Saturday, May 26, 2012

Instan



Teknologi melahirkan kemajuan zaman. Mendorong terjadinya perubahan sosial instan pada hampir segala aspek hidup. Usia dilupakan, sejarah diabaikan lalu segala hal yang bersifat praktis dan instan menjadi berhala baru untuk dipuja dan diperbanggakan. Padahal kekunoan mengandung sejarah panjang hingga terjadinya revolusi diam bagi kebudayaan umat manusia.

Makanan yang dibuat dengan cara instan oleh kecanggihan alat modern akan menghasilkan rasa kenyang yang instan pula; cepat melesat pergi dari lidah dan perut untuk kembali ke status lapar. Proses instanisasi memerrlukan zat zat anorganik yang lambat laun akan menumpuk jadi residu dalam darah, dalam syaraf bahkan sampai ke lapisan daging dan tulang serta organ organ pencernaan.

Lalu hiburan instan, berupa kesenangan kesenangan sesaat yang didapatkan dengan cara kilat, mudah dan berbiaya. Kesenangan macam itupun pada akhirnya akan menimbulkan kepuasan sesaat, untuk kemudian menyeret penikmatnya kembali ke dunia hambar, dunia lapar akan sensasi.

Lebih parah lagi kawan isntan. Berkawan tidak lagi menggunakan metode metode konservatif yang bagi banyak kalangan dianggap tidak efisien alias tidak praktis. Teman bisa didapatkan dengan instan, hanya dengan menekan satu tombol permintaan melalui buku muka. Kehilangan atas teman instan ternyata semudah mendapatkanya. Sebab sesuatu yang diperoleh dengan mudah sama halnya mempermudah proses kehilangannya.

Tetapi sekali lagi, instanisasi berbagai segi ini adalah budaya baru yang melahirkan sensasi kembang api di zaman canggih yang semakin hambar citarasa. Teman yang dikenal bisa tiba tiba berubah menjadi saudara angkat, saudara hati, atau entah apalagi sebutanya yang menunjukkan sifat berlebihan tanpa melalui proses waktu yang semestinya. Tanpa disadari maka akibatnyapun akan menghasilkan sebuah hubungan penih atificialistik. Teman yang diperoleh dari menekan tombol akan cepat melesap lenyap hanya melalui sekali pencet tombol pula. Akan berbeda jika hubungan antar dua manusia diawali dari komunikasi sederhana, dijalani dengan pikiran sederhana untuk kemudian disimpulkan sebagai sebuah hubungan yang memberikan nilai kedamaian karena kesederhanaan itu. Jika pertemanan dibentuk secara instan apalagi dilingkungan dunai tempat kehidupan palsu, maka resikonya adalah sebuah pertemanan yang mungkin juga palsu.

Budaya instan secara perlahan mengeser nilai nilai mulia dari sejarah, dari tatanan sederhana yang mempersatukan umat manusia secara lahiriah dan batiniah. Keajaiban budaya instan dianggap mirip seperti wujud nyata dari khayalan khayalan yang dengan mudah berubah nyata. Hal itu sering melupakan orang dari cara berkaca, cara bertanya, cara berkomunikasi dengan nurani sendiri. Orang cenderung semakin jauh dari nuraninya sendiri, mengedepankanpencitraan dan demi penilaian orang lain.  Budaya instan mendangkalkan hati, dimana banyak hal manusiawi yang tidak dapat lagi diselami karena dangkalnya palung hati. Asumsi menjadi kebenaran umum yang disepakati diam diam, sementra obyektifitas penilaian dipertaruhkan dalam tatanan tatanan baru yang dilatarbelakangi  kepentingan dagang.

Tidak ada salahnya menari mengikuti gelombang perubahan zaman. Tetapi menenggelamkan diri dalam khayalan yang seolah kenyataan sesungguhnya adalah awal dari kebangkrutan identitas. Perwujudan jejak masalalu barangkali hanya benda mati warisan masalalu, tetapi manusia sering lupa bahwa di masalalu, interaksi antar manusia menggunakan konsep hati nurani, jadi tidak mengherankan jika kemudian kisah sejarah menjadi lebih abadi. Sedangkan sejarah yang tercatat dengan tinta instan, akan lekas terhapus oleh angin liar yang melintasi labirin waktu.

Sepatutnya kita menaruh hormat atas apa yang telah membentuk kita menjadi diri kita hari ini sebab dari sekian banyaknya rekayasa peradaban, maka hukum alam akan tetap menyajikan keadilan yang hakiki.


Gempol 120521