Thursday, November 02, 2006

Farewell


Maka tiba waktunya angin membawanya pergi. Menghembus layar perahunya yang bolong sana sini, menuju ketidak mengertian arah sekelabu keyakinan yang dipaksakanya sendiri. Kakinya yang pincang telah lama menyerah, pada layar perahu nasib pemeberian dari perjalanan masalalu.

Kemuliaanya tertutup oleh sebongkah bangkai rasa, yang mati terkhianati oleh bayanganya sendiri, bahkan oleh separuh otot dan ruhnya sendiri. Kebanggaanya ikut mati, terkubur dangkal di pemakaman eksistensi. Ia kini jadi wasit tanpa fungsi, tanpa peran hanya penonton yagn terjebak jarak terdekat dari pertunjukan besar dalam kerangkeng tempat para korban mempertaruhkan segala pengabdian bagi hidup yang di impikan.

Kini tiba saatnya arah menciptakan jarak yang menjauh, menceraikan tawa bersama dari cubicle tanpa muatan kecuali kerikuhan. Tangan dilambaikan sebagai basa basi terakhir sebelum cemas menyergap di sepuluh meter pertama perjalanan babak baru. Puja bakti diharapkan sedangkan otak telah hancur lebur berantakan. Apa yang terpecah tak bisa disatukan lagi di sini. Begitulah aturan dunia, adat dunia…

Selamat tingal ladang mimpi, pernah terpanen buah dari bertahun tahun harap yang dulu tersemaikan dengan optimisme, terpupuk oleh keringat dan tersiangi degan nyali yang kini mengkristal menjadi setengah lembar surat keterangan berisi catatan perjalanan.

Permisi, tanya harus tertaburkan selama pergi menuju tanah baru lain lagi. Terimakasih kepada kemurahan hatimu yang telah sempat memberiku alasan atas kebanggaan yang menjadi kesemestian seorang manusia…


Gempol, 061102