Wednesday, November 23, 2005

Catatan dari Bukit Senyum


Apa yang dikatakan hati ketika diri tiba tiba terasa –untuk sekian kali- terlempar dan terdampar jauh di negeri asing? Entahlah, kesombongan yang bertahun tahun menjadi senjata lesap ditelan keterasingan, menjadi bukan apa apa. Apakah sebenarnya kesombongan yang sedang bicara atas diri jika kekosonganlah sebenarnya yang mengisi angkasa jiwa?

Tempat baru dengan kemisterianya selalu saja menyajikan selain pertanyaan juga ketidak mengertian baru tentang sesuatu, mungkin memperkaya pemahaman atau malah membangkrutkan pendalaman tentang maknanya hidup. Dari tepi jalan yang meliuk di Bukit Senyum ketika pandangan tertebar sejauh kemampuan, diri menjadi setitik air yang tersesat diselat Malaka. Dari ketinggian dan kejauhan diri menemukan betapa dalamnya menduka, sedalam mencinta.
Lalu datang Tuhan menemani hati, ketika pertanyaan demi pertanyaan hanya menumpuk menjadi rombeng di gudang kepala. Hukum Tuhan, hukum alam dan hukum peradaban berpilin pilin menjadi adonan kue kehidupan. Kelahiran dan kematian tak lagi menjadi penting selain pelengkap data statistik ilustrasi kependudukan. Dia bekerja dengan sangat rahasianya, menciptakan setan setan dan pembela pembelaanya, menciptakan malaikat dan malaikat dengan berbagai penjelmaanya. Dia bekali manusia dengan akal, nurani dan hati dan pada saat yang sama menciptakan segala peraturan yang ambigius…lihat, tapi jangan sentuh, sentuh, tapi jangan rasa, rasa tapi jangan dihayati, hayati tapi jangan hanyut, hanyutlah dengan kata hati, tapi tetaplah pergunakan otak sebagai senjata penegas dan perisai pelindung…kunyah…tapi jangan ditelan… Tuhan memang bekerja dengan misterius, sementara Dia ciptakan hati untuk merasa, otak untuk mencipta logika, dan pada saat yang sama Dia juga menciptakan aturan aturan yang tak terbantahkan; keadaan, dimensi waktu dan ruang.

Catatan empiris dari Bukit Senyum mencari kompromi dari pemandangan demi pemandangan yang sempat menyinggahi mata, sempat menyinggahi hati. Kota ini, begitu miskin dalam kekayaanya, begitu semrawut dalam keteraturanya. Kota ini, secuil negeri asing dalam kehidupanku sendiri, surga bagi siapa saja yang jadi penguasa. Mungkin semuanyapun akan kembali menjadi semu ketika nanti, kesombongan telah diakui sebagai anak rohani dari setan setan yang menggerakkan roda dunia meninggalkan peradaban purba, peradaban paling manusiawi milik manusia.

Dan aku tersesat entah dimana, menunggu jawaban dikirim Tuhan dari langitNya….Sementara, kubiarkan keindahan yang memabukkan perih menjajah jiwa…


Batam 22 November 2005