Sunday, July 30, 2006

... rembulan seujung kuku...

Rembulan seujung kuku menggantung ragu dilangit hitam, pucuk dahan pohon pohon raksasa di hutan lebat seperti menggapainya, mengajaknya turun ke bumi dan bercengkerama bersama satwa malam yang rajin menyenandungkan nyanyi pujian. Malam masih begini muda, rembulan condong ke barat tak sabar ingin beristirahat dibalik gegunung yang hanya tampak jadi bayangan. Di langit tinggi mendung berkejaran ke selatan, melintasi rembulan dan terkadang mengaburkan keberadaanya dari pandangan. Tak ada kerlip bintang yang menemani, sang bulan diam dalam kesendirianya, menjalani kodratnya dalam ruang yang itu itu juga mengitari bumi, berkembang dan membagi sinar redup kepada gelap yang tak lagi membutuhkan kehadiranya malam ini; lampu lampu merkuri telah mendurhakai sinarnya yang abadi.

Sepotong salam terkirimkan, menanyakan apa yang sedang bergumul dalam fikiran. Jarak yang jauh telah melahirkan rindu yang tak berhenti bergemuruh, mengundang pengandaian pengandaian yang meracuni kemustahilan dengan perlahan. Kepala dipenuhi oleh ilusi manis tentang kebersamaan, mengisi sisa hidup dengan kedamaian, menimbun bekas bekas luka yang menganga dengan cinta yang membanjiri setiap sudut ruangan rumah kecil di lereng bukit.

“Jangan kau pergi dari hidupku, jangan jauh jauh dariku, aku ingin kamu tetap ada didalam hatiku. Aku ingin meleburkan rindu yang membelenggu ini, mempersembahkan seluruh kasih sayangku yang terasa hanya padamu” ucapku pada selembar daun yang gugur dari luar pagar kompartmmentku, dan hanya angin beku yang mengangkutinya pergi kelangit, ke telinga sebelah hati nun jauh ditempatnya berada.

Satu dunia kehilangan kefanaanya terbentuk hanya dari ceceran demi ceceran kesia siaan masa lalu, mempertemukan dua debu di angkasa maya dalam ketidak mengertian arus nasib. Dan malam datang menyempurnakan kegundahan akan seribu satu pertanyaan tentang rasa yang menyelubungi kepalsuan yang harus dijalani sebagai bentuk tunggal dari kewajiban. Keterpaksaan telah melahirkan dunia baru yang tak kasat mata bagi pemandangan alam duniawi, rapi tersembunyi dalam bilik bathin dan perlahan kokoh menjadi raja pengisi kehampaan yang sempurna.

Perih terlalu lama menjadi pengisi tas pengalaman, diri letih sudah menggendongnya sendirian kesana kemari mengitari bumi. Perih yang menyemaikan keluhan demi keluhan yang memuakkan, pun masih berisi tangis dan kegilaan setiap kecutnya memelintir ingatan. Mencoba berhenti untuk tidak meladeni perihnya atau sekedar bungkam menyembunyikannya ternyata bukanlah perkara mudah. Segala daya kekuatan telah dihamburkan untuk menanggulangi setiap potong beling yang datang dan bebas meneracap kedalam jantung karatan. Diri tak kuasa melindungi kepentingan hati ketika iblis terus memburu sampai jauh kelorong setiap sudut mimpi sekalipun.

Inikah pengingkaran yang sering dibicarakan? Ataukah perlawanan atas nama kebahagiaan hakiki? Entahlah, saat ini aku hanya ingin menghamburkan kepalaku di pangkuanmu, mengadukan kekecewaanku dalam tangis panjang di hangat kasihmu, dengan jarimu rajin mencabuti potong demi potong beling yang menghiasi sekujur tubuhku…

“aku sayang kamu…” ucapmu mengantar tidurku, menjemput iblis yang siap menunggu di negeri bawah sadarku.

Porta camp – 38 Papua 060730

Friday, July 28, 2006

Jauh

Jarak yang mempertajam sunyi mengundang gerimis untuk memupuk cabang pohon kehidupan menjadi lebih kokoh dan ngrembuyung menerima terpaan matahari yang sesekali mempertontonkan diri. Romansa perjalanan menyeberangi pulau pulau, ribuan kota dan jutaan kampung lindap dalam keterasingan yang sempurna sudah.

Keterpencilan telah membuka ribuan pintu gerbang pada iblis yang menyerbu menjadi hama, menggerogoti fikiran dengan amarah tanpa tujuan dan dendam tanpa tuan. Berandai andai hanyalah mengalihkan fikiran terhadap kenyataan yang berlawan. Gerimis setia mengawal pagi, tanah basah penuh misteri. Kenangan buruk rajin datang menyambangi, ia datang menjadi pengisi udara menjadi penuh dengan suara bisik, gambar dan rasa tentang penyiksaan perasaan. Ribuan iblis yang rajin berpesta membawa letih tak terkira.

Mengharap matahari datang menuntun semangat, ketidak pastian datang sebagai jawaban. Khayalan menjadi pengobatnya, meski pada kenyataanya jiwa dikerdilkan oleh perilaku durjana yang datang begitu saja diluar segala perkiraan akal sehat dimasa lalu. Nyata sudah bahwa khayalan hanya mimpi indah semata; tentang sebuah rumah sederhana di lereng bukit dimana hidup hanya berisi cinta, penghargaan, penghormatan dan penghabisan akan sisa usia dalam dekapan damai.

Siapa kuasa mengendalikan datang dan perginya kenangan dan rombongan rasa yang menyertainya ketika hati masih berfungsi dan jaringan syaraf dalam otak masih bekerja? Ia menjadi bagian dari darah, daging, tulang dan aura yang melingkupi keberadaan diri, nun jauh terasing di perantauan. Dan ketika sepi menghimpit, keberadaanya menjadi nyata, perihnya makin terasa juga segala pikiran negative yang beranak pinak dalam ketersembunyian masa. Pincang semata yang ada menjalani nasib dengan setengah hati. Kematian yang diharap datang tak bertanda, entah dimana rimbanya.

Melepas harapan ke angkasapun tak banyak membantu ketika diri dikelilingi oleh budak budak kepentingan kapital yang pintar berfilsafat tentang hal hal basi semata. Mengikuti arus fikiran sungguhlah sesuatu yang mematikan kepentingan ego, menyembunyikanya rapat hingga kelak meledak menjadi satu batu patokan langkah pengukuh nilai tawar. Rupanya di dunia hidup juga orang orang yang hanya mampu memandang apa yang ada dalam dirinya, mengesampingkan kepentingan orang lain apalagi berusaha menyelami apa yang terasa oleh orang atas apa yang diucap maupun sikap yang dipertontonkan.

Ketika jarak tempuhan jauh, pengalaman merelief di dinding ingatan, sebagian hidup kembali membwa banjir darah masa silam. And those demons…I can only stop them from coming in if I could only stop my mind from thinking, and I can stop thinking when I stop breathing.

Porta camp mile 38 – Papua 060728

Saturday, July 22, 2006

Negeri di awan

Menyusuri jalan tanah berlapis kerakal sepanjang jalan menembus sejuk pagi di paru paru bumi. Pepohonan raksasa seperti berlarian mengejar matahari ke arah timur, mengikuti arus sungai Ajwa yang seperti tak berujung. Amole wahai Menok Menok yang terjumpai sepanjang pelintasan, mengusung mimpi dan harapan yang digali dari endapan sedimen sungai limbah. Kerakal berlompatan digilas roda kendaraan, menyingkir mempersilahkan lewat dengan cepat. Sejuk hawa rimba menyongsong disetiap sudut paru paru, mengabarkan tentang sebuah tempat tujuan, dimana langit hanya sejangkauan tangan. Jalan menukik 60 derajat seperti menuju ke langit, tempat peradaban lain lagi sedang terjadi, tempat para dewa saling membagi rezeki. Jarak pandang hanya selemparan batu, selebihnya adalah terkaan dibalik lembutnya kabut.

Selaksa kabut datang dan pergi menyelimuti bukit dan jurang jurang, terowongan Hannekam sepanjang 1050m menjadi gerbang dunia lain lagi dimana hawa dingin menusuk tulang menyambut. Berdiri ditepi jalan, menyaksikan tebing raksasa dengan puluhan air terjun menghiasi punggung batunya yang berkilau oleh cahaya matahari yang memberontak dari setiap celah awan mendung dan perkabutan. Inilah negeri di awan, kampung impian tempat segala keindahan alam bermuara.

Selepas check point 66 menuju tanah tinggi, ditepi sebuah kelokan di tubir jurang pandangan menebar menjelajahi pohon pohon purba yang hanya sering kita lihat pada gambar di kalender kelender. Inilah keajaiban, sisa kehidupan berjuta tahun silam. Bunga bunga biru, kuning dan putih bertebaran menghiasi sepanjang jalan, seperti menyambut mata siapapun yang mengerti akan arti keindahan alam. Diujung dahan, bunga bunga terompet berwarna krem mengayun ayun seperti menari dipermainkan angin sepoi. Gerimis mempertegas hadirnya kabut, memasuki terowongan kedua Zaagkam sepanjang 950 meter pada ketinggian 2486 di km 104.

Di kejauhan camp rainbow ridge berderet seperti gambar, menjadi tempat perlindungan dan sarang bersosialisasi bagi ratusan penghuninya. Disanalah pelangi berujung, melengkung mengitari separuh luas bumi. Di seberangnya, hidden valley menghampar setelah kabut tersingkap sejenak untuk datang kembali menyelimuti. Tempat ini, saudara, hanya secuil dari dunia yang tak pernah tertemui baik dalam mimpi mimpi maupun cerita romantisme remaja. Pucuk pucuk pohon kelelahan menahan usia, menjadi tebal oleh ganggang yang mungkin ratusan tahun telah menjadi teman setia; anggrek hutan dengan bunga kuning, hitam dan warna warninya.

Alam ini mengingatkan kepada sepenggal cerita Pramoedya tentang pulau Buru yang tandus dan berisi pokok pokok pohon purba. Manusia manusia sisa zaman batupun masih bermunculan dari balik semak semak sepanjang jalan menanjak, berkeliaran di alamnya sendiri dan mencoba berkenalan dengan kemajuan peradaban. Melewati Tembagapura, kota modern ditengah keterbelakangan penduduk Amungme, Menok berkeliaran disana sini. Suku Amungme yang mendominasi wilayah pegunungan ini, dan mereka ikut mengais emas dari sisa pembuangan tailing tambang. Konon, untuk yang mendulang persis di mulut pembuangan limbah, sehari mereka bisa mendapatkan beberapa ons emas jika beruntung! Dan tujuan hidup mereka sejauh ini baru untuk foya foya. Dan kehidupan para pendulang sepanjang sungai Ajwa dimana limbah dari proses konsentrat batuan untuk tembaga dan emas dibuang jauh ke laut lepas menjamur bak gold rush dalam cerita film film cowboy zaman baheula di Amerika. Meningitis-pun menggerayangi selaput otak para pendulang, meski demikian godaan uang dan dampak yang tak terasa langsung membuat mereka abaikan itu semua.

Tembagapura nan modern dengan kehidupan peradaban modern tertinggalkan dan jalan menikung mendaki serta basah terus dilalui. Air dingin mengalir disepanjang sisi kiri kanan jalan, oksigen mulai terasa tipis pada tempat dimana berton ton batu digiling setiap hari, disaring untuk didapatkan konsentrat tembaga dan emasnya. Mesin mesin raksasa menggemuruh tak berhenti, juga sky train yang menggantung hilir mudik diangkasa mengangkuti segala keperluan ke tempat yang lebih tinggi lagi; Grasberg dimana pada bulan September sampai November salju sering turun menyambangi tanah dataran tinggi Grasberg.

Disini, di ketinggian ini kerajaan antah berantah dibangun dalam ironi sosial bumi dan langit, begitu dekat tanpa bersentuhan demi satu kata yang sama; u-a-n-g.

Hidden valley – Tembagapura Papua, 060722

Friday, July 21, 2006

Jika Engkau Mati...

Jika engkau mati nanti air mata menghiasi raung kehilangan bukan perlambang dari cinta yang diceraikan kecuali kekecewaan atas kenyataan yang datang terlalu dini. Sekedar ekspresi mengasihani diri atas kekecewaan runtuhnya tiang harapan.

Kematian adalah hal yang pasti yang kita tanda tangani ketika pertama kita ada dan menghirup wangi udara bumi. Terbebas dari gelap rahim bunda, dengan benderang menjadi menyambutnya. Sekejap saja, lalu datang gelap lainya dan kita tidak akan kembali lagi.

Jika engkau mati nanti, coba cacah dalam ingatanmu orang orang yang mungkin akan meratapi pergimu; tak seorangpun tersenyum melihatmu terbebas dari kejenuhan akan kemunafikan dunia. Mereka seolah menganggapmu berarti, padahal hidup berjalan normal dalam hitungan hari setelah pergimu. Tak ada yang mengingatmu lagi sebab mereka tahu tak ada gunanya mengingat orang mati. Jadi bangkai, itu pasti.

Jika engkau mati nanti, berjalanlah tenang sebab kematian hanyalah siklus akhir dari kehidupan, berbanggalah bahwa engkau telah menyelesaikan peranmu dalam babak yang belum tentu engkau faham apa judul episodenya…

Jika engkau mati kelak, ucapkan salam terakhir kepada matahari yang tidak akan kau temui lagi sesudah ini…

Jika aku yang mati, maka tersenyumlah mengiringku sebab aku telah selesaikan kewajiban hidupku sebagai manusia…

Porta camp mile 38 – Papua 060721

Thursday, July 20, 2006

Pesan dari jauh...

Datang sebuah sms dari seorang terdekat yang menitipkan pesan:

"Postingin aja kalau aku sedang unavailable, berada jauh di bumi purba dimana langit hanya sejangkauan tangan. Dan membawa setiap orang dalam angan angan"


Empunya blog meminta bantuan untuk memberitahukan kepada semua teman teman blog bahwa ia sedang dalam tugas di Papua untuk beberapa saat. Dan disana belum memungkinkan untuk menemukan sambungan internet sehingga blognya agak terbengkalai. Tapi aku tahu, pasti dia juga merindukan teman teman semua disini. Dia sedang mencoba memperoleh kembali sisa sisa jejak kaki yang dulu pernah menjadi semangat hidupnya, yaitu mendedikasikan diri secara penuh untuk pekerjaan. Mohon doa dari teman teman semua semoga dia bisa kembali dengan selamat dan tentu saja membagi cerita indah dengan kalimat kalimatnya yang ajaib.

Salam dari Papua.

Titah dilaksanakan, pangeran...Come home soon.

Sunday, July 16, 2006

Perjalanan ke tanah hitam

Pada tiga perempat usia hidupnya dan entah untuk berapa ratus kali lagi akhirnya dia harus bersiap untuk melangkah pergi. Kali ini ke tanah hitam yang bahkan tak pernah singgah dalam mimpinya. Suatu kali dahulu, seorang teman pernah menginjak tanah bumi itu dan bercerita sebagai sebuah tempat di ujung dunia, dimana langit hanya dalam jangkauan tangan. Bahkan si teman tidak punya kata kata untuk menggambarkan keindahannya.

Langkahnya kali ini gamang. Tak lagi berisi tekad dan antusias lelaki yang haus akan penjelajahan hal hal baru dan belajar sambil mengabdikan diri kepada kehidupan. Bahkan keyakinanya menjadi abu abu ketika ketidak pastian demi ketidak pastian ditelannya mentah dan sebagian membuatnya muntah. Dikenangnya kisah kisah perjalanan, tempat tempat persinggahan dan kemewahan pribadi berupa kesendirian sepanjang perjalananya dulu. Ia rindu pada semangat mudanya yang hangus dan belum tergantikan dengan tunas yang baru.

Ikat pinggang pemberian menjadi bekal penguat semangat, dan doa restu bunda menjadi belati pengawal bagi keselamatan. Namun toh pintu pintu kemungkinan tetap dipelihara dengan layak, bahkan yang paling mengenaskan sekalipun keadaanya; siapa tahu justru itu yang dipilih kehidupan masa depan untuk lorong perjalanan. Setiap pergi sama saja dengan membawa kemungkinan kemungkinan baru ketika nanti kembali; mungkin tidak utuh lagi, mungkin tak bernyawa lagi, atau bahkan mungkin menjadi manusia dengan pemahaman hidup yang lebih kaya dari sebelumnya. Semua hanyalah teka teki hari depan, tak patut dijawab sekarang.

Perjalanan kali ini tak dibawanya keranjang harapan seperti yang sudah sudah. Akan ia bawa beban dan barangkali buah pengalaman semampu pundak dan tangannya merengkuhnya nanti. Inipun sekedar menjalani kewajiban hidup manusia untuk menjadi manusia, melihat dan merasakan hal baru untuk disimpan dalam lemari pengalaman, disimpan menjadi resep kue kehidupan. Ia tidak akan kaget dengan rasa sakit yang barangkali nanti ia akan terima di tanah perantuanya yang jauh dan sendirian. Ia telah mengalaminya beratus tahun tanpa catatan untuk hal yang satu itu, kecuali kebanggaan diri bahwa ia menempuh lebih jauh karena berjalan sendirian.

Maka esok, ketika mataharipun masih berselimutan embun dan gelap masih rajin mengurung, ia akan berangkat dengan langkahnya yang pertama, meninggalkan pagar rumah kontarkannya menuju negeri hitam yang kabarnya diamuk api. Tas punggungnya berisi pengalaman, dan tatapan matanya berusaha menyingkirkan gelap harapan. Ia melangkah terus melangkah dalam menapaki udara dan mengayunkan kaki ke depan. Entah apa yang dirasakan, yang pasti tak banyak yang ia harapkan dari perjalanannya kali ini, kecuali menjalani kewajiban.

Angin dari tepi kota akan membawanya pergi pagi ini, jauh ke ujung bumi tempat dimana langit hanya sebatas jangkauan tangan, suatu saat iapun akan kembali lagi, kerumah kontarkan istana sonyaruri.
Entah hidup entah mati…

Gempol, 060715

Saturday, July 15, 2006

Klepto

Kaum (?) klepto barangkali ada sejak pertama peradaban manusia terciptakan, ialah mereka atau sesiapapun yang secara genetik maupun akhlak memiliki kecenderungan untuk menguasai hak milik orang lain dengan cara rahasia maupun terbuka.

Pada kelas yang rendah klepto sering disebut dengan julukan maling, pencuri, rampok, begal, copet, kutil dan sebagainya. Sedangkan pada level klepto yang lebih elegan orang sering menyebutnya sebagai koruptor, penggelapan, penipuan dan lain sebagainya. Intinya sama saja; mencuri atau mengambil atau menguasai hak orang lain tanpa seijin yang punya. Zaman yang lebih canggih lagi, maling di dunia maya disebut sebagai hacker dan memiliki klasifikasi sendiri dalam kejahatan maya atau cyber crime. Sedangkan kejahatan jalanan seprti maling ayam, maling jemuran, copet dan sebangsanya masuk kedalam klasifikasi kejahatan konvensional. Hukuman yang paling mengena tentunya adalah keroyokan massa, hakim di TKP, dengan sangsi babak belur atau bahkan mati ditempat; sebanding dengan nilai jual benda obyek kejahatanya; ayam dan jemuran. Kejahatan seperti ini (kejahatan-catat!) dalam dunia hukum lebih lazim disebut sebagai ‘pencurian’, sedangkan kualitas pelaksanaannya menentukan predikat nantinya, apakah pencurian biasa, pencurian dengan pemberatan, atau pencurian dengan kekerasan.

Obyek yang dicuripun tentu beragam, dari yang bertujuan material maupun yang bersifat pencurian informasi. Ketika seorang hacker mengacak acak isi mailbox e-mail, maka yang ia butuhkan hanyalah informasi dari lalulintas komunikasi e-mail si empunya account. Sedangkan pada tingkat yang lebih canggih, hacker kakap (maling kelas kakap) bisa mempergunakan informasi yang dicuri dari ID si korban untuk tujuan ekonomi, material.

Ketika infomasi yang bersifat pribadi diakses dengan seenaknya oleh si hacker, yang tercuri adalah privacy. Privacy yang hilang dicuri menyebabkan korban merugi secara moral, merasa seseorang dengan tanpa hak telah masuk mendobrak kedalam lemari simpananya, mendobrak gembok password dan membiarkanya teronggok tak bisa di akses lagi bahkan oleh si empunya account. Menjadi korban selamanya hanya berisi ketidak enakan. Berisi kegondokan, bahkan amarah yang terpendam. Pikiran yang pertama muncul ketika kita menjadi korban dari pencurian adalah tentunya apa yang telah hilang dicuri, kemudian menentukan kemungkinan kemungkinan siapa pelakunya lalu mengikuti motif apa yang menyebabkan si panjang tangan melakukan itu dan memilih kita sebagai korban. Dari sekian banyak rentetan itu kemudian akan muncul solusi pemecahan, berharap hal serupa tidak terjadi dikemudian hari.

Sikap reaksi dari si korban ketika sadar telah menjadi korban kehebatan (atau kerendahan budi?) si klepto adalah hal yang menarik untuk dibicarakan. Bahkan sebagian orang dengan legowo menerima saja apapun perlakuan orang terhadapnya, meskipun telah memilihnya menjadi korban. Orang yang seperti ini tentu bukan pertama kali mengalami menjadi korban, malah jangan jangan pernah kehilangan nilai yang lebih besar lagi yaitu kebanggaan diri atau mungkin martabat karena pencurian juga. Orang seperti ini telah mengalami satu kehilangan yang sesunguhnya, sebuah nilai yang tak tampak dari pandangan mata. Jadi segala sesuatu yang bersifat kepemilikanpun menjadi ikut hambar dari nafsu posesif. Berharap orang untuk tidak melakukan praktek permalingan apalagi memilih diri kita sebagai korban sama halnya dengan menjaring asap di udara. Ajaran budi pekerti maupun dogma hanyalah anjuran. Bahkan peraturan dan undang undang yang memiliki kekuatan memaksa sekalipun bisa diabaikan sedemikian rupa, dipermainkan sesuai ketrampilan berargumentasi.

Suka ataupun tidak, orang jahat memang ada dan hidup diantara kita, di lingkungan kita, membaur menjadi warna dari peradaban manusia di muka bumi. Dalam terminologi yang lebih halus ‘orang jahat’ banyak dinamakan sebagai orang yang kurang kesadaran. Mereka yang dengan sadar hati mentahbiskan diri sebagai kaum klepto, barangkali juga harus bergelut dulu dengan nurani sebelum kepintaran logika mampu mengalahkanya, menganggap bahwa perbuatanya tidak akan pernah ketahuan, dan kalaupun ketahuan tidak perlu sulit untuk menyangkalnya dengan kata kata. Kekurang sadaran akan pentingnya menjaga orang lain seperti halnya kita ingin juga diperlakukan sama oleh orang lain menyebabkan orang dengan mudah melaksanakan prinsip prinsip klepto atau permalingan.

Jadi benar kata bang Napi, bahwa kejahatan terjadi atas kombinasi tiga unsur penunjang; niat, kesempatan, dan kemampuan. Maka….Waspadalah….Waspadalah…!!!

(Khusus kepada hacker yang mengacak acak mailboxku, semoga rahmat dan karunia Tuhan selalu tercurah kepada saudara, semoga dimuliakan hidup saudara dan juga orang orang yang saudara sayangi. Amin)


Gempol, ketika hacker mengobrak abrik mailbox email 060710

Friday, July 14, 2006

Bulan di atas empang

Bayangan rembulan mengambang diatas empang, bimbang diayun ayunkan oleh riak kecil pada permukaan air. Angin Selasa malam gelisah mencari persembunyianya, mengoyak ngoyak pucuk daun pisang yang baru menikmati aroma dunia. Di barat daya satu cahaya kecil berkerlip ragu, kata orang itu namanya bintang. Mungkin arwah dari seorang ksatria yang terperangkap di langit hampa. Ia begitu dekat bersama bulan ketika malam sempurna dandanannya. Saat itulah kesadaran datang, bahwa hidup telah dipersatukan hanya dengan selembar kertas usang dan sekaligus merusaknya.

Dunia berputar semakin cepat, tinggal diri berpegangan di gagang daun siapa tahu menjadi bagian dari cerita isinya. Diri harus tetap berdiri sebab jika jatuh akan menimpa mereka yang terlanjur mentahbiskan diri sebagai gantungan kunci, penghias kehidupan mewah milik pribadi. Sesuatu telah mengubah segalanya, dan orang tidak akan tahu apa yang orang lain tahu dan tidak tahu. Kebenaranpun menjadi absurd ditepi empang pada Selasa malam.

Rahasia semestinya tak dibicarakan bahkan kepada angin dan bayangan bulan. Permainan baru dilakonkan, dengan peran sebagai si bodoh yang harus melampaui kemampuan sendiri. Ditepi empang ini hidup tak terasa sebagai ajang rebutan antara kepentingan ingin dan tidak ingin, melainkan untaian waktu yang merubah banyak hal dengan caranya yang ekstrim. Cinta tak bisa dikhianati seperti juga laut, pohon, ataupun misteri lainya. Tetapi dunia dipenuhi dengan orang orang yang berpura pura cacat mental dan bepura pura jadi pelacur menjadi sampah sampah penting yang psikotis, eksotis, dan gelap. Seseorang harus menangisinya…

Sekali lagi angin yang itu itu juga mengusap tatapan mata, empang kumuh menjadi lautan dimana puri putih menjulang ditepi bukit dengan bebungaan yang menghampar menghiasai setiap celah dan lerengnya. Duduk ditepianya dan bulan makin pucat merayap ke barat. Memang demikianlah bumi bernafas sejak jaman paleolitik. Diluar lingkaran empang, orang orang aneh hidup dengan keanehan yang dijadikan kebiasaan. Mereka yang egonya hancur tertimpa ego yang lebih besar lagi. Demikianlah manusian, selamanyapun hanyalah permainan dari teori ego dimana semua berakhir ketika kematian indah datang pada kehidupan yang buruk. Disana burung burung menatap layar lalu jatuh ke bumi, menjelempah mati.

Aroma sampah menyapa pernafasan, mengantar langkah menuju kontrakan dimana kehampaan lain lagi tak terbacakan…Selembar kesan tertempel di dahi tanpa menutup pandangan, bahwa hidup tetaplah yang terbaik untuk didapatkan. Didalamnya berisi kejutan, keajaiban dan keindahan.
(...seekor ikan mati mengapung dalam kepungan remang malam ketika seekor kelelawar terbang melintas cepat diatas bangkainya...)
Season by season, creature by creature, miracle by miracle the epic journey continues…

Dari tepi empang Gempol, pada awal July 2006

Tuesday, July 11, 2006

Tentang Hikmah

Benarkah hidup hanyalah permainan dimensi ruang dan juga waktu? Bahwa setiap kejadian dan peristiwa memiliki medianya sendiri sendiri supaya bisa dengan mudah terbawa dalam ingatan, dalam kehidupan sehari hari. Sebagian terpelihara sebagai sebuah dunia yang hidup terus menerus bagaikan nikotin yang menjadi enzim resmi bagi darah dalam tubuh. Sebagian lagi membandul menjadi batu kenangan yang harus dibawa bawa kesana kemari di punggung sebagai beban resmi sepanjang perjalanan.

Idealnya tujuan hidup adalah untuk melayani orang lain, mengabdikan diri bagi kehidupan orang lain dengan ataupun tanpa imbalan. Bahwa untuk menjadi seperti itu orang tidaklah perlu menjadi sempurna sebab memang tidak ada manusia yang sempurna dimuka bumi. Kesempatan kadang datang tanpa sengaja, datang pada ruang dan waktu yang tepat meskipun tak terencanakan dengan matang sebelumnya. Tetapi titik pangkal dari semua kejadian, peristiwa, sejarah masa lalu bahkan kejadian yang akan datang di masa depan adalah konskwensi dari keputusan yang kita ambil pada saat ini. Kadang kita memutuskan untuk diam jadi penonton dengan bermacam pertimbangan, sedangkan pada situasi lain kita terpanggil untuk menjadi pelakon, menciptakan sejarah dan mengukir peristiwa yang barangkali akan menjadi catatan bagi bathin beberapa orang, terutama diri sendiri.

Setiap keping sejarah diri adalah pantas untuk direnungkan untuk kemudian di definisikan ulang barangkali hikmah yang digembar gemborkan oleh sang bijak datang pada saat perenungan itu. Hikmah selamanya memiliki standar ganda, sebagai pengobat perih dari kejadian yang pernah terlewati, apalagi jika itu adalah kejadian buruk. Hmmh…hikmah, tak lebih dari pengobat kekecewaan hati ketika diri merasa terpojok kemudian harus terseok meneruskan langkah kisah. Hikmah memaksa hati untuk menerima apapun yang telah diterima, berkompromi dengan keadaan apapun yang terjadi di pendalaman dunia angan angan. Hikmah menjadi obat mujarab pembasmi gulma kebahagiaan bernama protes atas sakit hati. Dengan hikmah, maka semua pantas untuk diterima dan diberi ganjaran yang seimbang dalam ukuran yang sangat abstrak.

Mengharap setiap hal berjalan baik dan menyandarkan tiang kebahagiaan pada rapuh jawaban atas harap sama dengan membangun pondasi untuk kekecewaan atas harap itu sendiri. Semakin tinggi benteng keyakinan dibangun untuk menggapai harapan, semakin tinggi pula jarak jatuh ketika harapan hanya menampar ruang hampa. Bergedebam menyisakan lebam dan memar memar bagi jiwa, bahkan terkadang bisa mematahkan arang hati. Kejadian buruk bisa timbul dari orang lain berakhlak buruk, bisa juga berasal dari penetapan standar atas keinginan pribadi. Kita terkadang agak lalai bahwa semakin kita ingin mengontrol dunia di luar kita, maka semakin jauh kemampuan kontrol kita terhadap hati dan logika sendiri. Semua dihamburkan begitu saja kepada ketidak pastian masa depan.

Walhasil, hikmah adalah jawaban baku atas apapun yang terjadi. Pasti ada hikmah dibalik anu, ini dan itu. Perwujudan hikmah itu sendiri dicari cari sedemikian rupa, dihubung hubungkan kesana kemari bahkan terkadang dipaksakan ketika proses pencernaan hikmah kurang pas mengena. Hikmah adalah benteng kukuh supaya apapun tak perlu dicari jawabanya kenapa bisa terjadi dan sebagainya. Sebuah kehidupan (apapun bentuknya) dari sebuah kehancuran atau bencana dianggap sebagai hidup baru, sebagai hikmah dari bencana yang baru berlalu. Bahkan keinginan untuk hidup sederhana, hidup dengan kehidupan wajar dianggap sebagai suatu yang istimewa ketika kaki kiri telah berada separuh di tubir jurang; padahal selamanya hidup tidaklah ada yang disebut hidup wajar sebab kewajaran hidup adalah misteri kehidupan itu sendiri, yang tak terpecahkan hanya dengan perkiraan maupun harapan. Hanya waktu yang menyimpan kunci atas gudang jawaban. Yang ada hanyalah hidup. Titik!

Gempol, 060708

Monday, July 10, 2006

My Solitary

Kupunguti kepingan gelisah yang menghambur berlompatan dari matamu yang berkilauan ketika cahaya hari baru melewati kulminasi. Ketidak mengertian tujuan perjalanan mengantarkan begitu banyak kecemasan dan kutampung di pundi pundi ketidak mungkinan yang kupersiapkan sejak berangkat bersama melenyapnya sejuk embun ditimpas matahari pagi tadi. Kejujuran atas beban rasa terpersembahkan sebagai bingkisan, tanpa berharap apapun atas apapun dari semuanya. Membiarkan semua mengalir seperti biasanya ketika diri kehilangan kemampuan untuk menolak apalagi menghentikan apapun yang datang dari delapan penjuru angin. Datanglah semua sesukamu wahai kejadian, ombang ambingkan dan permainkan semampumu emosiku. Engkaupun tahu, aku telah lumpuh layu untuk sekedar memprotes, dan menerima dengan kekuatan adalah perlawanan terakhirku.

Maka bagikupun ini hanya angin musim yang membawaku; tubuh sebutir debu ini terbang lenyap diantara kerlip bintang dan samudera langit. Seperti juga telah kupasrahkan keseluruhan sosokku pada semesta. Aku terlalu kecil untuk engkau pandang dari tempatmu yang megah. Bukankah inipun Supernova biasa yang terjadi hampir setiap hari di planet tak bertuan? Disinilah tempatku, ujung mega yang berjalan pelan tanpa tahu arah tujuan, dengan kaki menjuntai aku tatapi saja kejadian yang berlarian bagaikan penghiburan dari identitas diri yang nisbiah.

Hey…jangan tangisi, sebab aku akan selalu ada dibalik setiap gelap yang engkau tatap. Aku ada disana tanpa pintu dan jendela, diam menatap setiap kejadian dan menterjemahkan suara tawa yang lewat ditelinga sebagai kebahagiaan yang meledak. Aku tak lebih dari benda pasif yang tak mengerti harus berbuat apa ketika apapun harus terjadi dalam pengalaman, dan pada saat yang sama ketidak berdayaan itu menciptakan aku sebagai mahluk keji yang pintar melukai, mencacah dua hati pada detik yang bersamaan. Dua hati? Bukankah ribuan jumlahnya? Ya, berapapun jumlahnya tak terhitung tergantung dari siapapun yang berkehendak menitipkan predikat bersalah sebagai milikku yang sesungguhnya. Bagi kemuliaan hidup orang orang yang berhati mulia aku hanyalah monster mengerikan di peradaban. Maka jangan cemaskan, sebab kegelapan akan sempurna menjadi sinar bagi dunia lamaku. Tak ada kehidupan yang baru, sebab yang baru adalah ketika bunda melahirkanku dengan bekal nyawa segalanya untuk perjalananku.

Lalu aku minta maaf kepada kehidupan kalau adaku hanya menjadi jelmaan dari sebilah pedang ditangan si buta. Maafkan aku atas ketidak bisaanku menjadi malaikat harapanmu, wahai hati . Sungguh semestinya aku tak mengharap diri menjadi sesuatu yang meneduhkan, apalagi menjadi berarti sesuatu bagi siapapun. Entah nanti, entah kapan…




Cubicle, 060705