Monday, April 25, 2011

Makam

Gelembung udara berisi kehidupan mengambang, terbang mengembara pada hembusan angin masam. Maka telah tiba saatnya, dimana usia mencabuti hak istimewa, habis masa hidup si gelembung sebagai pengisi cerita dunia, lalu menghempas jatuh ke tanah dan menjadi hampa. Tinggal bercak bercak sesal yang menggenang dari pori ke pori bumi, mencari hati tempat mengadu yang tak ada lagi. Usia telah mewajibkan kaki untuk berdiri ketika badai beling menghantam dada, punggung dan telinga, menjadi cangkang bagi kehidupan lain yang lahir dan tumbuh oleh sebab persekutuan maksud. Pada saatnya, badai kambuhan yang rajin menyambangpun harus dihadapi sendiri, tak ada siapa siapa untuk bisa berbagi. Seseorang memandang dari balik gelap yang kekal; hanya dalam lingkaran angan angan.

Demikianlah kiranya hidup bersiklus, amarah dendam bahkan kesedihanpun perlahan akan membatu karang, mematikan rasa, bahkan menghambarkan siksa sang iblis. Ada kalanya ketidak berdayaan diterima sebagai sikap kukuh mengangkangi nasib, mengakui kedigjayaan aturan peradaban dan atau tatanan kepantasan sebagai kekuatan yang bisa juga menghancurkan dengan maskud baik yang terkandung didalamnya. Nyala pikiran yang tak berpola dan cenderung membabibuta di udara hampa hanyalah perusak gagasan akan masa depan gilang gemilang, masa depan seperti dicontohkan oleh garis darah keturunan. Meskipun yang terjadi bukanlah kisah rekaan, tetap saja semua tunduk pada aturan kehidupan dimana sang waktu menentukan segalanya.

Seperti gelembung udara yang tergantung pada senyawa oksigen dan asam, yang memberiknya kebebasan untuk menejelajah cerita demi cerita menyenangkan dan pada akhirnya akan musnah tak berbekas.Pada saatnya semua kisah hanya akan menjadi sejarah, sejarah indah ataupun penuh nanah. Kemegahan dunia yang memunculkan sisi sisi artistik dari setiap tempat dimana kaki dipijakkan hanya akan menjadi tanah makam kenangan, dengan ingatan berbagai rupa terkubur dibalik nisan dalam pandangan mata. Istana yang hampa hanya berisi patung patung bisu, menyaksikan waktu melaju mengabaikan rindu. Percakapan, pertanyaan dan jawaban akan terbungkam oleh sunyi yang meraja hingga semua hanya ada dalam alam pikiran seolah nyata.

Masing masing kita akan terus berlayar melanjuti kemana angin membawa biduk nasib, atau terus menjelajah kemana semak semak dan pohon raksasa menyeret langkah kita di belantara takdir. Sesekali menaiki gelembung dan lepas mumbul bersama tiupan angin surga, toh akan kembali lagi, terhempas ke perjalanan yang sejati. Masih baik, jika dalam pengembaraan yang gelap itu kita mengingat satu kilatan cahaya ketika kita dipertemukan di gelembung kehidupan, tempat cinta bersemai yang lalu membelantara. Dahulu ketika badai mengamuk ditengah kegelapan, dan kita tersesat tanpa tujuan. Sekilat cahaya dari persabungan petir di angkasa, cukuplah sebagai penanda kita saling mengenali luka di wajah yang menua.

Perpisahan usahlah diupacarakan, sebab selayaknya pertemuan, semuanya hanya lingkaran tanpa labirin, proses hidup yang tak direncana awal dan akhirnya. Bahkan ketika tiba waktunya kematian mengakhiri catatan biografi; laksana roda yang berhenti menggelindingkan cerita kehidupan semata. Kita tidak akan sanggup mengemudikan hidup sekehendak hati sendiri, maka kisah tentang perpisahan hanyalah penggalan episode panjang belaka. Sebentar saja arah akan menghilang, berganti muram mengurung langit pikiran. Nanti, bahak tawa masa muda dan canda ceria penuh birahi akan kembali mengisi hari hari; ketika sudah mahfum bahwa kita ada di dua dunia yang berbeda.






Halim 110425