Tuesday, June 13, 2006

Benalu

Kulit buahnya yang rapuh koyak oleh cabikan paruh burung pemangsan, terbawa melanglang lalu bijinya yang lengket didamparkan begitu saja disebuah dahan pohon kehidupan yang yang tumbuh di alam jiwa. Dahan tumpangan menjadi sandaran yang menyamankan untuk memulai satu kehidupan baru diatas kehidupan yang sedang ada, menjadi wahana bagi pengembang biakan cita cita generasi lanjutan. Biji benalu yang tak berdaya, kecil dan hina kini mendapat sandaran kokoh batang pohon kehidupan, yang menyerap dan menyimpan puluhan tahun pengalaman dalam setiap jalinan batang kayu, kulit dan akarnya.

Sang pohon yang hanya tahu cara menjadi pohon, menyerap intisari makanan sebanyak yang dibutuhkan dan terus menjulang ujung ujung rantingnya membacai langit pengetahuan. Klorofilnya mencerna setiap sari makanan jadi kekuatan, tajam akarnya kokoh menjaga tetap tegak berdiri menjadi prasasti. Sesekali pejalan dan petualang bersinggahan dibawah rimbunya, tak menghiraukan betapa ia menjadi saksi atas begitu banyak kejadian. Dari lembar lembar daun pengalaman berisi catatan penting tentang kebajikan yang gugur satu demi satu ditimpas musim ia memupuk diri.

Syahdan sang alam menitiskan ruh kehidupan kepada sang biji benalu, menggubahnya menjadi tumbuhan mungil tak berarti yang melekat di kekar dahan sang pohon. Atas kebaikan hati sang pohon semata si benalu memiliki kekuatan membangun kehidupanya sendiri perlahan dengan kepastian menyusupkan akar akar tajam tuntutan kepada lumbung enzim di dahan kekar. Ia lalu mentahbiskan diri sebagai pelaku simbiosis parasitisme; melakukan sabotase sari makanan yang yang dihasilkan sang pohon demi tumbuh kembang kehidupanya yang sangat eksklusif milik si benalu itu sendiri. Lalu ia menjadi benalu yang tak punya malu.

Timbunan waktu lalu mengantar sang benalu menjadi si sombong, merasa berdaya perkasa bukan atas prakarsa siapa siapa. Seluruh penampilanya mencerminkan sifat parasit dengan ciri dan bentuk segalanya yang serba berbeda dari sang pohon pemilik kehidupanya yang sejati. Benalu tidaklah lupa dari mana ia didamparkan dan berasal, ia hanya ingkar terhadap masa lalunya yang tak terlacak oleh jejak sejarah. Iapun hanya tahu cara menjadi benalu, menghisap hidup mahluk lain yang dengan dermawanya memberikan kesempatan kehidupan. Kesombonganya mengklaim diri menjadi mahluk tersendiri, terpisah dari induk pohon yang digerogoti. Benalu tumbuh gagah tanpa mengenal perih maupun lelah. Ia bersuka cita atas kuasa cuma cuma, bahkan empatipun tak dimilikinya kecuali sebanyak mungkin menuntut apapun yang tersedia untuk menjadikan dirinya lebih dari sekedar batang pohon kecil yang hidup pada dahan tumpangan yang kemudian menjadi jajahan.

Dengan jatidiri barunya benalu meracuni kesempatan sang pohon untuk mencari kesejatian. Dahanya menjadi kurus tak terurus, bukti tak terjaganya suplai keniscayaan yang semestinya. Kematian yang perlahan bagi sang dahan sedang dijalani, dan tergantikan kehidupan subur bagi benalu pemakan hati. Benalu hidup dalam kehidupan sang pohon, menjadi pohon dengan karakteristik terpisah diatas pohon, berjaya dengan menindas rasa sebagai bahan bakar pelangsung keangkuhanya. Dan sang pohon ia telah ikrarkan sumpah: demi matahari terbit ia tidak akan berkelahi lagi memprotes keberadaan benalu yang menempel di fikiranya.


Gempol, 060613