Monday, August 06, 2012

Buku Wajah


Sungguhlah tidak bijaksana mengukur kualitas sebuah buku hanya dari melihat dan membaca judul di sampulanya. Sebab inti sebuah buku terletak pada susunan huruf demi huruf yang tercantum pada lembar demi lembar halamannya. Dan, sebuah karya tulis yang hebat dan bermutu hanya bisa lahir dari penulis yang rajin mebaca buku. Mungkin sekedar referensi, atau bisa jadi sumber inspirasi. Dan selamanya esensi sebuah buku akan tetap menjadi misteri manakala lembar demi lembar halamannya tidak dibaca.

Berbeda dengan buku wajah, yang kemudian menjadi habitat dari hampir satu miliar manusia di dunia. Buku wajah menjadi panggung sandiwara raksasa dimana setiap orang bebas mengambil peran untuk berpura pura ataupun bersungguh sungguh menampilkan jatidirinya. Kepalsuan dan ketulusan dibatasi hanya oleh garis tipis yang mengaburkan warna antara dua abu abu; dunia bayang bayang dan alam wujud. Itulah sebabnya, sampul sampul dari buku wajah seluruhnya berisi suatu pertontonan dan keluhan. Kedua duanya memiliki makna magnetik pada simpati, dan simpati dapat ditunjukkan tanpa harus merasa bersimpati. Cukup icon gambar jempol.

Selebihnya dari dua macam model sampul buku tadi adalah tuntunan moral. Tuntunan moral yang lahir dari jiwa yang (bisa jadi) brengsek di dunia wujud, dengan serta merta menjadi filsuf maha bijak melebihi pertapa yang selama puluhan tahun hanya menghambakan diri kepada kemuliaan laku. Jelas bahwa sampul sampul dalam buku wajah tidak semuanya mewakili esensi atau isi yang terkandung didalam lembar demi lembar kisah sejarah, pengalaman bahkan tautan moralitas pemilik atau penulisnya. Seorang brengsek bisa tampil palsu menjadi ksatria alim, seperti halnya predator yang mengenakan jubah dan topeng pahlawan si buku wajah.

Semua orang bebas menipu dirinya sendiri sebab aturan peradaban yang dipergunakan hanya tertulis di dinding dinding awan tempat segala sesuatu berkelebat cepat hilang. Dinding awan itu mengambang dalam sanubari setiap orang, yang tidak memiliki sanksi memaksa kecuali rasa malu yang pada akhir akhir ini orang semakin kebal. Sungguh tidak ada penipu yang lebih hebat dari orang yang sanggup menipu dirinya sendiri. Kita layak untuk bersimpati kepada orang orang seperti ini, yang hidup jauh dari sejuk tanah, hanya kakinya menjuntai tinggi di tepi kabut kenyataan. Kita patut bersimpati atas mereka karena mereka sebenarnya terbutakan oleh kebanggan menjadi bukan dirinya sendiri sementara mesin waktu terus mengurai usia. Pasa saatnya nanti mereka tersadar, mereka telah terjebak dalam kubangan kesemuan itu yang mengantarkan mereka pada ketertinggalan yang tak termaafkan.

Maka akan lebih bijaksana lagi jika kita menilai sebuah buku dari tulisan yang terkandung didalamnya, syukur syukur tulisan tulisan yang lahir dari perenungan tanpa tendensi, yang memiliki bobot pemikiran realistik layaknya manusia hidup di lama kasunyatan. Hampir satu miliar sampul buku wajah memainkan magnet simpati. Hanya kebijaksanaan yang didapat dari pemahaman tentang nilai hidup yang bisa dengan bijaksana menentukan buku mana yang layak dijadikan elemen pengait pengetahuan tentang cara menjalani hidup agar tercipta harmoni. Sebab tidak semua sampul buku wajah berisi maklumat palsu.


Gempol 120521