Monday, October 10, 2005

Utopia


Tuhan mencipatakan tangan melengkapi fikiran, dan Tuhan menciptakan hati sebagai ukuran kepintaran produk fikiran. Kesederhanaan menjadi barang langka ketika zaman berganti jahiliyah, merampas masa dimana manusia menjadi mahluk paling buas dengan taring panjang bernama logika. Tajam mencabik apa saja, siapa saja. Lelah hati berharap nurani menjadi raja atas umat manusia maka mimpilah menjadi pengingkaran yang maha sempurna.

Di satu sudut bumi dalam naungan langit utopia subur menggoda. Pada lereng gunung berhawa sejuk sebuah rumah kayu dengan pendapa dan buritan pada arsitekturnya, berdinding tinggi dengan jendela jendela. Mungil kokoh tanpa warna. Berpagar budi pekerti rumah itu hangat oleh cinta yang damai penghuninya.

Sebidang tanah menghiasi belakang pekarangan, tangan karunia Tuhan mengadakan dari ketiadaan, membuat untuk dipergunakan, menyemai untuk memetik panenan, memakan apa yang ditanam. Tak ada yang patut dirisaukan.

Tetangga adalah sahabat, dimana rasa hormat menjadi aturan kepatutan dan nurani adalah penimang sikap dengan privacy sebagai hak yang terhormati. Wangi bunga rumput melahirkan inspirasi atas karya cipta dari hati juga pada nyenyanyian sepi tercipta filsafat filsafat yang tak pernah terajarkan tentang alam.

Kekerasan bukan budaya, tabu dilakukan, juga prasangka mati oleh ketulusan yang sebenarnya. Kebencian dan keculasanpun tak punya ruang tumbuh pada jiwa jiwa yang hanya tahu bersyukur dan merendah hati, menempatkan Tuhan sebagai pengawal nurani; ajaran paling hakiki bagi setiapi insan.

Rumah, dimana segala bermuara, dimana cinta beristana. Hanya mencintai dan dicintai sepenuh hati sepenuh hidup denga ekspresi tertinggi, tanpa pura pura. Eksotisme alam telah mematri cinta dua hati dalam rumah kayu berpagar budi pekerti. Sampai raga rebah disejuk tanah berdebu sisa lumpur musim hujan dulu, tenang melepas ruh ke perjalanan yang sesungguhnya. Tak ada tangis kecuali senyuman, sebab kematian hanya siklus kehidupan mahluk Tuhan…




Kost Simatupang, menjelang sahur 10 Oktober 2005

Dimana Langitku berada?


:Langit Senja

Ngit,
Aku merindukan gelisahmu yang tanpa malu malu. Aku merindukan birumu yang mengundang hati untuk bernyanyi, aku rindukan lembayungmu yang membawa cinta mengharubiru. Engkau telah sempurna berlari dan bersembunyi dari hidupku, ataukah aku yang terkurung ruang sempit peradaban?

Ngit,
Aku tetap kupu kupu itu, murid atas ajaran absurditas hidup dan engkau selalu jadi guru nuraniku. Aku yang pernah jadi sweet june-mu yang menari dengan ekspresi tertinggi antara batas nyata dan khayal, batas hati dan rasionalitas. Engkau yang mengajarkan aku untuk mencintai dengan kesempurnaan dan mengesampingkan segala bentuk labirin tradisi. Akulah kupu kupu yang pernah jadi ephitapmu, yang tetap mengembara diantara bunga rumput dan ilalang liar di sabana kosmos maya. Masih ingatkah setelah musim demi musim lewat tanpa kata kata?

Ngit,
Aku masih kabut putih yang menjadi bukan apa apa atas kemegahan anggunanmu. Barangkali sekejap lenyap dalam hempasan keperkasaan kuasamu, mati tertebas pedang rasionalitas yang erat engkau genggam ditangan kanan? Tetapi, bathinku teguh meyakini, engku tetaplah langit yang mengetahui segala yang tersembunyi, juga kupu kupu dan kabut putih milikmu dulu.

Ngit,
Aku tinggal punya rindu yang membenalu….padamu….


Kost Simatupang, 10 Oktober 2005

Percakapan Yang Menenteramkan

: nonon

Di sabana maya sebutir debu jiwa mengelana meratapi penghuninya, pada suatu ketika saat prasangka lenyap diserap bumi yang terpijak kaki. Berpendaran dari sisi ke sisi ruh, mengetuk nurani demi nurani dengan kehendak yang polos mengharap harap. Dia mengelana laksana kupu kupu, senyap dalam pengembaraanya yang sendirian kehilangan rantai metamorfosa kodrati.

Langkah terhenti pada teduh berwarna ragu pada sisi sisinya, gemetar memasuki alam hayali dengan pedang bernama rasionalitas terhunus lemah. Mengetuk kaca jendelanya ketika embun bersiap memburamkannya. Pada rongga jiwa yang teduh itu ia pasrahkan catatan pengembaraan tertulis dengan darah sisa peperangan panjang melawan fikiran; kepintaran yang menjajah hati atas ribuan kekecewaan.

“Nafas dan darah yang mengaliri setiap millimeter jalinan tubuh, yang memompakan segenap energi kesetiap penjuru dalam rangkaian rumit urat dan syaraf adalah anugerah tertinggi bagi hidup, otak yang menglirkan warna dalam dimensi bentuk adalah keajaiban yang hanya patut untuk disyukuri, teman baru…” ucapmu membunuh semua gelisah penyesalan, menghentikan letih upaya memunguti serpihan kenangan yang hancur berantakan. Kesombongan menghambur kelantai, belum siap dengan pujian!

Dari letih yang menelikung asa, mimpi tentang utopia mengalir bagai banjir. Satu tempat yang hanya berisi cinta, satu tempat dimana kematian mutlak milik sang alam. Katakan, tunjukkan dimana secuil tanah impian itu berada, dari semilyar tempat yang pernah engkau singgahi meski ia takkan sanggup mencari, setidaknya menyemayamkanya dalam mimpi jadi penghiburan mujarab ketika kegilaan siap dengan kemenangan.

Percakapan sebutir debu jiwa pada teduh berwarna ragu dalam kubus ruang maya menghamburkan ketenteraman tiba tiba. Betapa, utopia itu hadir dalam hati dan jiwa tanpa hukum materi yang angkuh membentengi. Tali temali aturan budaya bumi manusia yang terperangkap ruang bentuk dan gengsi menjadi lumpuh dan mati, ketika hanya nurani dan jalan setapak fikiran menjadi bahasa percakapan. Pada realita, sebutir debu jiwa bukanlah apa apa selain pengembara tanpa harga dan bentuk hakiki…

Terimakasih teman baru, untuk percakapanmu yang menenteramkan hati…

Kost Simatupang, 09 Oktober 2005, 2355hrs.