lebih besar besar dan mrisih. Terlalu bagus sebagai beras dalam ukuran yang sewajarnya. Selain beras umumnya bahan pangan hasil Darpinan adalah kacang kedelai atau kacang tanah. Kedua komoditi itupun juga memilki cirri ciri yang sama; sempurna.

Konon lagi, orang sakti yang memilki ilmu hitam dan biasa melakukan Darpin menjalankan aksinya dengan cara menarik jasad orang mati dari kubur dengan ilmu gaib. Kabarnya, setiap mayat yang ditarik keluar pasti akan melakukan perlawanan sehingga terjadi perkelahian antara mayat dan tukang Darpin. Tidak jarang tukang Darpin kadang terluka pada perkelahian itu. Ciri ciri kuburan korban Darpin konon ditandai dengan adanya lobang mirip liang gangsir – sejenis jangkrik besar - pada sekitar gundukan makam.

Sangkaan tukang Darpin (yang kalau sekarang lebih dikenal dengan tuduhan dukun santet) yang santer beredar dalam bentuk rumor dari pos ronda ke pos ronda, dari desa ke desa adalah Ki Lurang Gondang. Pak lurah yang kemana mana menyetir sendiri mobil bak terbuka merk Datsun warna merah marun itu memang terkenal dengan kekayaanya. Kekayaanya bukan cuma rumah megah dan sawah berlimpah, tetapi juga usahannya yang bertebaran, dari usaha penggilingan padi sampai penggergajian kayu. Kata rumor, kekayaannya itu didapatkan dari hasil mendarpin.

Begitu santernya nyatannya rumor itu, hingga beredar melalui bisik bisik bahwa setiap habis ada orang yang meninggal, maka biasanya Ki Lurah Gondang akan tiba tiba menghilang paling tidak selama tiga hari. Konon menghilangnya Ki Lurah berkaitan dengan proses transformasi dari jasad manusia menjadi bentuk bahan pangan yang diinginkan. Itu sudah cukup untuk membuktikan betapa saktinya Ki Lurah, yang sudah mengalahkan mayat dan lalu menganiayannya menjadi bahan pakan manusia.

Waktu itu setiap habis ada orang yang meninggal dan dikubur di pekuburan desa, suasana malam tintrim selalu menindih perasaan. Sebuah atmosphere super horror yang diciptakan oleh pikiran kanak kanak. Malam terasa sangat menyiksa seolah olah monster monster bersama mayat mayat bergentayangan mencari anak anak yang ketakutan. Terutama anak anak laki laki yang menggigil sumpek bersembunyi didalam buntalan sarungnya. Kegelapan malam terasa begitu mengancam, dan rasa kantuk hilang berganti kecemasan luar biasa.

Jika seseorang meninggal pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, maka kuburan tersebut harus dijaga selama tiga hari tiga malam berturut turut. Para lelaki kerabat si mati, tetangga dan sanak saudaranya akan begadang di pusara yang baru jadi. Konon Darpin tidak akan bisa melancarkan aksinya jika makam sasaran dijaga oleh orang yang masih hidup. Tetapi konon pernah juga kejadian, kuburan yang dijaga sekalipun bisa kecolongan Darpin. Pasalnya, tukang Darpin juga menguasai ilmu sirep, dimana dengan ilmunya dapat membuat orang akan tertidur karena tidak tahan kantuk yang menyerang. Sewaktu para penjaga kubur itu tertidur, maka aksi Darpin terjadi.

Suatu kali, Ki Lurah Gondang pernah sakit bernama “Badan Mati Separo”. Penyakit mengerikan yang membuat tubuh seseorang akan separo mati fungsi, separonya lagi tetap hidup normal. Konon pula, sakitnya Ki Lurah juga berkaitan dengan aktifitasnya sebagai tukang Darpin. Hukum karma yang didapat dari cara kotor, mencuri mayat demi harta dan kehidupan dunia pribadinya. Sejak sakit itu, perlahan lahan tapi pasti kekayaan Ki Lurah semakin hari semakin menyusut. Malapetaka juga terjadi beruntun, mulai dari penggilingan padinya yang terbakar hingga kecelakaan yang memakan korban di penggergajian kayunya.

Tiga tahunan sejak sakit itu, Ki Lurah Gondang akhirnya meninggal. Sejak itu juga terjadi kelegaan magis pada orang ramai. Tukang Darpin tidak ada lagi, mayat akan lebih aman di liang lahat. Dan konon sejak meninggalnya, tidak ada lagi cerita tentang Darpin terdengar lagi, karena orang meyakini Ki Lurah Gondang adalah tukang Darpin meskipun itu hanya konon.

Andong 120113

Sunday, January 01, 2012

Tahun Baru

Ketika asap kembang api sisa perayaan perlahan melesap di udara, maka yang tampak adalah hamparan jalan berbatu dan tenaga yang berkurang satu demi satu. Tahun baru tak ubahnya lanjutan dari perjalanan panjang, titik penanda dimensi waktu yang diagung agungkan dengan kegembiraan yang berlebihan. Angka tahun yang lama seolah olah tamat mejadi benda mati dalam keterkurungan kenangan. Tekad tekad mulia dibangun dalam kuil kuil semangat, pundi pundi harapan ditimbun demi modal perjalanan setahun kedepan. Garis umur menjadi terkotak kotak oleh penyesalan. Lompatan lompatan peristiwa membekas bagai jeda dalam ketukan spasi.

Tahun yang berat hampir menyentuh ujung. Untaian waktu yang menyisakan catatan, torehan peristiwa demi peristiwa, kesakitan dan juga tawa. Tahun kehilangan yang juga berisi catatan tentang pelangi yang kehilangan warna. Dalam tanjakan usia, indeks prestasi tersusun layaknya cekung cekung kali yang kering dan pucat. Terkadang kenyataan menghantam keras dan bertubi, bahkan khayalan sekalipun tumpas tersapu oleh angkuhnya kekuasaan. Kuasa berpikir, kuasa berbijaksana bermakna juga kuasa nasib atas orang lain dibawah titah.

Usia yang mendaki puncak memerlukan pengorbanan disepanjang jejaknya. Terbelanjakan ha hak instimewa maupun kesempatan. Seolah merapuh titian asa, terkadang gelap bahkan tak mampu teraba. Bahkan jejak jejak indahnya menjadi prasasti mati, sesuatu yang layak dibanggai nanti sepuluh tahun lagi. Seiring berkurangnya jatah usia dan menumpuknya kebijaksanaan yang hanyut terbawa olehnya. Semestinya sebentar lagi kan sampai, ke tanjung kesadaran dimana benih benih kebijaksanaan usia akan tertebar disepanjang sisi laut pengalaman.

Jalan didepan sungguhlah lapang, namun akan ada kemarau dan hujan yang terjadi, juga barangkali badai dan bencana didepan sana. Selayaknyalah kaki dilangkahkan penuh keyakinan dan kepasrahan, bahwa jalan yang akan kita lalui barangkali akan kita lewati sekali dalam seumur hidup. Besertanya juga mengandung konskwensi dari perbuatan sepanjang jalan itu. Konskwensi yang kita jalani pada labirin waktu yang disebut orang seabagai tahun baru. Dan perlahan pada saat yang sama kita akan menjadi tua secara otodidak.

Maka sebenarnya tidak ada istimewanya pergantian tahun, kecuali almanak di dinding yang segera bergeser ke tempat sampah untuk ditempati cover yang baru. Segalanya toh akan berjalan sama lagi, menjadi rutinitas lagi dan menyelenggarakan jejak peradaban yang berjalan berulang dalam siklus waktu. Perayaan tidak ubahnya seremoni pamer kegembiraan yang mudharat. Sungguh menjauhkan kita dari nilai luhur kemanusiaan yang beretika tinggi.

Dari dukacita kita temukan pembelajaran tentang bagaimana menyiasati kemungkinan, dan dari ketidak adilan kita belajar mengenai kebesaran hati. Penolakan dan kekecewaan diredam agar tak jadi dendam, senda gurau dicatat sebagai tanda kasih keajaiban Tuhan.

Songgom – Prupuk 111226