Wednesday, February 24, 2016

Sengaja Disleksia

Sudah bukan menjadi pengetahuan baru bahwa setiap hubungan antar manusia akan mengalami pasang surutnya, kencang dan renggangnya sendiri dengan sebab akibat yang bervariasi. Terkadang bahkan diluar pemikiran logika apa yang menjadi penyebab dua orang bisa begitu akrab dan pada momen lainnya dua orang yang akrab itu perlahan atau tiba tiba menjadi asing.

Suami istri bisa berpisah dalam bentuk perceraian, padahal tekad menjadi suami istri justru bertentangan dengan perceraian itu sendiri. Ketidak cocokan yang dijadikan alasan bisa menjadi bemper alasan, mengesampingkan kepentingan lain yang lebih besar; anak misalnya. Ketika perceraian terjadi maka terciptalah dua manusia asing baru. Entah keduanya atau salah satunya telah menemukan dunia ideal diluar perkawinan yang mereka bina dengan awalan penuh perayaan. Penyebabnyapun bukan sekedar keinginan, karena pasti telah didahului oleh konflik, percekcokan yang kemudian mencetuskan ide peceraian. Dalam perceraian pasti ada pihak yang merasa menang dan ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi jika kita jeli, korban yang sebenarnya adalah anak anak yang telah terlanjur lahir dari perkawinan tersebut. Betapa egoisnya orang tua yang bercerai karena arogansi pribadi dan tidak mempertimbangkan kebutuhan psikologis anak. Sedangkan keadilan kepada anak anak, dijustifikasi dengan kebutuhan materi yang bakal terpenuhi.

Kemudian orang pacaran. Semenggebu gebu apapun rindu, sedahsyat apapun perasaan cinta asmara yang menggilakan, maka waktu akan memudarkannya juga, berubah menjadi hari hari yang biasa. Penghargaan dan pemujaan akan bergeser kualitasnya, skala prioritas akan pula turut bergerak mengikuti perkembangan keadaan. Semakin bertumbuhnya waktu, orang orang baru akan datang dalam pergaulan. Orang orang baru yang terkadang ternyata dirasa lebih memesona dari dia yang sudah ada sebelumnya. Asmara yang meluap luap, pemujaan yang berlebih lebihan yang dulu menggilakan telah menguap seolah lupa. Dalam tahap yang kritis, hubungan pacaranpun bisa berakhir dengan status putus, tak lagi berpacaran tinggal menyandang gelar sebagai mantan.

Selanjutnya adalah teman. Teman yang sebenar benarnya teman adalah hubungan yang tumbuh bukan karen apa yang terlihat tetapi apa yang dirasa. Segala bentuk hubungan khsusus dua manusia didasari atau paling tidak diawali dengan pertemanan, bukan? Konon teman yang baik adalah titisan malaikat yang akan menjaga kita dari keadaan buruk yang mungkin terjadi. Menguatkan hati dan kaki kita ketika keadaan melemahkan, dan menjunjung tinggi itikad baik dalam setiap kesempatan. Tenggang rasa menjadi kunci sedangkan komunikasi yang tidak berlebihan tanpa sadar akan mengikat dua pribadi dalam bentuk yang kuat. Akan tetapi, waktu juga akan menentukan akhirnya. Sebagian pertemanan berakhir tragis dalam bentuk permusuhan, sebagian lagi tetap ada meskipun hanya tinggal dalam kenangan.

Yang lebih menarik dari fenomena biasa tentang berpisahnya dua orang yang sebelumnya terikat hati adalah cara cara mengakhirinya. Muslihat dan tipu daya kadang digunakan hanya untuk menyatakan maksud meninggalkan. Apalagi jika itu terjadi oleh adanya godaan baru yang lebih menjanjikan. Musuh manusia adalah kebosanan, dan terkadang orang bisa bosan berinteraksi intensif dengan seseorang lainnya. Demi menjaga persaan maupun atas nama etika kemanusiaan, maka strategi culas kadang dimainkan. Yang paling umum dan sering terjadi adalah berpura pura lupa. Pura pura lupa cara membaca jalan pikiran partnernya. Itu namanya disleksia yang disengaja, dimana setelah sekian tahun berjalan bersama dan sama sama berada di halaman buku yang sama tiba tiba menyimpulkan pengakuan bahwa dia lupa caranya mengerti jalan pikiran dan sikap partnernya. Sikap tiba tiba seperti itu dapat menimbulkan kebingungan dan kekecewaan, terkadang malahan kemarahan. Tidak dipungkiri memang , tidak ada satupun manusia yang bisa menyelami jalan pikiran orang lain  apalagi dapat membaca isi hati orang lain. Tetapi interaksi istimewa bertahun tahun pasti akan menciptakan intuisi dari kedua orang tersebut yang tanpa sadar terbentuk dalam sebuah jalinan telepati. Jadi ketika seseorang yang begitu dekat dan hidup dihati bertahun tahun, seolah telah manjadi satu bagian dari kehidupan biasa sehari hari tiba tiba menyatakan bahwa dia tidak memahami apa yang kita rasa, sesungguhnya itu adalah disleksia yang disengaja. Kebohongan memang dipraktekkan tanpa perasaan!

Kesengajaan untuk lupa cara membaca perasaan hati partnernya sama saja mengabaikan tenggang rasa yang selama ini sudah ada dan membentuk semacam perekat tak terlihat bagi dua jiwa. Ketika sengaja disleksia dilancarkan sebagai strategi, sesunggunya mudah saja menyimpulkan keadaan bahwa sebetulnya hubungan istimewa itu sudah tidak lagi istimewa. Penjagaan dan penghargaan yang begitu tinggi selama ini menjadi seolah olah tidak berarti. Sengaja disleksia dalah tindakan yang sangat menyakiti dan dapat membalikkan keadaan yang harmonis menjadi antagonis bahkan terkadang melahirkan dendam. Sungguh kasihan bagi mereka yang diabaikan begitu saja dengan sengaja hanya karena datangnya fase baru di dunia baru yang tersembunyi.

Nasehat saya untuk mereka yang teraniaya oleh sikap sengaja disleksia ini adalah, berhentilah menjerit, berhentilah meratap, berhentilah memvisualisasikan perihnya  perasaan dalam rangkaian kata kata. Terimalah sakit hati sebagai sakit yang harus terjadi. Sebab, sebanyak apapun ekspresi dan visualisasi perasaan hati, sudah samasekali tidak ada arti. Dia sudah pura pura lupa membaca perasaan hati kekasihnya. Maka segala yang tertulis dengan penuh perasaan akan terbaca tanpa perasaan.


Rungkut 160224