Tuesday, August 14, 2012

Kota Mati


Gedung gedung kusam itu tampak membatu.  Pepohonan dan pagar pagar rumah dikuasai debu yang membungkam kehidupan. Kemegahan masalalu menjadi runcing oleh peperangan dalam kenang kenangan. Nyatanya iblis memang tidak pernah mati meskipun zaman menelantarkan sebegitu lama. Memenjaranya dalam kuburan waktu sendirian.

Luka yang mati suri memprovokasi damai dalam hati. Bahkan pada saat malam malam riuh oleh khayalan. Aku meminta maaf kepada batu yang telah tergores oleh kisah dan menjadi prasasti, benda mati yang tak mungkin tergeser dalam hati. Lukisan di dinding sejarah mengandung bekas bercak darah, oleh hati ungu yang terseblak kasih salah kisah. Barangkali nanti kuasa waktu akan mengangkuti butir butir debu yang tersangkut di ranting ranting prasangka.

Sewaktu matahari kuning meredup di tepi bumi, semua luka datang menghiba hiba. Mempertontonkan rekaman demi rekaman memar  yang terperangkap oleh cahaya; kisah suatu masa pada enam tahun berlalu. Pada angin tinggeng di kota mati, pikiran terbelah oleh perih dari pedang bermata ganda. Antara ketakutan akan tragedi laten dan takjub atas keajaiban misteri kehidupan. Perebutan dominasi atas masa lalu dan masa depan; mengesampingkan hari ini. Menapakkan kaki di kota mati ternyata bukan sekedar ziarah ketiadaan, tetapi juga mencicipi kembali beling masa lalu yang menempel di telapak kaki dan sela jari jari.


Pada waktu malam turun mengurung kota mati, jiwa jiwa menari dalam gelapnya.  Tidak lagi menjadi soal siapa yang ada dalam genggaman, sebab ternyata kegelapan telah membutakan mata dari cahaya. Di dalam hitam maha luas, pikiran mengayun mengikuti irama nostalgi; kiranya hanya perih melulu yang muncul kembali.  Rupanya di dalam gelap hanya ada pedang bermata dua, yang melahirkan keragan tak kira kira. Nyanyian angin, nyenyanyian bulan dan bintang bintang telah turut mati bersama sonyaruri. Tinggal angin udara bediding yang tersesat disela palawija, bingung mencari selimut yang tersembunyi di rumah rumah batu.

Ah, kota mati tidak ubahnya gunung batu yang menjulang menghalangi jarak pandang. Mendakinyapun hanya bisa dengan angan angan. Sedangkan pada tebing tebih jurang dan hamparan lembah tandus itulah seretan jejak jejak kaki membekas sewaktu perkelahian tidak mendatangkan pahlawan untuk mengadu. Catatan dendam terbawa berkeliling dunia, memetiki buah buah pengalaman yang kemudian kita sembunyikan. Sebagiannya menjadi penawar sempurna sehingga tak patut untuk diberitakan. Luka itu begitu sempurna, sehingga tidak ada satupun penawar atas perihnya.

Sedangkan aku, telah kutetapkan arah laju perahu, meninggalkan kota mati dan melangkah mengikuti garis langit. Ia akan menjadi catatan masa lalu yang tersimpan rapi di rak kenangan. Tidak ada kuasa dan daya untuk menghapusnya, kecuali melihatnya sebagai fragmen fragmen masa yang tak lagi punya nafas dan tunas. Kepada rumah pelangi layar terkembang memuja angin. 

Rupanya perang telah menyisakan biji bijian yang terabaikan, hingga tumbuh menjadi monumen pengingat bahwa di pematang ladang itu cinta pernah lahir prematur dan kemudian mati suri. Kita pernah membangun mimpi di rumah kayu di kota itu, yang kemudian hancur menjadi beling beling tajam yang mejauhkan dari rabaan tangan.

Kota mati kota kenangan, berisi benda benda mati serta zombie yang tak henti bergentayangan meneror mimpi mimpi yang baru saja terbangun kembali di kejauhan.

Bambuapus 120814 

No comments: