Sunday, February 19, 2006

Luka yang indah.


Kekecewaan belakangan menjadi teman akrab. Amarah menjadi tamu tetap, lalu menjelma jadi mutan dalam darah dan udara. Apa mau dikata, diri tak kuasa menentukan bahkan sekedar menghindarkan apa yang orang lain akan perlakukan. Pasang badan menjalani keadaan, meskipun kaki yang pincang kelelahan membuat otak kehilangan tuan sekalipun. Harus dijalani, mengharap akan jadi berkah suatu hari kelak. Mungkinkah?

Kebekuan ini begitu gersang oleh penghianatan terhadap fikiran. Seorang badut ditengah kerumunan dan gelak tawa dunia disekeliling. Dia benar banar sendirian dan tak punya pegangan sekarang. Dia hanya punya nafas yang panjang yang sesekali ditahan dan disimpan untuk cadangan kehidupan. Mulutnya kosong, matanya kosong tapi kepala dan lenganya sarat dengan beban. Dan didalam dadanya, sakit terasa mempertontonkak hehidupan.

Lalu dicari dari mana datangnya luka yang mengucurkan darah, jauh dikedalaman dunia fikiran sendiri. Lubang dan sobekan menganga dimana mana, ada yang baru ada yang lama, ada yang bernanah dan ada yang meneteskan darah hangat masih segar. Dan luka itu merubung hati, hancur kehilangan bentuknya yang asli.

Nasehat datang dari nurani yang kelelahan. Logika bodoh kecewa karena mengharap apa yang tak bisa didapatkan. Seseorang datang mengantar perban! Ia hanya lewat dengan senyuman sebab ia membawa bunga bagi kekasih hatinya. Subuh baru tiba ditempat yang dijanjikan, setelah sekian tahun dalam penantian. Sang penduka menangis digerbong terakhir yang berhenti, afkir, disetasiun pemberhentianya yang terakhir.

Betapa indah luka, ketika yang mengikuti hanya penghayatan sebab diri tak berhak menolak, tak kuasa mengelak. Betapa indah luka ketika titik titik kecemasan perlahan mengabur dan hilang, lalu tinggal hampa yang maha luas membahana menyelesaikan tugas sang malam untuk menikam bathin orang orang yang teraniaya oleh lukanya lukanya sendiri, luka luka yang indah…


Gempol, 060219