Thursday, August 03, 2006

Pagi di tanah hitam

Membuka mata lagi pagi ini setelah waker menjerit jerit minta dikasihani, mata sembab oleh tangis semalam, hati pengab oleh mimpi buruk yang rajin datang memberi jawaban atas kebingungan logika yang tak henti bertanya tentang kejadian ciptaan para pendurhaka. Hawa dingin melilit tulang mengikat kaki menjadi enggan untuk melangkah menapaki tangga hari, merobek selembar lagi kalender tanpa angka. Tersisa puluhan kata kata, sisa obrolan bersama kesunyian semalam, seperti ratusan tahun silam, selalu tenggelam bersama berhentinya embun yang luruh di atap kamar.

Selamat pagi wahai tanah basah Papua, kuhirup lagi wangi lumpurmu yang menyeruak dari balik semak semak, menjadi bahan bakar seadanya bagi semangat yang tak lagi perkasa. Di tenggara matahari layu ditikam gerimis, sinarnya menjadi kelabu mempertontonkan gunung batu tak berpuncak; melulu berisi kabut tebal. Satwa hutan ceria menyambut terang, bercicit dan bernyanyi memanggil sang matahari yang kusut dipermainkan ketidak pastian musim.

Kaki lemah melangkah menjejak tanah, bersiap menjelajahi pagi dalam kehampaan rencana. Ikuti saja, ikuti saja setiap lembah dan medan di hadapan, tak peduli jurang atau entah tanjakan. Tak patut mengimpi tentang jalan setapak dengan rambu rambu penunjuk jalan, semua tersimpan dalam rahasia masa depan. Berikan yang terbaik bagi setiap inci kehidupan dalam perjalanan, tak perlu catatan maupun peta untuk sampai di tujuan. Anggap tujuan tak pernah ada, telah hilang ditelan separuh bumi yang runtuh jadi debu sejak satu setengah tahun silam. Biar saja badan telanjang sebab diri tak terdaftar dimanapun dimuka bumi. Identitas cuma kemewahan milik para pemegang tombol kehidupan, memainkan peran kekuasaan atas nama materi.

Gerimis yang menyapa ubun ubun mencoba menahan sesak dendam, memenjaranya agar tak berloncatan dari mulut berujud ludah maupun sumpah serapah tanpa tujuan. Semua dipendam, arloji di tangan kiri berhenti berdetak sejak puluhan tahun silam. Sebentar lagi mataharipun akan garang menikam, dan keringat membanjir membasahi tubuh pertanda energi terlontar ke udara entah bermakna entah sia sia. Seperti yang sudah sudah, hidup akan berjalan dalam hitungan musim yang tidak menentu, datang sesukanya dan menyuguhkan kecewa bagi siapa saja yang berharap terlalu banyak tentang datangnya kepastian dari ketidak pastian yang semestinya.

Di sini pagi bukanlah hari baru, ia adalah penjabaran dari ribuan hari berisi kesunyian dan kehampaan yang harus dijalani dengan setenghah hati yang robek robek dilumat kedurjanaan. Ia pun bukan awal dari lembar kosong bernama kisah sejarah, melainkan rutinitas berazas kewajiban, keharusan yang tak berisi dorongan hati. Entah akan berapa banyak lagi luka yang akan dipanen hari ini, entah berpa lusin tawa yang akan dipetik nanti. Biarlah saja, jalani saja kewajiban menjadi seorang manusia. Keberadaan disinipun telah kehilangan muara tumpahan, alamat pengabdian. Semua berjalan atas dasar siklus rutin semata, tanpa pola. Nilai perjuangan tak lagi memiliki makna apa lagi hakekat dari pengharapan. Manusia manusia buas berkeliling menengadah mengharapkan diri remuk jatuh ke tanah tak berdaya untuk diseret sepanjang perjalanan hidupnya yang dinamai takdir tanpa menimbang beban rasa.

Pagi di Papua, kerikil di tanah basah sepanjang jalan tetap tabah dalam eksistensi diri mereka. Mereka tak pernah mengharap menjadi sebongkah batu maupun segumpal lumpur, tetap menjalani kodratnya di hamparan jalan tambang. Menyembunyikan keluhan dan menjadikanya santapan bagi nafas, kehidupan fikiran dan bahkan mimpi yang sempat singgah malam nanti jika raga letih tergolek sendiri di di tempat yang sama; jauh, terpencil dan sendirian…

Kuala Kencana – Papua 060803