Thursday, January 19, 2006

Air mata

Air mata, adalah getah dari ranting jiwa yang patah oleh pristiwa, sempal karena dicabik paksa, terluka. Banjir bandang, tertahan oleh selaput tipis yang melingkupi kornea dan juga aturan kepatutan menempatkan diri. Air mata terus mendesak menuntut pembebasanya, sedangkan telinga hati hanya punya suara arus nafas dan raungan panjang kesakitan didalam kebisuan. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mengutuk kenyataan, menyaksikan dendam berpesta pora mengobral birahinya, untuk berkembang biak dan beranak pinak, menjadi mutan dijiwa.

Tangis kepedihan adalah manivestasi dari pengebirian rasa ikhlas dari bathin yang dalam. Dia menterjemahkan ribuan pisau silet yang berterbangan mengamuk dan menyambar dinding dinding ego, ketika badai bersimaharaja lela dalam hati. Sangat sunyi terasa dalam kehidupan bathin, sendirian gemetaran menentang segala yang datang menyerang. Menangis adalah perlawanan yang maha diam, maha damai karena tidak menimbulkan dampak sakit kepada individu lain, kecuali simpati barangkali. A shoulder to cry on – barangkali secara impulsif dianggap yang paling tepat sebagai pendampingan, penguatan langkah kaki yang goyah bahkan berhenti linglung. Dan, a shoulder to cry on tetaplah a shoulder, sebuah organ yang berdiri sendiri tanpa berafiliasi dengan dunia jiwa.

Air mata melukiskan kepedihan yang maha dalam, penderitaan bathin yang maha hebat, berputar berpendaran tanpa format interval yang baku, semau gue! Dia bisa datang ketika kita sedang berjalan, ketika kita sedang berbicara bahkan ketika raga sedang tertidur. Inilah penjajahan yang sempurna oleh iblis, yang menyebabkan penderitaan bagi hati. Penderitaan, ya zat mengerikan yang hanya ada dalam alam fikiran dan menggerogoti hampir semua aspek penyubur berlangsungnya kehidupan duniawi. Terjajah oleh pengalaman tentang kezaliman orang lain, dan kerasnya pemberontakan yang dilakukan logika melahirkan penderitaan yang tak terlihat oleh siapapun, dan tak terbagi dengan siapapun, menjadi hak kepemilikan pribadi yang mutlak.

Menangis, menjabarkan ekspresi mengasihani diri yang merasa tidak layak untuk menerima penderitaan, ketika semua upaya banding dan pembelaan telah patah oleh kenyataan yang harus ditelan mentah. Inilah konskwensi dari pilihan diri untuk menjadi manusia yang berusaha menempatkan diri sebagai manusia sebagai kewajiban, seperti telah disepakati dulu ketika kita lahir telanjang dari rahim bunda. Penistaan bathiniahlah yang menjadi pangkal dari segala bentuk penderitaan yang terjadi. Nurani memprotes tanpa perlawanan, menjalaninya seolah akhir dari kehidupan.

Teman hati yang datang dari intisari simpati, mengulurkan bahu dan tangan tanda peduli, menyaksikan diri berkelahi dan menghitung setiap gores luka yang ditimbulkan, dan tetap menyemangati untuk sekedar bertahan, dan berharap badai kan reda, segera. Menjadi suara pemandu, ketika langkah tersuruk dikegelapan mata hati….


Blankspot cubicle, January 18, 2006