Saturday, March 11, 2017

Jalan Pertapa


 

 

 
Kata seorang kenalan, ketika seseorang mati karena kecelakaan, maka jasadnya akan terbujur kaku dan perlahan membusuk sedangkan ruhnya menunggui sejenak untuk lalu menghilang. Terbang ke langit dan tak dapat lagi ditemukan di kehidupan. Sang ruh lalu menyatu dengan udara, menyaksikan dalam diam cerita cerita tentang si mendiang semasa berjaya; lengkap dengan bumbu bumbu cerita yang mendramatisirnya. Tetapi sang ruh tak lagi dapat mempengaruhi pikiran manusia hidup, apalagi merubah keadaan. Tentu ia menjadi semacam saksi bisu yang memendam semua perasaannya dengan sepenuhnya tidak berdaya. Sang Kenalan juga menceritakan bagaimana menderitanya  si ruh karena penyesalan yang membebani semasa hidupnya. Penyesalan terbesar bagi orang mati adalah tidak memanfaatkan waktu, daya dan kekuasaannya untuk kebaikan. Sesungguhnya, manusia adalah mahluk Tuhan yang paling dapat menjadi bengis dan keji, melebihi kejahatan semua jenis mahlukNya. Bahkan terhadap orang alim dan baik semasa hidupnyapun, si ruh tetap menyesali karena masih banyak perbuatan baik di dunia yang tak sempat dikerjakannya.

Cerita sang kenalan seperti menterjemahkan sebuah perceraian antara kehidupan dan kematian, menggambarkan sebisa mungkin inti residu dari kematian itu sendiri. Sesuatu yang hidup sekian lama tentu meninggalkan jejak kisah yang panjang, beranak pinak menjadi cerita cerita peradaban. Rahasia rahasia tercipta, sebagian tersimpan tetap menjadi rahasia. Kemisteriannya akan abadi dan hanya hidup dalam ingatan si empunya kisah rahasia. Jika sebuah kematian layak ditangisi, hal itu semata mata karena kesedihan mendalam atas putusnya rantai riwayat. Putus dan yang tak mungkin akan tersambung lagi meskipun dengan cerita cerita surgawi sekalipun, meskipun dengan dongeng dongen tentang kegaiban dan keajaiban. Mati adalah mati, berhentinya sebuah siklus dan yang tidak akan terulang lagi.

Bagi sebagian orang, kematian justru diharapkan. Aneh memang, ketika Tuhan menganugerahkan kehidupan yang begitu sempurna dan indahnya, si penerima pemberian justru tidak mengiginkannya. Demikianlah sifat manusia, yang terkadang dihadapkan kepada persoalan dunia yang demikian liat sehingga melemahkan seluruh keyakinan bahkan mengikis dengan deras perasaan bersyukurnya. Dunia menjadi tempat yang tragis, dikendalikan oleh pengusasa penguasa –yang juga manusia – yang berhati bengis. Di dunia modern yang laju peradabanya dikendalikan oleh kapital, nilai manusia hanya diukur berdasarkan angka angka. Ajaran luhur bahwa kewajiban manusia adalah memanusiakan manusia (Multatuli) telah luntur menjadi serpihan kata tanpa makna bagi kaum pemuja kuasa. Ajaran kebaikan yang pernah diterima sebagai jatidiri terlupakan hanya demi predikat baru ciptaan penjajah bernama profesionalisme salah kaprah.

Sebagian dari kita terkadang terlalu bangga menjadi bangsa jajahan. Terlalu mudah mengelu elukan orang yang samasekali asing hanya karena dia didapuk sebagai pimpinan. Budaya yang terbentuk hanya bertujuan untuk menyenangkan sang pimpinan. Pimpinan yang belum tentu menjadi tauladan, tetapi diagungkan sebagai yang menentukan kehidupan. Kebiasaan dan tradisi kerja seperti itu hanya mengajarkan orang untuk memandang ke atas, tanpa memperhatikan pijakan. Orang orang pada kelas terendah cukup bahagia dengan dapat mengekspresikan pemujaanya kepada pimpinannya, sedangkan mereka pada level menengah tiba tiba menjadi raja raja kecil di areanya masing masing dengan tingkat kebengisannya masing masing. Semua menjalankan system dengan ambisi menguasai, ambisi mengkudai orang lain, menyenangkan pimpinan dan mempromosi diri sendiri. Tanpa disadari, lingkungan politik kerja seperti itu menciptakan manusia manusia egois dan kebal kemanusiaan.

Ketika seorang manusia yang bersikeras menjadi manusia biasa dengan sifat kemanusiaannya berhadapan dengan system feudal modern, maka ia kan menjadi manusia kerdil diantara para raksasa pengusa. Para penguasa yang menentuka segala sesuatu atas orang lain dalm bentuk angka. Menghadapi gempuran demi gempuran ketidak adilan dengan ketidak berdayaan terkadang melahirkan pikiran untuk berhenti melawan dan mencari jalan damai yang tak melukai siapapun. Jalan pertapa, dimana tak seorangpun manusia dapat bersinggungan didalam simpang pikiran maupun ambisi pribadinya. Sedangkan bagi yang mampu untuk tetap berdiri ketika badai dan taufan keangkuhan menerpa berulang ulang hanya ada dua jenis manusia yaitu mereka yang memang memiliki keikhlasan dalam hati dan pikirannya dan mereka yang memang tidak memiliki pilihan lain oleh sebab tuntutan yang mengharuskan demikian. Kedua duanya hanya komponen dari sebuah system yang tak menghargai kemanusiaan dengan manusiawi, yang menjalankan roda kekuasaan dengan tanpa menggunakan konsep kemanusiaan.


Jalan pertapa hanyalah berisi keintiman terhadap dzat pencipta, dengan merendahkan hati serendah rendahnya bahkan lebih rendah dari pada tanah. Hidup sang pertapa tidak ada lain kecuali menghamba kepada kemanusiaan dengan keikhlasan sepenuhnya. Mengupayakan semua tindakan demi manfaat untuk orang lain disekitarnya. Jalan pertapa tak mengenal ambisi duniawi, hanya sekedar kebutuhan naluriah semata mata. Diri sendiri menjadi nomor dua karena yang utama adalah diri orang lain disektarnya. Jalan pertapa adalah pilihan tersulit sebagai pengakuan atas kekalahan terhadap laju peradaban yang mengutamakan grafik serta angka.

Pun demikian, memilih jalan pertapa akan tetap  mengihidupkan kenangan akan bengisnya manusia terhadap manusia lainnya, sebagai kisah empiris yang akan tertinggal menjadi ruh.

 

Rewwin, 170310