Akhirnya..…
Setelah lima tahun ditugaskan di
Surabaya, dan kembali lagi ke Jakarta, kota tempat dulu pernah bercengkerama
dan mengukir kisah kisah klasik perantau. Kota yang pernah menjadi bagian dari
kisah hidup sekian panjang. Jakarta menyimpan keping keping kenangan tentang perjuangan
dan romantisme perantauan di setiap sudutnya.
Rasanya perkembangan kota ini mengikut
kepada perkembangan zaman secara global. Pembangunan infrastrukturnya begitu massive
padahal baru lima tahun tertinggalkan. Kemajuan peradaban juga turut merubah
wajah Jakarta. Sebagai magnet raksasa, Jakarta menyedot segala macam bentuk
niat untuk datang dan mewujudkan mimpi; atau sekedar turut dalam daya hisapnya.
Jalanan masih macet seperti sediakala, dan sekarang seolah olah kemacetan
menjadi hal biasa yang tidak layak untuk dikeluhkan lagi. Proyek proyek
infrastrukur jalan dengan aneka macam nama dengan tujuan sama yaitu
mengendalikan arus lalu lintas kendaraan, menambah semrawut dan makin
tersumbatnya jalur jalur pokok seperti Cawang, Mampang, Pancoran, dan banyak
lagi. Logika pengguna kendaraan di Jakarta memang sudah sedemikian permisif
terhadap ketidaknyamanan macet. Kondisi itu menjadi salah satu pemicu mengapa
orang bisa demikian abai terhadap aturan dan etika berkendara, yang sebenarnya
pelanggaran terhadap hak pengguna jalan lainnya. Golongan orang seperti itu dinamakan
“ si Pa’ul”, mereka pengguna jalan yang menyandang predikat arogan yang kurang
pintar; okol istilahnya.
Ada satu hal lagi yang tiba tiba
membuat merasa menjadi penghuni lama Jakarta, yaitu ketika di jalan toll denging
suara sirine disertai lampu biru tajam tiba tiba menyela dari belangan
kerumunan macet, meminta orang lain mengalah dan meberikannya jalan. Motor atau
mobil polisi membuka jalan untuk serang pejabat negara. Dibelakan kendaraan polisi biasanya akan
meluncur lancar mobil mewah entah siapa isinya. Betapa geregetannya dengan
situasi seperti itu, karena si pejabat dalam mobil mewahnya begitu arogan hanya
karena dia menjabat. Polisi pengawal dengan sirine mendenging atau menyalak
nyalak seperti suara anak anjing, memaksa pengguna jalan lain yang dianggap tidak
penting memberi jalan. Cuma kali ini, intensitas nguing nguing itu semakin
sering dan semakin banyak. Terkadang ada juga kendaraan tentara melakukan hal
yang sama. Meminta prioritas! Bahkan kendaraan kendaraan dinas berplat merah
pertanda milik pemerintah. Penggunaan bahu jalan menjadi hal yang biasa dan
seolah dibolehkan asal mereka adalah pejabat. Sungguh aneh dalam logika, sebuah
kemunduran budi pekerti akibat dari kemajuan zaman itu.
Pejabat yang digaji oleh negara
idealnya adalah abdi pelayan masyarakat. Mereka yang menjadi pejabat semestinya
yang melayani kepentingan seluruh rakyat dan menempatkan rakyat sebagai
prioritas. Logika ini kebalik dengan situasi nyata yang sebenarnya. Kebanyakan
orang yang memiliki jabatan di pemerintahan cenderung songong atau arogan.
Serba dilayani dan diistimewakan layaknya juragan. Sebagian besar pejabat
menganggap diri mereka terlalu penting dan berharga dimata orang lainnya,
sehingga layak untuk diperlakukan dengan istimewa. Meskipun dimaklumi karena
Jakarta adalah ibu kota, dengan jumlah pejabat yang begitu banyaknya. Sangking
banyaknya, maka hampir tiap menit akan lewat satu rangkaian arogansi minta
keistimewaan di kemacetan jalan tol. Polisi pengawal itu ibaratnya adalah
pengejawantahan dari cikal bakal kesatuan kepolisian di Indonesia, yaitu
Jayengsekar.
Dahulu, pada masa tahun 1880an
ketika Hindia Belanda dipimpin Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, orang
orang kaya dan terhormat berhimpun untuk menyewa sepasukan orang terlatih untuk
menjaga badan, harta dan kepentingan mereka. Perhimpunan itu diakomodir oleh
pemerintah kolonial, dengan merekrut sekelompok orang professional dan dilatih
kemiliteran, dengan tungganan kuda pilihan. Anggotanya kebanyakan diambil dari
resimen pasukan khusus dari kraton Mataram, di rekrut dan dipekerjakan untuk
kepentingan pemerintah kolonial. Maka terbentuklah Jayengsekar yang tugas
pokoknya membela kepentingan sang juragan kaya dan terhormat tapi dibawah panji
pemerintahan kolonial. Anggota pasukan Jayengsekar adalah lelaki pribumi gagah,
berseragam beludru merah, dengan sepatu dan topi kulit, pedang dipinggang,
bedil di sandang, menunggang kuda sehat dengan bulu punggungnya yang mengkilap.
Pasti gagah sekali! Polisi nguing nguing di kemacetan jalan tol itu nampak
sebagai agen agen Jayengsekar yang mengendarai kuda bermesin dengan gagahnya,
dan menghardik siapa saja yang merintangi kemewahan tuannya.
Tetapi patut juga berterimakasih kepada
pejabat dan polisinya yang menyela kemacetan, supaya tidak sepenuhnya merasa
sebal dan mengumpat dalam hati. Berterimakasih karena sedikit banyak pengalaman
dan endapan pemikiran itu membawa ke suatu persaan tidak asing dalam kepulangan
ke Jakarta lagi. Itulah bagian dari kesemrawutan yang menjadi salah satu warna
Jakarta sejak bertahun tahun silam.
Hm, Jakarta ini memang luar biasa
istimewa, dimana banyak orang akan merasa tidak cocok untuk menjadi bagiannya.
-
To be
continued –
Gempol 181002