Friday, October 19, 2007

Catatan Lama

Serak sumbang suara teriakkan letih jiwa malang yang sendirain nun jauh di kota asing, membangun harapan dari puing harapan lainya yang hampir tak kentara. Ternyata ia hanya boleh mengikuti irama hidup seperti apa yang telah di takdirkan tanpa ia ketahui ujung dan muaranya. Ia berbekal lugu dan semangat, mencoba mengganjal cerita hidup yang lain dari kebanyakan. Diyakininya harapan meski iri dan perasaan terbuang kerap kali memojokkanya di tempat penuh api dan dendam yang berkarat; kemiskinan.

Ia mengenal gadis menanamkan cinta suci dihatinya meski seperti memburu angin. Serentet cerita duka menggunung, kerinduan akan kampung halamannya mencatat kesendirianya yang teramat sepi dan berat. Iat tak begitu pintar mengakali hidup sebab terbentuk oleh kesahajaan dan sifat alam yang membumi fana.

Di negeri perburuan ia temukan arti hidup yang dipertahankan dengan ototnya yang lemah. Ia terbentuk menjadi seorang lelaki kecil dan tumbuh tua tanpa sempat menjadi muda. Hari hari yang tercatat hanyalah ekspresi jiwanya yang tak pernah berhenti bercakap dengan keadaaan dan keterbatasan yang nyata. Bumi aneh dan garang yang diakrabinya ternyata membawa banyak pelajaran dan medidiknya untuk tetap kokoh berdiri di kakinya sendiri yang mungil.dan tetap berpijak pada tenggang rasa yang kekal.

Cerita tentang ia yang terkucil dan sengsara, tak banyak orang mendengarnya. Sebab ia enggan memperdengarkannya kecuali menghayatinya dengan banyak tanya dan gejolak muda. Begitu banyak bangkai hari hari sepi yang pernah ia lewati, begitu bahyak episode getir dan kusam yang harus ia jalani. Tangannya melepuh oleh tiang besi pembobok bumi, dan kakinya berkapal oleh jarak yang seperti tak berujung. Sepanjang jalan ia sisir rezeki. Begitu jauh dan lengang pematang yang harus ia tempuh sendirian untuk menemukan hidup yang hilang, hidup hilang yang perlahan menjadi impian yang ia kejar diam diam.

Tanpa sadar ia menjadi bocah tua yang menciptakan dunianya sendiri seperti apa yang diingini di masa kanak kanak dulu. Ia temukan juga pelajaran berharga tentang tenggang rasa, iri, benci, kasih saying dani nilai luhur persamaan dan interaksi sesama. Iam nomanden, membuka diary yang ia simpan teramat rapi buat cerita anak cucu dan sahabat kelak…

Gang Jempiring 16 B – Denpasar Desember 1992

Tuesday, October 09, 2007

Sembilan Oktober












: Chronicles

Tiap orang yang hidup pernah dilahirkan disebuah hitungan hari dalam kerucut bulan dan tahun tentu. Bahwa segala yang hidup dihasilkan dari ketiadaan, dilahirkan melalui proses beranak pinak.

Sembilan Oktober melahirkan banyak bayi bayi kehidupan baru. Bayi bayi yang kemudian tumbuh di ruh tiap jiwa, membawa kisah hidupnya sendiri sendiri serta melakonkan perannya sendiri sendiri, masing masing. Sembilan Oktober melahirkan juga sebuah dunia temuan baru, tak bertuan dan teduh menenangkan. Dunia Tak Bertuan. Dimana kemudian dua hati yang berjauhan dipertemukan, dileburkan segala keterasingan dalam ketelanjangan nurani yang penuh. Peleburan yang melahirkan senyawa yang menghidupkan dunia tak bertuan itu dengan drama drama kehidupan penuh warna cinta cintaan. Begitulah jika dua hati bersenyawa.

Langit, udara, awan, matahari dan lumpur menjadi bernyawa. Luka yang menganga telah menemukan tabibnya. Tabib ajaib dari daratan seberang, permaisuri sang naga yang di punggungnya tersimpan cerita hitam, tentang cinta yang melukai, melumpuhkan dan menjadi beban. Dibawanya kian kemari dalam diam, memelihara iblis dalam setiap sudut pikiran. Senyawa mematikan jarak. Dua hati sebelah menyebelah, tertaut dalam tali kalbu sehingga menyatukan syaraf perasa. Dunia tak bertuanpun kemudian memiliki nyawa, pikiran dan impian. Dua hati menjelajah rimba perawan hanya berjalan tanpa tujuan, berharap menemukan serpihan demi serpihan kebahagiaan masa lalu yang terlanjur menjadi setan.

Dunia tak bertuan menjadi perlindungan, dari bengisnya hidup penuh kepura puraan. Dua hati dua cuilan puzzle, saling menemukan sisi dan bersinergi. Bahasa hanya dengan hati, sebab logika mengikut atas kehendak sang raja. Hatilah sang raja itu, yang juga sahabat sang logika. Sungguh dua kubu yang gemar saling menentang, memprotes bahkan terkadang berperang. Entah terbuat dari apa hati mereka, sehingga menjadi malaikat yang terluka. Luka menganga yang akan menjadi codetan berisi cerita melulu tentang kekalahan. Ya, kekalahan setelah memutuskan diri menjadi pahlawan yang kesiangan. Penjelajahan melahirkan mendung dan hujan tangis setiap kali kereta diberangkatkan dari stasiun tua yang itu itu juga. Pun terkadang menuntun menjadi musafir, menyusur jejak sang Musa; membelah laut membunuh jarak.

Sembilan Oktober kini telah berabad abad lewat. Pohon teduhan yang tertanam telah rindang mengakar kedasar bumi. Sepotong demi sepotong kisah telah terbagi, dalam setiap detik yang terlewati. Jauh menjelajah di rimba perawan dunia tak bertuan, tak juga lelah kaki mengangkah. Menjelma mereka, menjadi matahari dan embun pagi. Yang satu menghidupkan, dan yang satunya memberi kehidupan. Hingga saatnya logika kembali memberontak, menginginkan diri menjadi raja. Ada saatnya matahari turun dan embun yang bekerja, ada saatnya malam tiba seperti halnya pagi yang datang tiba tiba. Waktu menjadi penguasa, dimana memakasa tunduk atas kehendak memberi penghargaan yang layak bagi bumi manusia. Semoga amputasi tak akan menyebabkan mati, hanya jasad yang dipisahkan oleh tajamnya pisau peradaban. Adat istiadat rekaan manusia dengan maksud memberi pagar bagi emosi yang tak memiliki perintang. Menyerah pada logika yang gagah bermahkota kini, tunduk takluk melepas raga. Waktunya mengemas kenangan, sambil tersenyum tak dipaksakan. Dendam dan sakit hati tak dikenal disini. Keajaiban demi keajaiban tercatat jadi pelajaran, tersimpan rapi di almari kenangan. Menjadi pijar setiap kali gelap menyergap ingatan, harta berharga yang tak terwariskan.

Sembilan Oktober menjadi saksi, kisah cinta sepanjang abad antara embun dan matahari.


Gempol, 071009

Tuesday, October 02, 2007

Republik Pengemis

Ceritera dari Jakarta – part VI

Lebaran segera datang. Perayaan nasional segera digelar. Ritualnya mulai dari nuansa islami kental selama sebulan penuh bernama Ramadhan, diikuti berita tentang transportasi pulang mudik, sembako, dan jangan lupa; THR. Setiap orang mempersiapkan diri tidak perduli suku, agama, pekerjaan, maupun segala jenis perbedaanya, yang penting manusia. Semua seperti melipat gandakan kuantitas pendapatan pada waktu yang bersamaan secara nasional. Akibatnya bujet belanja membengkak, dan berefek pada pemenuhan kebutuhan yang meledak. Tiap tiap rumah tangga mulai menghitung angka potensial pengeluaran serta menaksir naksir berapa pendapatan setelah ditambah bonus atau THR.

THR diberikan sebagai bonus untuk membantu menunjang pengeluaran yang berlipat ganda itu. Dan mau tidak mau sang majikan rela untuk mengalokasikan pengeluaran ekstra yang pasti besar, dua kali lipat dari anggaran normal. Menjelang lebaran THR menjadi dewa paling didambakan oleh umat pekerja, umat pengharap.

Kemudian makna tunjangan itu menjadi bias, melebar kesana kemari setelah ternyata di alam kenyataan hidup manusia ide Tunjangan Hari Raya itu berubah makna menjadi kesempatan mengemis dengan cara yang elegan. Dari orang berseragam hingga yang mengaku sebagai anu, ini dan itu, institusi anu, dinas ini, kesatuan itu, atau apapun yang pantas untuk ditonjolkan sebagai nama untuk meminta THR! Pola pengemisan yang lebih memalukan dari pengemis konvensional yang biasa menampilkan mimik menghiba hiba agar dikasihani. Untuk pengemis intelektual, justru kekuatan dan keperkasaan anu ini itu yang dijadikan pelindung rasa malu. Sebuah pemerasan musiman dengan mekanisme menyeluruh yang sangat rapi dan “dimaklumi”. Setahun sekali kita menjadi pengemis berjamaah. Stempel berbunyi ‘pelit’ dan ‘dermawan’ segera beredar dimasyarakat, dalam alam fikiran yang tidak bisa tampak oleh mata manusia saking tidak nyatanya. Harum semerbak ‘uang ketupat’ bertebaran di angkasa raya, menyebar sampai ke pelosok negeri. Aromanya membuat banyak orang mabuk, sehingga sengaja menjebakkan diri dalam praktek korupsi, pemerasan maupun sekali lagi pengemisan musiman.

Konsep mengemis adalah meminta minta kesukarelaan orang lain untuk memberi materi. Menciptakan image diri bahwa ia adalah orang yang layak untuk dikasihani. Penampilan memelas serta eksploitasi ketidak sempurnaan fisik kerap menjadi jurus jitu penakluk belas kasihan. Lalu berkembang lagi, anak kecil menjadi komoditi handal untuk bisnis belas kasihan ini. Paradigma mengemis juga berkembang mengikuti zaman. Majunya peradaban ikut pula merubah pola mengemis zaman sekarang yaitu dengan unsur paksaan sekedarnya. Praktek pengemisan ini menggunakan teori teori intimidatif mutahir, untuk menciptakan terror kecil kepada calon dermawan. Serang anak kecil di perempatan Pasar Rebo dengan membawa botol bekas Yakult berisi sejumput beras menyanyi tidak jelas sambil memukul mukulkan si botol plastic bekas ke sisi pahanya, seolah olah menjadi musik pengiring nyanyiannya. Si kecil adalah hasil eksperimen penggabungan unsur mengemis dan mengamen, unsur meminta minta dan menghibur orang. Bisa dijamin bahwa tidak ada seorangpun yang terhibur dengan caranya mengmen dan menampilkan diri.

Tradisi meminta minta otomatis juga melahirkan dermawan dermawan musiman. Terlepas dari perkara terpaksa atau sukarela, seorang pengemis juga pada gilirannya akan menjadi dermawan pada gelembung dunia berikutnya. Bahkan si dermawan yang mengabulkan pintanyapun sebenarnya adalah pengemis juga pada level dan gayanya tersendiri. Jadi membingungkan, apakah momen lebaran sebenarnya momen menjadi dermawan atau pengemis. Atas nama kemuliaan hidup, tentu kita akan menyebutnya sebagai momen menjadi dermawan saja. Lebih aman, tidak ada yang memprotes bahkan hati kecil kita sendiri sekalipun. Ini adalah momen untuk menjadikan diri kita sinterklas musiman yang baik hati.

Selamat lebaran, Jakarta,
Selamat lebaran, Indonesia…!

Gempol, 070902