Wednesday, August 30, 2006

Panggung Sandiwara

Bahwa dunia ini memanglah panggung sandiwara terbuka. Dimana kita saling menonton peran orang lain dan menonton pun mengambil peran sebagai penonton di panggung itu. Kita menjalani skenario cerita berdasarkan karakter dan cara masing masing, semuanya serba otodidak, alami. Dan, setiap kisah manusia itu, dengan penyuntingan yang tepat akan menampilkan kisah epik yang mengagumkan. Setiap orang memiliki epiknya sendiri sendiri, konfliknya sendiri sendiri juga klimaksnya sendiri sendiri. Penderitaan digambarkan sebagai semangat, sedangkan kesedihan dilukiskan sebagai harapan. Setiap kata dari dialognya bercita rasa sastra yang tinggi, mengayun ayunkan langkah setiap cerita. Para pemain sandiwara terbuka itu juga merangkap sebagai si pengarang cerita, berdasarkan ambisi yang memerlukan dosis kecil realitas. Orang berselingkuh dari hatinya sendiri semata mata karena takut akan kehidupan. Dunia, isinya melulu cerita tentang hubungan antar pribadi, dengan pemahaman pribadi pula. Persilangan dua pribadi membentuk sinergi dunia kecil dimana si pribadi saling hidup dan tinggal didalamnya, mengukir kisah riwayat diri didalamnya.

Berfikir tentang panggung sandiwara sedikit menyejukkan, bahwa pada saat ini dengan apapun yang dikerjakan dan alami juga rasa, adalah memerankan satu karakter dalam panggung sandiwara itu. Hanya pemeran saja, tanpa berhak memilih peran apa yang kita mau atau tidak sukai. Sebagian orang tampak harus membawakan peran yang lebih tragis dan mengerikan. Diri cuma bisa memandang, memperhatikan dan mencoba menganalisa bagaimana orang lain mengambil perannya masing masing. Setiap peran yang dilakoni memiliki tingkat kesulitan berbeda beda dengan standar pengukuran yang tidak baku. Peran diri menjalani apa yang dijalani sekarang juga hasil jerih payah diri menyusun cerita tentang akhir yang bahagia, tapi apa daya terkadang skenario dalam hidup tidak dapat dengan mudah diatur dan direkayasa karena keterlibatan peran peran lain dalam alur cerita kita. Jalan cerita bisa saja melambungkan pemerannya ke langit ke tujuh, dan pula menghempaskan sang pemeran menjadi serpihan debu dalam latar belakang kisah penderitaan.

Setiap kita dibekali dengan kemampuan untuk mempelajari peran peran lain. Yang mungkin lebih menantang, ataupun lebih mudah. Peran peran tersebut membentuk sinergi tentang sebuah alur cerita mengenai bagaimana panggung yang megah ini menjadi hidup dengan segala intrik dan strategi. Mengaitkan setiap babak cerita menjadi resensi atas kebolehan manusia memainkan perannya masing masing. Akhir cerita mungkin tidak akan mudah ditebak seperti layaknya sinetron yang marak di televisi. Akhir cerita dari sandiwara dunia di panggung nan megah ini terkadang pun tidak ada akhirnya. Setiap penonton bahkan diminta menterjemahkan sendiri apa yang terjadi ketika sebuah peran sampai di episode akhir. Pun begitu, sandiwara tetap saja berlangsung, bergulir karena keharusan seperti layaknya bumi yang berputar. Apapun akhir yang akan dimiliki oleh setiap peran, tentu saja tercipta dari kontribusi pemeran itu sendiri, dan bagaimana pun itu, akhir tetap saja menjadi akhir. Dimana sebuah peran memperoleh batasan tampil, dan menyimpan kisah cerita yang dimainkannya, sampai diperoleh kata...TAMAT untuk perannya sendiri; nanti jika si pemeran mati. Tapi panggung sandiwara toh tetap terus memainkan cerita, sambung menyambung dari setiap cerita individu menjadi sebuah sejarah peradaban manusia…

Semestinya kita ikhlaskan saja semua kejadian, sebab kita hanya menjalankan peran di panggung sandiwara terbuka itu meskipun dengan kejujuran tertinggi sekalipun…

*Percakapan pikiran matahari dan embun pagi di sudut bumi yang sepi suatu ketika.

Jakarta – Lampung, August 29, 2006

Friday, August 25, 2006

Tumbang

Pohon kehidupan, halte singgahan perlintasan hati telah tumbang ke tanah menghalang jalan tertinggal matahari yang menghangatkan luka disetiap getah yang tak mau mengering. Setan setan jahiliyah anak keturunan masa silam tak jua hendak pergi, menelusup jauh bahkan sampai ke lorong mimpi. Pohon peneduh kini kehilangan ketinggianya, terkapar menunggu bakteri berpesta dan mencabuti daunya satu satu hingga hilang samasekali arti keberadaan. Orang orang datang dan pergi, mendekat dan menjauh, mempermainkan jarak sesuka hati. Cerita ketidakbenaran disorongkan sebagai sesaji, sekaligus jamuan untuk dinikmati sambil menunggu mati.

Harapan berubah bentuk menjadi keajaiban bagi pengemis asa yang lama dibenamkan dalam lumpur pekat kenangan, yang berubah menjadi mimpi dan keseharian. Barangkali saja suatu hari kelak akan ada jatah keajaiban bagi pokok yang terkapar sekarat menghitung musim demi musim berlalu meninggalkanya sendirian. Atau barangkali semua akan kembali kepada azas berlakunya setiap kejadian, dimana alam sanggup memberi kehidupan imateri pada tiap cabangnya berkat dari akar angan angan yang mengembara juah mencari jawaban.

Ia yang rubuh tanpa daya, terjepit oleh keyakinan salah berbentuk kesimpulan juga menerima segala warna penghakiman, hanya menunggu alam lain dimana dia boleh jadi penghuninya…


Gempol, 060825

Tuesday, August 22, 2006

Ode dari langit


air mata sebutir jatuh dari angkasa tak berwarna
tercecer dari pigura jiwa yang koyak oleh pedang para perompak di palagan maha luas peradaban.
Seseorang telah menjadi korban dari kebiadaban,
anak korban dari korban kebiadaban lain lagi
yang menjadi adat bagi isi bumi.
lalu ia adalah laki laki, suatu ketika anak emas para dewa dewi….
dikehampaan langit kini terbuang sendiri,
sedangkan malaikat dan bidadari jauh terdampar di muka bumi. dikesendirianya ia bersahabat dengan gelap,
warna hitam yang kadang membias jadi kelabu tanpa tepi
; warna terjemahan hati dan jiwanya yang mati.
Gelap telah menyembunyikan perwujudan materinya,
menguburkan bunyi peperangan dari serbuan musuh yang tak mau berhenti bersama musim pada musim yang datang sesuka hati.
berabad ia berperang dengan arwah jiwanya sendiri.
Cinta pada gelembung udara lah yang telah menjerumuskanya melambung mengikuti terbangnya
lalu tersesat jauh dari permukaan bumi.
keyakinanya bahwa cinta adalah muara kehidupan telah memberinya restu dulu,
kini melenyap bersama datang gelap yang panjang.
Ia tertipu cintanya pada gelembung udara yang dipujanya.
Lumpuh layu kehilangan makna hidup ketika akar jiwanya direnggutkan paksa. Cinta yang menghela telah pergi dan mati.
Sejak itu gelaplah semata yang mengerumuni, dan sesenggukan ditengah sunyi menjadi cara meratapi kehilanganya.
Hanya jiwannya yang tinggal hidup,
mengembara dari batu penyesalan ke batu penyesalan lainnya.
Sakit hati dan kekecewaanya hanyalah kutu rambut semata,
juga dendam dan kebencian hanyalah ngengat biasa.
Laki laki kekasih para dewa dewi,
kini kehilangan arti mati dan hidup.
ia hannya berjalan membawa mimpi membeban akan ditemukanya muara kehidupanya
yang sempat menghilang diterkam angin buas penghianatan.
Dalam gelap segalanya hambar,
kecuali rasa semata yang ter-raba
sebagai tanda bahwa hatinya masih hidup berdegup.
Terkapar lara,
ia menangis mengasihani diri…

Gempol, 060822

Sunday, August 20, 2006

Sebuah malam yang tak pernah selesai.

Angin kering menghantar udara berisi kepingan debu pada sisa senja. Gelap fikiran mewakili hampa warna malam yang merangkak tertatih menyusuri cadas kenangan kadang terperosok pada lubang jalanan yang telah dipersiapkan oleh angan angan. Pengingkaran perlahan menjelma jadi ironi yang meracuni fikiran fikiran sehat tentang keberadaan alam kenyataan. Ironi yang menjebak usia dengan khayalan diluar tembok kemungkinan tentang sebuah hidup yang biasa saja, sebuah identitas yang wajar saja, tentang sabuah riwayat yang luar biasa. Inilah hidup saudara, dimana setiap orang terkurung rapat dalam dinding kaca peradaban dengan aturan kepantasan sebagai teralinya yang kukuh meragukan.

Raga tak berjiwa dengan hati yang cerai berai oleh olok olok ironi tersandar hampa pada tembok kenangan. Risau menjadi raja yang memperbudak otak untuk tunduk takluk pada lubang pekat kekinian. Kenangan terlalu jauh diceraikan jarak, sedangkan harapan menguap bersama iblis yang tak henti menyiksa jiwa letih. Keletihan yang mematikan syaraf cita rasa bagaikan puntung rokok yang tergolek di asbak ruang tamu; limbah dari ketidak gunaan. Dunia hambar menghampar sejauh indra penglihatan sanggup menatap menembusi hitamnya malam; disana sosok imateri memulai penjelajahan alam kebingunganya atas menjadi ruh tanpa identitas kesemestian. Menjadi jiwa tanpa kepemilikan bahkan oleh baginda Kerisauan sekalipun. Menjadi ampas atas intisari perasaan yang sempat melambungkan, mengambangkan dan juga menenggelamkan keakuan.

Sebutir debu hanyalah pantas menunggu antara pagi datang dan malam menjemput sampai akhirnya pagi menjemput jatah kewajibanya ketika malam berlalu pulang. Keinginan dan ketidak inginan telah menyekutu menjadi ketiadaan, ketiadaan atas keinginan sekaligus ketidak inginan. Biar saja semua datang dalam kehidupan, telah dipaksanya ego untuk menerima jatah hidup dan memberi apa yang sepantasanya terbagikan. Sebutir debu hanya pantas menuruti duli suratan diri dalam helaan angin yang tak tertebak arah lajunya. Bahkan windsock kebanggaan yang pernah dianggap menjadi peraba kemungkinan terdekat masa depan telah berlaku durjana, menipui keyakinan dengan harapan muskil. Tak diperlukan lagi, ruangan gudang untuk menampung rencana apalagi mimpi.

Kebaruan membandul bagaikan bencana, mencoba mengeja jawaban atas tebakan seperti apa rupa masa depan. Tanah gundul di hadapan terbatasi oleh pagar kokoh langit pengetahuan, sepi gung liwang liwung hanya tinggal puing puing kehidupan yang telah menjadi graffiti kuno di dinding liang kuburan. Benih harapan nampaknya akan kesulitan untuk tumbuh di tanah gundul ini, sedangkan segala privilege diberikan gratis demi subur makmurnya pohon pertanyaan yang bercabang keingintahuan dan berakar ketidak percayaan. Adakah hidup di planet ini sekoloni alasan untuk dapat mengkompromikan setiap pertanyaan yang memberontak atas status pura pura?

Bahkan pengemis tua di perempatan jalanpun masih sanggup menggadaikan kebijaksanaan usia demi harapan. Di tanah gundul ini, tak diperlukan materi apapun untuk tetap bertahan hidup. Bahkan hak istimewa sang pertanyaan sekalipun tak akan sanggup menjabarkan alasan sebagai jawaban atas pertanyaan; kenapa malam tak pernah berakhir di tanah ini…

Gempol menjelang subuh 060820

Friday, August 18, 2006

Perubahan membawa perubahan

Perubahan akan segala sesuatu terjadi karena kehendak alam atau takdir yang tak bisa lagi dielakkan. Segala bentuk perubahan terjadi dan muncul dari pola perubahan lainya yang mungkin langsung atau tidak langsung memberi dampak karambol kepada dimensi lain, kehidupan lain pula. Menganggap hari yang berganti adalah perubahan adalah cara berfikir primitive yang menyesatkan. Bukankah manusia sendiri yang membuat perubahan dengan menitipkan nama nama hari yang berbeda beda, pengkotak kotakan dimensi waktu? Bukankah pagi hanya berupa rutinitas siklus alam yang ada sejak pertama alam diciptakan? Sungguh, tidak ada yang berubah, saudara.

Lalu manusia, mahluk sosial yang berkelompok dalam penjara peradaban dengan aturan kepantasan sebagai teralinya, batasan batasan yang tak dikenal dalam dunia bathin. Setiap perubahan akan membawa efek karambol bagi perubahan masadepan setiap individu. Orang bisa saja menemukan kesadaran yang menyebabkannya berubah dalam tingkah laku yang didasari dari cara berfikir. Sebuah tragedy, atau peristiwa tertentu yang dialami seseorang akan meninggalkan impact yang kemudian mempengaruhi rute jalan fikiran. Jalan fikiran yang terpengaruhi kemudian juga akan berimbas kepada implementasi sikap sesuai dengan perintah dari sang fikiran. Besar kecil perubahannyapun akan sangat tergantung dengan seberapa kuat pengalaman akan bisa mendedikasikan optimisme dan pesimisme kepada alam fikiran.

Perubahan tingkah laku (baca; kepribadian) yang positif timbul dari fikiran fikiran positif hasil dari penangkaran kumpulan pengalaman. Sebaliknya, perubahan negative menjadi lebih rendah tingkah laku seseorang banyak pula dipengaruhi oleh cara mencerna pengalaman secara negative. Apapun bentuk perubahan dari si seseorang, tentulah akan berdampak kepada lingkungan dan personal environment-nya, menimbulkan perubahan yang menggerbong kepada aspek aspek kehidupan yang lainya. Proses keseluruhan perubahan terjadi searah laju waktu di alam maya. Labilitas emosi manusia adalah kunci dari dinamika perubahan di sekitarnya, dan pada beberapa kasus membawa dampak bagi kemajuan maupun kemunduran kemajuan peradaban. Dampak dari labilitas emosi individu secara mutlak dialami oleh si individu itu sendiri, kemudian berefek kepada kehidupan pribadi disekitarnya.

Perubahan pada kisah hidup seseorang timbul karena adanya pengalaman yang memiliki efek kejut besar dimasa lalu, efek kejut yang besar timbul dari cara menerima si pengalaman masuk menjadi property psikologisnya. Dunia tidak berubah, hanya manusia saja yang tak berhenti bergerak dinamis. Gagasan gagasan yang mungkin hanya berbuah ketidak mungkinan dimasa lalu bisa deterjang menjadi mungkin pada dimensi waktu lainya, bertahun ataupun berabad sesudah gagasan itu lahir. Emosi adalah hal wajib manusia yang terus dan selalu berubah ubah, sesuai dengan alam fikiran yang diisi oleh catatan pengalaman. Sebuah ketidak mungkinan hari ini bisa menjadi sesuatu yang harus terjadi dikemudian hari.

Terlalu optimis bahwa sesuatu tidak mungkin terjadi adalah mempertaruhkan hati untuk disakiti oleh kekecewaan. Optimisme hanya perkiraan, demikian juga pesimisme. Mengingat bahwa segala hal dalam kehidupan selalu bergerak dan berubah, maka tak terkecuali juga hal hal yang mengandug sifat ‘tidak mungkin’. Segalanya bisa terjadi, dan ungkapan sederhana itu mengandung kebenaran mendekati seratus prosen. Mungkin kita kadang terlalu yakin bahwa orang lain akan melakukan anu atau orang lain tidak akan melakukan anu. Kita tidak pernah bisa mengenal seseorang secara tepat, saudara. Menganalisa kepribadian hanyalah mengira ira jalan fikiran orang itu kemudian menganggap diri mengetahui persis segala hal tentang seseorang, dan analisa memberi peluang sangat lebar untuk salah. Judulnya jadi sederhana, yaitu salah mengira ira atau kata lainya tidak menduga. Semua terjadi dengan sederhana juga, dengan optimisme berlebih menganggap bisa membaca fikiran orang selama berinteraksi.

Bagaimana kita bisa tahu apa yang diketahui dan tidak diketahui orang lain secara lebih? Terlebih lagi bagaimana mungkin kita bisa mengetahui apa yang orang sukai dan tidak sukai? Jawaban dari segala pertanyaan sejenis hanyalah dugaan, perkiraan berdasarkan perhitungan pengalaman. Kita tidak pernah tahu apa yang dikandungkan emosi seseorang terhadap kita. Bahasa tubuh hanya menyampaikan isyaratnya, hasil provokasi yang intens dari otak pengendali urat syaraf. Bisa saja, seseorang yang pada satu saat sangat membenci akan berubah menyayangi. Demikian pula, bisa saja orang yang kita anggap tidak memiliki ketergantungan emosi dengan kita pada suatu saat nanti menyatakan cintanya.

Bagiku, masa depan adalah ribuan pintu kemungkinan sebagai jubah dan seragam bagi optimisme yang hampir padam…

Tertitip salam untuk Novan somewhere

Gempol, 060818

Wednesday, August 16, 2006

Enampuluh Satu

(renungan untuk peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia)

Enam puluh satu tahun sudah negeri ini dideklarasikan sebagai negeri yang bebas merdeka dan berdaulat penuh sebagai sebuah negara, lengkap dengan pemerintahan, territorial, dan tentu rakyatnya. Sebagai sebuah bangsa, nasion, enam puluh satu tahun bukanlah masa yang singkat untuk bisa memanfaatkan fungsi kedaulatan itu bagi kemakmuran seluruh isi negeri semakmur makmurnya. Lika liku perjalanan sejarah sebuah bangsa pasti selalu diwarnai tragedi, intrik maupun kesalahan kesalahan prediksi oleh sebab mengemudikan sebuah negara sama saja meletakkan dasar dasar yang akan dipijak dimasa yang akan datang yang notabene undpredictable.

Dari sistim kemasyarakatan yang monarkis dan terkotak kotak di zaman baheula tua kemudian disepuh sedemikian rupa dengan kebudayaan barat yang dibawa bangsa belanda dari belahan utara bumi pada zaman baheula lebih muda, mental kebangsaan kita mengalami transisi yang ekstrem, dari kebanggaan menjadi sebuah kaum yang kental dengan rasa handarbeni, hangrungkebi dan hangrosowani, kemudian dibalik grempyang menjadi kaum budak yang tunduk luruh dibawah kaki kaum penjajah, hanya karena orang putih dianggap lebih maju, lebih beradab dan tentu dipercaya lebih bijak. Hasilnya sama sama kita tahu, tigaratus limapuluh tahun lebih nenek moyang keturunan kita dikebiri sedemikian rupa hak haknya sebagai nasion menjadi budak di tanah kelahiran sendiri dan dijauhkan dari peradaban asal muasal.

Menilik dari sejarah pula, kita bisa simpulkan bahwa memang bangsa ini sejak zaman dulu adalah bangsa yang rendah hati, andhap asor dan tentu murah hati. Keramahan dan permakluman bangsa ini banyak diartikan sebagai kemalasan bahkan lebih mencolok lagi diartikulasikan sebagai kebodohan oleh kaum putih pada masa lampau. Apakah benar nenek moyang kita bodoh? Pendapat itu menurut saya sama sekali keliru. Bukan karena pandangan subyektif yang muncul karena kita ada karena mereka, melainkan lebih kepada penilaian bahwa setiap bangsa memiliki local environment – nya sendiri sendiri dan tingkat kecerdasanya sendiri sendiri. Hanya saja aturan dunia, tingkat kecerdasan lebih diukur dari penguasaan terhadap hal hal materialistik kemajuan ilmu pengetahuan. Pendeknya up to date mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan bangsa Polynesia yang menduduki kepulauan membentang dari Sumatra sampai Papua ini memang memiliki kareakteristik yang konservatif, memelihara budaya dan peradaban nenek moyang sebagai kebanggan dan jubah kebangganya. Sayangnya karakter seperti itu mudah ditembus melalui individu individu, pencekokan terhadap cara berfikir dan tentu propaganda yang menyesatkan maupun tidak menyesatkan tentang jati diri sebuah kaum.

Tigaratus limapuluh tahun lebih menjadi kambing congek bangsa lain tentulah meninggalkan bekas mendalam kepada perubahan karakter mental berfikir bangsa ini. Mental karakter bangsa terjajah! Gembar gembor kemerdekaan menjadi jargon mujarab bagi para agitator politik bangsa tanpa bisa melepaskan diri sendiri dari mental terjajah. Demikianlah kaum terjajah, yang mengidamkan kebebasan sebagai satu hadiah, yang bagi bangsa ini harus dengan susah payah dan pengorbanan luar biasa baru bisa diraih. Mimpi bagi kaum yang terbelenggu semuanya sama, kebebasan! Dan dalam kebebasan itu berisi bermacam macam nilai kebaikan yang menjanjikan, kebebasan sebagai ladang garapan untuk membangun negeri agar semua menjadi makmur.

Bagaimanapun juga kita patut berterimakasih kepada Belanda sang penjajah, karena mau tidak mau, suka tidak suka, banyak dasar dasar administrasi pengelolaan negara ini diletakkan oleh mereka. Belanda juga punya andil dalam membangun produktifitas asset negara maupun pengelolaanya. Dan yang lebih penting lagi, kita patut berterimakasih kepada Belanda sang penjajah karena diwariskan kepada kita bangsa terjajah ini sebuah semangat persatuan sebagai satu bangsa yang utuh dengan kesadaran bahwa kita terdiri dari ratusan ribu etnik, adat, budaya yang memiliki spesifikasi sendiri sendiri. Warisan berupa semangat persatuan itupun barangkali bukan tepat sebagai warisan sebab semangat itu terbentuk dari pengalaman empiris berkepanjangan ditambah dengan arus zaman yang memungkinkan orang untuk memiliki hasrat membangun dan maju melangkah kedepan, menyongsong tantangan zaman.

Toh kenyataanya, semangat kesatuan itu pula yang menjadi ujung tombak dari terwujudnya kemerdekaan, pengakuan atas kedaulatan bangsa sendiri atas diri sendiri. Kesatuan melahirkan gagasan gagasan brilian tentang bagaimana mengelola sebuah bangsa, melahirkan individu individu idealis yang memiliki sitemap lengkap tentang rancang bangun sebuah pemerintahan yang absolute. Ketika ‘bola’ kedaulatan itu sudah berada di tangan, kemudian yang terjadi adalah debat demi debat panjang tentang pola pengelolaan yang dari satu kepala dengan kepala lainya tentu berbeda. Bahkan perbedaan itupun acap kali disikapi dengan cara yang berbeda pula. Enam puluh satu tahun sesudah Soekarno membacakan proklamasi, bangsa ini masih saja berkutat dengan definisi definisi yang melebar, dan sedikit melupakan arti harafiah dari kata “m.e.r.d.e.k.a” itu sendiri.

Penulis yang pendek nalar ini mengartikan kemerdekaan sebagai kebebasan sebuah negara, sebuah bangsa dari segala macam ancaman dan ketakutan. Kemerdekaan semestinya adalah sertifikasi dari kebebasan akan rasa tertindas, perlakuan tidak adil, maupun kebebasan dari rasa takut dari apapun. Makna kemerdekaan itu sendiri lebih detail seharusnya menjadi landasan mental nasion, setiap individu bangsa Indonesia. Sebuah pola pemikiran progresif yang menegaskan bahwa baik buruk, kemajuan maupun kemunduran bangsa ini terletak pada individu tiap gelintir manusia yang mengaku sebagai warga negara Indonesia. Kemerdekaan idealnya disikapi sebagai sebuah tonggak baru untuk melangkah maju bersama sama, membangun dan memelihara demi tercapainya kesejahteraan setiap gelintir manusia penghuni negeri. Kemerdekaan memberikan peluang seluas luasnya kepada kita untuk turut berpartisipasi secara penuh untuk mewujudkan gagasan gagasan agung itu.

Tetapi apa lacur? Mental karakter sebagai bangsa terjajah masih lebih mendominasi bangsa ini. Kebebasan bagi sebagian orang (kapanpun masanya) lebih dilihat sebagai peluang untuk memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi. Semangat kesatuan sesudah enampuluh satu tahun merdeka terasa lebih mengendur, berubah menjadi kotak kotak labirin oligarki. Dalam kaitan pengelolaan negara, tidak ada hal yang menjadi sederhana di negeri ini. Undang Undang Dasar sebagai landasan konstitusional paling sahih di negeri inipun sering hanya dilangkahi, atau dipajang di rak buku sebagai simbol, bukan pelaksanaan atas nilai yang terkandung didalamnya. Mental purba yang memandang hal hal yang datang dari luar dan tak diketahui pasti dianggap sebagai sesuatu yang lebih bagus dan patut untuk ditiru. Pendidikan generasi mendatang lebih didominasi oleh tayangan televisi yang lebih banyak menonjolkan kebobrokan akhlak maupun tontonan tanpa nilai yang dicap sebagai hiburan yang melambungkan mimpi mimpi dan membuat anak anak kita jadi gemar onani. Dari mana datang semua budaya baru itu sesudah enampuluh satu tahun merdeka? Dari kerajaan Majapahit? Samudera Pasai? Hikayat Hang Tuah? Atau kitab ramalan Ranggawarsito? Atau hikayat hikayat yang mengandung petuah luhur bagi pembentukan nurani generasi muda dari setiap pelosok negeri? Jawabanya kita tahu, bahwa semua bukan berasal dari itu semua. Tivi dengan canggihnya mencekoki otak anak anak kita dengan mimpi, menggembosi karakter tunas tunas muda bangsa ini menjadi kaum tanpa akar, hidup menggantung di dahan pohon mati.

Apa yang kita harap dari generasi muda dengan bahan mental dari tayangan tivi? Kita tentu tahu pasti bahwa enampuluh satu tahun setelah kemerdekaan, bangsa ini belum memiliki karakter bangsa, masih gentayangan mencari jati dirinya yang terus diingkari sebagai sebuah kaum monarkis absolute yang mengemban teguh wawasan kebangsaan, yang memiliki rasa memiliki, melindungi, dan berani membela terhadap kepentingan negara dalam bentuk apapun. Bukan lagi sikap berlawanan arah antara pemerintah dan warga negara, penguasa dan rakyat jelata. Indonesia masih tetap menunggu lahirnya sebuah generasi berkualitas yang akan bisa mengelola negara ini dengan bijaksana dan mengembalikan semangat nasionalisme sebagai tali pengikat keberagaman isinya. Jika semua orang mengerti betul bahwa fungsi gelintir individu adalah untuk negara, maka kita tidak perlu risau lagi melihat tayang tivi tentang betapa gigihnya Satpol PP melakukan law enforcement bagi ketertiban umum, razia gelandangan, pengemis, anak anak jalanan, pembongkaran lapak pedagang kaki lima, razia pelacur dan sebagainya. Darimana semua itu datang dan berkembang? Kita tahu, bahwa semua bermula dari ketidak becusan pengelola negara menjalankan fungsi elemental sebagai pengemban, pengayom, pelindung dan sekaligus pemimpin rakyatnya. Mari berkaca didepan cermin besar, betapa banyak atribut asing menempel di tubuh dan pakaian kita dan tak satupun menerbitkan patriotisme yang membanggakan.

Enampuluh satu tahun setelah kemerdekaan, kita masih tetap menunggu sebuah generasi terlahir dengan nation character yang jelas, dan tugas kita adalah membentuk embrio dari hari ini, dari diri sendiri.

Dirgahayu Indonesiaku, jayalah kembali engkau seperti di masa lalu…


Gempol, 060816

Sunday, August 13, 2006

The Pain

(An ultimate human drama)

Menjabarkan perih, seperti halnya menguraikan bibit keindahan dalam pembungkus seni yang sesuai. Keindahan yang lahir dari tetes demi tetes darah dari lukanya jiwa, membaur dengan partikel bebas lainya dari angkasa, lalu bersinergi kompak menyuguhkan bangun bangun keperihan yang indah nikmat. Sebagian luka kerasan tinggal lama lama, membentuk kampung dan peradabanya sendiri, menjadi penguasa lalim bagi labilnya bathin di kadang kala. Mereka tinggal dari generasi ke generasi, menempelkan label dendam di setiap jendela kepengapan dimana diri bisa sedikit mengntip dunia diluar dari keruh dan gemuruhnya tempurung kepala. Dramatisasi dari kekecutan hati sebagai bumbu atas luka yang menganga, adalah cara mengekspresikan nilai estetik dari penderitaan. Dan seni sebagai pembungkusnya, memelihara agar luka tetap ada, menjadi sumber keindahan bagi seisi dunia.

Keindahan dari penderitaan menjadi lebih mantap terasa beralaskan pengertian bahwa segalanya terjadi di dalam lingkaran kaca kehidupan individual. Penderitaan setimpal dengan keindahanya tak tersentuh oleh jangkauan realitas, menjadi kepemilikan yang ekslusif sebagai satu elemen psikis yang memberi dampak kepada kualitas seorang manusia, yang mencerminkan independensi sebuah pribadi. Dunia pribadi tak ubahnya partikel bebas yang bisa membentuk debu, bisa berkelana sendirian dan bisa menjadi apapun dimana alam mendamparkan. Tak ada sesiapapun dimuka bumi ini yang bisa merasakan indah maupun perih yang sama dengan satu orang lainya. Yang bisa dilakukan adalah mengira ira, kemudian sebisa mungkin menimbang rasa diri untuk mencoba mengukur tekanan serta mencoba menemukan faktor faktor penentunya, kemudian menyimpulkanya dengan sebuah kata sederhana “ I can feel you easily” .

Bahkan diri kita sendiripun belum tentu bisa mengenal dengan baik nilai si diri dalam perspektif kualitas kemanusiaannya. Sifat inkonsisten dengan dalih mengikuti irama zaman tidak memberikan jaminan apapun terhadap sebuah kepastian dimasa depan. Bumi terus berputar, segala isinya pun turut terubah dengan siklus yang tidak teratur. Yang kita kenal pada diri kita sendiri adalah kembali lagi, penderitaan yang melahirkan seni, kemudian seni yang bisa menganak pinakkan rasa perih disekujur organ pikir. Kepincangan pikiran semestinya tidak terlihat sebagai sebuah keanehan atau bahkan dianggap sebagai sebuah cara mendramatisir keadaan. Akan tetapi kepincangan mental fikiran selayaknya lebih dipandang sebagai satu dari ribuan faktor yang membuat si individu eksis. Segala kecompang campingan perasaan itupun adalah satu elemen kecil dari sebuah keseluruhan utuh sebuah pribadi.

Bagi si cripple minded pun, bukan hal yang diingini terjadi kecacatan mental seperti itu. Jikapun perlahan maupun sekonyong konyong ia menyadari ada elemen elemen yang hilang atau tertimbun pekatnya kepedihan yang mengerak, dipandangnya apa yang tampak sebagai hidup normal apa adanya, bahwa memang harus demikian terjadi dan persis seperti itu kejadianya, menyadari bahwa semua hanyalah catatan biografi paling original, paling asli milik sebuah pribadi, sebuah individu, dunia dengan lingkaran kaca. Dunia yang rapuh terbungkus dalam gambar gambar pantulan dua warna hitam putih, sebagai perlambang dari hukum relativitas, aturan kodrati untuk soal keseimbangan. Semua pantulan dari dua kubu berseteru; logika dan hati. Meskipun kerap kali antara logika dan hatipun berjabat tangan dan saling memberi kompromi atas kepentingan masing masing. Ketika penderitaan hadir sebagai hasil hubungan gelap antara iblis dan akal, maka hati dan logikapun disibukkan dengan rapat rapat yang melulu mempertentangkan keraguan demi keraguan, prediksi demi prediksi, dan evaluasi demi evaluasi atas semua yang telah terjadi.

Lalu tidak ada segala sesuatu yang berdiri sendiri. Satu sama lain unsur dan elemen, saling berhubungan hanya dengan isyarat sensor. Semua mengangkat kepentingan yang sama dan satu saja, yakni manusia, kita diluar dari kehidupan diluar kita, dan sekaligus melingkupi segala riwayat dan kisah yang menyebabkan diri kita menjadi ada hingga tulisan ini terbaca. Penderitaan sekali lagi adalah baginda yang memerintah pribadi setiap manusia hidup dan berakal waras. Banyak orang bernasib tragis, runtuh dinding kaca yang melingkari kepribadianya, pecah oleh peperangan dahsyat antara hati dan logika dan kehilangan tempat untuk melihat diri. Mereka bahkan tidak menyadari kemalanganya sendiri, bebas dalam dunia ikatan sederet tatanan kepantasan dan aturan peradaban umum. Orang orang malang itukah yang beruntung karena mereka dibebaskan dari himpitan penderitaan mental? Ataukan mereka dari golongan dari orang yang justru gagal mengartikulasikan penderitaan dengan sebagai keindahan seni kejiwaan?

Ah, tidak saudara. Orang orang malang yang karena miskinnya hati nurani penguasa negara mereka harus menjadi manusia tak berguna diperempatan jalan ataupun sepanjang trotoar itupun adalah manusia juga, tetap memiliki jatidiri meskipun terlempar dari kumpulan peradaban. Di dunia mereka, penderitaan menjadi lembah terindah dan terluas yang mereka tinggali. Mereka yang kita pandang malang, telah menyempurnakan ultimate human drama. Pikiran mereka terbebas dari kewajiban berpura pura, serta kewajiban kewajiban lain sebagai simbol kewarasan seorang manusia. Kemalangan mereka hanya terletak di masa lalu, memfosil dan menjadi batu pijakan dalam kehidupan alam fikiran yang mereka bawa bawa tanpa beban kamanapun juga. Jiwa mereka terperangkap dalam kungkungan kodrat mahluk hidup, terbungkus dalam rangkaian kulit, daging, tulang, syaraf dan darah. Sebenarnya mereka adalah siluet bagi kehidupan fana. Terlalu terbiasa dengan penderitaan membuat mereka tak mengerti lagi apa itu penderitaan dan seperti apa itu rasanya perih hati. Tak ada seorangpun yang waras bisa mencicipi citarasa penderitaanya maupun nikmatnya dia berselancar dalam gelombang jiwanya. Demikian juga mereka, tak mengerti makna kewarasan dengan mengorbankan sederet nilai kemanusiaan hanya demi pengekspresian rasa kecewa, yang diganti nama menjadi penderitaan bathin.

Penderitaan dari segala sisi tetaplah absurd. Ia adalah dramatisasi indah dari sebuah hidup individu, titik debu bagi komunitas kosmik. Yes, the pain is an ultimate human drama…

Gempol, 060813

Wednesday, August 09, 2006

Jalani saja

(nasehat bagi langkah yang lelah…)

Jalani saja seperti dulu hingga engkau sampai di tempatmu saat ini. Dan jika memang ada alasan kenapa semua harus terlewati, biar saja nanti akan terlihat jua di persimpangan. Bengkak di lutut kanan mengisyaratkan tentang letih tulang kaki oleh beban jarak tempuhan. Jauh, berabad abad sendirian dalam helaan keyakinan dan keberuntungan. Mencoba berteman dengan iblis yang membeku, diri hanya menemukan kata kata membentur dinding, terbelenggu dalam bisunya sendiri. Kembali sunyi, hanya nyala api yang terasa dalam dada.

Terlintas dalam ingatan, tempat tempat yang jauh tak terkirakan, dimana badan telanjang hanya membawa diri tanpa beban tak berguna. Berpandu matahari dan piaraan nyali ala kadarnya. Sebuah tempat nun jauh dibalik jangkauan mimpi sekalipun. Mimpi, dialah yang meracuni kekinian yang harus dipijak dan seperti kaki yang riuh melangkah diatas landasan karet treadmill. Jalan di tempat yang sesungguhnya hanya letih yang terasa.

Ada saatnya langkah melemah, perlahan goyah bahkan sempat terpikir untuk berhenti dan menganggap diri telah cukup melakoni jarak tempuhan. Ternyata diperlukan kejujuran untuk sekedar pengingkaran sekalipun. Hawa panas dan busuk yang mengendap jadi bakteri telah mengaburkan segala bentuk pandangan kenormalan. Merasakan letih yang menghinggapi sukma, yang tertayang hanya sederet nisan pengalaman dibelakang dan langit tanpa warna dihadapan. Tanda tanya terus memukul mukul belakang kepala seperti palu godam yang hanya dibuat untuk meremukkan. Terlalu bersemangat dalam permainan hiduppun terkadang harus ditebus dengan kelumpuhan sebelah kaki, atau bahkan pembengkakan di keduanya.

Sewajarnyalah untuk menjalani saja semua, tanpa mengharap bertemu garis finish ataupun pos pos persinggahan. Tanpa mengharap apa yang bakal dilewati dan ditemukan nanti. Seperti ribuan tahun sebelumnya yang menyebabkan diri berada di ruang kekinian saat ini. Toh semua hanya terdiri dari susunan langkah kiri kanan, satu satu dan terus menerus. Syaraf penggerak otot kaki yang ikut hangus tak diperlukan lagi sebab memang fungsi kaki hanyalah untuk melangkah maju dan terus maju membunuh jarak tempuhan usia. Meskipun nasehat bijak dari nurani yang tumbuh setiap kali tercabut dari akarnya seperti bayi rumput yang baru saja menembus labirin mayapada, pupus dari orbit riwayat diri.

Dan jika kelak terendap tanya kenapa semua bisa terjadi, di persimpangan kelokan pertama akan jelas terbaca semua hikmah dari sepanjang perjalanan, sebagai pembelajaran atas hidup yang berazaskan praduga.

Maka jalani saja, langkahkan kaki satu satu meski lesu menuju ke langit tanpa warna dimana selaksa jawaban menunggu.

Gempol, 060809

Tuesday, August 08, 2006

Sunyi hati di tengah riuh

: Urip

Inilah raga yang tak berjiwa, daging berdenyut disangga belulang kumuh dengan tempurung kepala kosong berisi udara busuk bekas bangkai penghuninya. Telah disembelih mimpi untuk ditukar dengan sekedar senyum dan nyaman bukan untuk dirinya. Tugas kewajibannya sebagai manusia untuk menjadi manusia. Pengikat hati telah lapuk kini, membiarkan cinta tumbuh subur meninggi di tempat yang tak semesetinya. Kesunyian mengiringi setiap langkah, mendenging menikam riuh tawa dan jerit bahagia. Orang orang ada di dunia ini dimaksudkan untuk menikmati isinya, demikian juga penduka. Merasakannya dengan cuka cita akan menjadi seni hidup yang tak tertandingi oleh karya seni masterpiece manapun. Ia memiliki nilai tertinggi bagi pribadi yang mengalami dan menjalaninya. Hidup jadi terbebas dari rasa, terbebas dari kehendak masa depan, mengalir pasrah tak mengapung juga tak tenggelam. Menggelinding lemah mengikuti tinggi rendah lereng lembah usia. Dia tak memiliki tempat dimanapun lagi.

Dunia dibelakang garis pelipis hanyalah gelap berisi dugaan semata. Tak tampak pohon pohon raksasa makin subur menjulang, menjajikan alternative hidup sandaran hati dengan bahasa bisu. Disana terbangun bunker perlindungan dari terik tikaman dendam, dimana teriakan kekesalan dan jerit kesakitan tak dipersalahkan. Semuanyapun berjalan sendirian tanpa beban target tujuan, hanya pencarian atas sesuatu hak pribadi yang masih bisa didapatkan dari puing puing bencana. Biarlah jiwa berjalan tanpa rasa selama ia sanggup berdiri melangkahkan kaki, sebab hanya itu, sesederhana itulah semestinya hidup dijalani. Angan adalah angkasa dimana batasnya adalah udara. Emosi memotivasi gerak dalam jangkauan dinding dinding kepantasan yang menempatkan kata ‘tidak boleh’ sebagai pagar pembatas dan sekaligus garis penegas. Dan dinding dinding udara itupun begitu rapuhnya untuk diterobosi dengan melangkahkan satu kaki.

Hukum relativitas kemudian berubah menjadi absurd bahkan rancu kehilangan formula. Keseimbangan jadi gonjang ganjing mengikuti irama angin membacai alam. Dunia ternyata hanya setipis tebal uang logam untuk membedakan hitam dan putih sebagai patokan baku berlakunya hukum relativitas; keseimbangan. Urusan sakit hati tak pernah ada seimbangnya karena kekuasaan hati berbatas udara di setiap sisinya; maha luas tanpa ukuran. Kemana bermuara segala emosi rasa? Sedangkan hidup terlanjur dipatok harus memiliki rasa, semua tentang rasa. Sama halnya urusan mencintapun demikian pula berlaku idem. Ia memiliki ekspresi seluas langit sampai tak ada kemustahilan yang pantas disebutkan. Hati tak bisa dibendungi, diarahkan bahkan dibaca sekalipun. Ia adalah raja bagi sebuah pribadi yang memiliki kekuasaan penuh dalam setiap gerak dan aksi. Logika sang penasehat bijakpun kerap luluh lantak dibawah kaki sang hati. Mengharapkan orang untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang kita harap, sama saja dengan memetik asap rokok dan menyimpanya dalam toples untuk pajangan. Nisbiah.

Oh, sunyinya hati justru ditengah riuh hiruk pikuk segala hiburan. Hiburan atas apa? Hidup yang menjenuhkan? Atau sekedar memanjakan diri tanpa juntrungan sebagai penegas status sebagai penghuni bumi berperadaban? Peradaban, bukankah semacam permainan kehidupan dengan segala macam corak aturannya dibuat sebegitu mutlak hingga setiap orang menempatkannya menjadi papan peringatan dalam angan masing masing?

Diantara riuh keramaian dia merasa asing dan sendiri, terombang ambing dalam kemidi yang berputar pada poros yang sama, dengan sesal dan mual menjejali dada, dengan kemuakan yang melobangi kepala, meloncat jadi ludah yang menyembur liar, pertanda hati yang panas terbakar. Di sudut jalan ia muntah, mabok oleh nanah dari luka luka tak kentara yang diemban dalam jiwanya. Ia telah menjadi alat masturbasi emosi bagi hidup manusia yang menganiayanya yang hidup langgeng dalam bumi khayali, tak terkoyak apalagi luka.

Dufan – Ancol 060808

kisah dunia kecil berpelangi

Dulu pernah ada terjumpai dalam cerita, sebuah dunia kecil berpelangi. Dihuni oleh hanya dua hati dalam ayunan keraguan dan ketidak mengertian kisah masa depan. Berjuta tahun sudah kisah itu timbul tenggelam dalam permainan musim, antara menganggapnya ada dan mengenangnya dalam makam ingatan. Dunia kecil berpelangi itu, terbentuk oleh erosi, arus dan gelombang kehidupan tanpa desain bentuk maupun sebuah tata letak dengan kepastian, mengambil cetakan dari ketiadaan dan membentuk begitu saja tanpa kehendak yang berlebihan.

Dunia kecil berpelangi itu kini memfosil, tertutup oleh belukar dan sedimen biografi, kehilangan bentuknya. Pelangi yang dulu selalu melengkung mengitarinya dengan definisi multi fungsi telah patah dan tanggal, menjelempah di tanah kehilangan warna. Tidak ada kehidupan selain sisa sisa didalamnya, hanya tinggal jejak jejak percakapan menempel di setiap dinding batunya. Sejauh hati menerawang hanya hamparan hampa dari ujung ke ujung langit, kekosongan rasa dari tepi ke tepi mimpi. Gersang tak bertuan semata rupanya.

Kemana gerangan pemiliknya pergi?

Jauh ke negeri yang tak tersentuh oleh jangkauan keniscayaan. Memegang tara di tangan kiri dan pedang logika ditangan kanan menyusuri jalan perawan atas nama kewajiban dan tanggung jawab, memilih jalan yang tak lazim dilalui demi mengukur kualitas diri. Ia terusir oleh usia yang tak henti memburu merelakan dunia kecil berpelanginya musnah ditelan oleh musim demi musim yang lama kelamaan enggan mengabarkan keberadaanya lagi. Terpencil ia dalam kehidupanya yang sunyi, diam dalam badai kata kata yang selalu saja tak terlahirkan lewat mulut, hanya dicatatnya segala yang dialaminya dalam buku diary yang tak pernah terbaca.

Kenapa harus pergi?

Ia yang tinggal disana telah berabad abad menggigil kesepian. Berharap matahari akan datang benar benar membawa hangat bagi jiwa dan mendaftarkanya dalam angka statistik metamorfosa peradaban. Lalu ia lelah dan berhenti berharap, menjejakkan kakinya yang kecewa untuk mencebur ke dunia nyata yang sesungguhnya, serba besar, serba nyata. Ia pergi untuk selama lamanya, menumpang hatinya yang berlari kencang mengejar pencarian. Dan ia selalu dapat apa yang ia kejar. Ia pergi, beberapa detik sebelum matahari yang diharapkan benar benar datang dan menerangi semua sisi gelap dari isi dunia kecil berpelangi miliknya. Tapi kini dunia kecil itu tak berpenghuni, tak berpelangi dan tinggal menjadi fosil yang indah tersimpan dalam etalase kenang kenangan. Ia tak memiliki alasan apapun untuk membuatnya kembali menyambangi dunia kecil berpelanginya yang telah mati, terkubur tanpa nisan di palung hati.

Gempol, 060808

Monday, August 07, 2006

Kemanusiaan yang manusiawi

(hari ke 27 serangan Israel ke Libanon)

Manusia adalah binatang yang paling sempurna. Sempurna karena sifat dari semua jenis binatang yang ada dimuka bumi dimilikinya, masih ditambah lagi bonus berupa akal dan tentu nafsu. Akal dan nafsu inilah yang sering kali dijadikan tunggangan demi kelangsungan sifat kebinatangan, sebagai alat legalitas hukum yang sebenarnya dan sangat purba; hukum rimba. Dalam dunia binatang kita mengenal kekerasan ketika teritori terancam dan sebagai upaya untuk bertahan hidup seperti memang digariskan oleh kehidupan dalam mata rantai panjang mahluk hidup. sekali lagi, manusia menempati podium tertinggi dari mata rantai itu dengan kemajuan akal dan fikiran yang menghasilkan nafsu, lengkap dengan lemah dan kokohnya pengendalianya.

Dibelahan bumi bagian timur tengah sana sebuah kebanggaan lain lagi sedang dibangun dengan menyusun kepingan kepingan tubuh manusia mulai dari bayi, anak anak, remaja, dewasa, orang tua, dan manula, pria wanita maupun waria. Pun semua atas prakarsa manusia lainya juga. Mesin mesin pembantaian diciptakan untuk mempertontonkan kebodohan dan kerendahan akal yang disangkakan sebagai sebuah keunggulan. Sikap perwira semakin tipis dan membias ketika anyir bau mayat menjadi aroma rutin disela sela keporak porandaan tatanan peradaban maupun bangunan kemapanan.

Membedakan antara manusia dan binatang bukanlah dari sekedar penampilan fisik semata. Dari anatomi tubuh tentulah semua memiliki pola dan fungsi yang sama hanya kemudian implementasinya dibedakan oleh kemampuan otak untuk menganalisa dan mengolah fikiran menjadi sebuak tindakan, lepas dari penilaian biadab, beradab maupun laknat. Sebagai binatang yang paling sempurna, sebagian (kecil) manusia diberi keberuntungan dengan memegang kendali atas manusia lain dan bebas menentukan nasib baik buruk yang kemudian diserahkan dengan acak menjadi paradigma takdir. Sungguh malang mereka, manusia yang tersesat jauh dari batu pengingat jati diri kemanusiaan yang bernama nurani. Lebih malang lagi bagi mereka yang dengan sadar mengingkari suara nuraninya sendiri dan menuruti nafsu manusiawinya dengan menggunakan patron binatang. Maka manusia yang malang itu kemudian pantas untuk mendapat predikat baru sebagai binatang yang mengatasnamakan manusia. Semakin terlihat jelas marka batas antara manusia dan binatang justru dari caranya memperlakukan semua mahluk pelaku kehidupan, benda hidup maupun benda mati yang semua memiliki andil dan fungsinya sendiri sendiri.

Ketidak puasan manusia menjadi ciri khas yang kemudian dimahfumkan dengan sifat ‘manusiawi’, sedangkan efek negative yang timbul dari penggelontoran nafsu oligarki selalu saja mencari dalil dalil “kemanusiaan” sebagai wujud dasar dari kata; kasihan. Sedangkan binatang yang sebenar benarnya binatang, hanya mencari apa yang dibutuhkan, mennggunakan insting untuk bertahan hidup dan mengambil peran dalam siklus kehidupan secara wajar, dengan kewajiban yang dibenihkan oleh insting mereka untuk menjaga keturunan demi keberlangsungan siklus kehidupan. Jadi, sangat sederhana memahami pola hidup binatang, mereka hanya mengambil peran sesuai porsi dan menjalani kehidupan sesederhana mengirup dan menghembuskan nafas yang diatur oleh organ pernafasan masing masing, berbagi oksigen yang sama untuk sama sama mengukir kisah yang bisa jadi saling berbeda antara satu dan lainya.

Belajar dari sifat dasar binatang dan mau mengakui kebinatangan sendiri tentu akan menerbitkan sikap cinta kasih dan kemanusiaan yang manusiawi, terhadap manusia maupun mahluk lain penghuni bumi. Semua benda dan semua mahluk memiliki haknya sendiri sendiri, kewajibanya sendiri sendiri, dalam kapasitasnysa sendiri sendiri yang kesemuanya adalah pot puzzle dari sebuah kehidupan makro kosmik jagad raya. Sedikit saja memangkas hak eksis mahluk lain sama halnya dengan mengolok kepiawaian mengolah akal budi, mempertontonkan kebodohan diri sendiri. Perang juga semata adalah mengolok kerendahan atas akhlak binatang yang terperangkap dalam jiwa jiwa manusia yang mengalami krisis pengertian tentang makna kemanusiaan yang manusiawi. Dengan maksud dan dalih apapun, perang hanya pabrikasi dari satu rantai panjang kepiluan bernama korban.

Mari hentikan perang tanpa perang, tebarkan cinta kasih kepada sesama demi siklus kehidupan jagad raya…kita hanyalah debu di langit tak bertuan mayapada.

Salam cinta dari bunga langit!

Gempol, 060807

Saturday, August 05, 2006

Bangku plastik biru beku

Gerbong gerbong keresahan dan kesedihan datang dan pergi, melintas dan kadang terhenti sejenak untuk bergerak dan lenyap dalam kubangan ingatan. Di stasiun beban kejut dari kedatangan sebanding dengan tonase dua hati, dua ingin, dua badan yang dipisahkan jarak semakin menjauh. Inilah sebuah tulisan tentang romansa stasiun, dimana miliaran cerita hati yang diceraikan dan dipertemukan silih berganti terjadi, dengan saksi yang itu itu juga, sederet bangku plastik berwarna biru, dengan suhu beku bagaikan es batu.

Kedatangan yang berjodoh dengan penantian acap melahirkan sebuah pertemuan, yang kemudian diikuti oleh kegembiraan yang membuat jarum jam melipat gandakan gerak rotasi. Pertemuan fisik sebagai konfirmasi bahwa hati benar adanya (Q), disimbolkan dalam moment hitungan menit ketika senyum lebar menyambut dan kemudian tangan melingkar terasambut. Detik itu jarak terbunuh dan rindu yang menindih perlahan membias dalam percakapan panjang dengan bahasa sederhana; cinta.

Demikian juga perpisahan yang masih disaksikan oleh bangku biru beku berderet mentertawakan kesedihan dari dua jiwa yang diceraikan oleh menggelindingnya roda ke arah yang berlawanan. Ketika pertemuan mengkonfirmasi bahwa hati benar adanya, demikian juga perpisahan. Beban yang timbul dari rasa yang membandul meniadakan senyum berganti dengan kelopak mata yang menggenang, mengaburkan pandangan. Sebentar lagi jarak akan mengambil haknya, tak peduli luka sedalam apa ketika peluit stasiun menghentakkan keberangkatan. Lambaian tangan sesudah ciuman terakhir menterjemahkan hati yang gulung koming tak menentu, keruh oleh kesedihan yang mengharu biru.

Sederet bangku biru dingin membeku tak berhenti sibuk mencatati kisah kisah dramatis pertemuan dan perpisahan di tempat yang sama. Ia tak peduli dengan bumi pijakan sebelum dan sesudah terjadinya pertemuan dan perpisahan ketika gerbong gerbong cerita memuntahkan muatanya di tempat yang sama; stasiun pemberhentian kisah kehidupan. Setiap individu adalah kereta dengan gerbong pengalaman masing masing dan dengan track nya masing masing. Tak saling bersentuhan kecuali ketika singgah di stasiun pemberhentian untuk kemudian melaju kencang ke bilik dunia lain lagi, ke stasiun lain lagi tanpa seorangpun pernah tahu dimana lagi mesti berhenti dan kapan lagi mesti kembali.

Demikian juga kisah hidup yang menjadi penumpang dari kereta kehidupan, melulu saja berisi scenario tentang menanti kedatangan dan mengantar keberangkatan di stasiun pemberhentian. Di stasiun, diantara deretan bangku plastik warna biru yang dingin membeku, segala cerita berawal dan bermuara untuk terus berlalu dan berulang dalam siklus cerita setiap manusia. Dan, dari segala yang cerita yang tersaksikan, tak satupun mengerti persis tentang apa yang terasa, padahal semuanya hanya tentang rasa…

Mozes Kilangin Airport – Timika to Gambir 060805

Thursday, August 03, 2006

Pagi di tanah hitam

Membuka mata lagi pagi ini setelah waker menjerit jerit minta dikasihani, mata sembab oleh tangis semalam, hati pengab oleh mimpi buruk yang rajin datang memberi jawaban atas kebingungan logika yang tak henti bertanya tentang kejadian ciptaan para pendurhaka. Hawa dingin melilit tulang mengikat kaki menjadi enggan untuk melangkah menapaki tangga hari, merobek selembar lagi kalender tanpa angka. Tersisa puluhan kata kata, sisa obrolan bersama kesunyian semalam, seperti ratusan tahun silam, selalu tenggelam bersama berhentinya embun yang luruh di atap kamar.

Selamat pagi wahai tanah basah Papua, kuhirup lagi wangi lumpurmu yang menyeruak dari balik semak semak, menjadi bahan bakar seadanya bagi semangat yang tak lagi perkasa. Di tenggara matahari layu ditikam gerimis, sinarnya menjadi kelabu mempertontonkan gunung batu tak berpuncak; melulu berisi kabut tebal. Satwa hutan ceria menyambut terang, bercicit dan bernyanyi memanggil sang matahari yang kusut dipermainkan ketidak pastian musim.

Kaki lemah melangkah menjejak tanah, bersiap menjelajahi pagi dalam kehampaan rencana. Ikuti saja, ikuti saja setiap lembah dan medan di hadapan, tak peduli jurang atau entah tanjakan. Tak patut mengimpi tentang jalan setapak dengan rambu rambu penunjuk jalan, semua tersimpan dalam rahasia masa depan. Berikan yang terbaik bagi setiap inci kehidupan dalam perjalanan, tak perlu catatan maupun peta untuk sampai di tujuan. Anggap tujuan tak pernah ada, telah hilang ditelan separuh bumi yang runtuh jadi debu sejak satu setengah tahun silam. Biar saja badan telanjang sebab diri tak terdaftar dimanapun dimuka bumi. Identitas cuma kemewahan milik para pemegang tombol kehidupan, memainkan peran kekuasaan atas nama materi.

Gerimis yang menyapa ubun ubun mencoba menahan sesak dendam, memenjaranya agar tak berloncatan dari mulut berujud ludah maupun sumpah serapah tanpa tujuan. Semua dipendam, arloji di tangan kiri berhenti berdetak sejak puluhan tahun silam. Sebentar lagi mataharipun akan garang menikam, dan keringat membanjir membasahi tubuh pertanda energi terlontar ke udara entah bermakna entah sia sia. Seperti yang sudah sudah, hidup akan berjalan dalam hitungan musim yang tidak menentu, datang sesukanya dan menyuguhkan kecewa bagi siapa saja yang berharap terlalu banyak tentang datangnya kepastian dari ketidak pastian yang semestinya.

Di sini pagi bukanlah hari baru, ia adalah penjabaran dari ribuan hari berisi kesunyian dan kehampaan yang harus dijalani dengan setenghah hati yang robek robek dilumat kedurjanaan. Ia pun bukan awal dari lembar kosong bernama kisah sejarah, melainkan rutinitas berazas kewajiban, keharusan yang tak berisi dorongan hati. Entah akan berapa banyak lagi luka yang akan dipanen hari ini, entah berpa lusin tawa yang akan dipetik nanti. Biarlah saja, jalani saja kewajiban menjadi seorang manusia. Keberadaan disinipun telah kehilangan muara tumpahan, alamat pengabdian. Semua berjalan atas dasar siklus rutin semata, tanpa pola. Nilai perjuangan tak lagi memiliki makna apa lagi hakekat dari pengharapan. Manusia manusia buas berkeliling menengadah mengharapkan diri remuk jatuh ke tanah tak berdaya untuk diseret sepanjang perjalanan hidupnya yang dinamai takdir tanpa menimbang beban rasa.

Pagi di Papua, kerikil di tanah basah sepanjang jalan tetap tabah dalam eksistensi diri mereka. Mereka tak pernah mengharap menjadi sebongkah batu maupun segumpal lumpur, tetap menjalani kodratnya di hamparan jalan tambang. Menyembunyikan keluhan dan menjadikanya santapan bagi nafas, kehidupan fikiran dan bahkan mimpi yang sempat singgah malam nanti jika raga letih tergolek sendiri di di tempat yang sama; jauh, terpencil dan sendirian…

Kuala Kencana – Papua 060803

Wednesday, August 02, 2006

Indahnya pasifisme

Diam pasif, ternyata tidak selamanya mengandung makna bodoh ataupun kalah. Dalam sikap diam dan pasif kita lebih banyak memiliki kesempatan untuk mempelajari, memperhatikan dan menimbang untuk akhirnya membuat keputusan terhadap apa yang kita perhatikan dan pelajari. Sikap diam pasif juga bisa dijadikan wahana untuk mengukur seberapa bagus mutu dari orang lain yang menjadi subyek bersikap kita. Dengan diam orang tidak akan tahu apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui. Sikap diam seperti ini kadangkala mengundang orang untuk bicara banyak tentang kehebatan kehebatanya, keunggulan keunggulannya sekedar ingin menanamkan kesan secara subyektif bahwa dia berkualitas baik, mungkin lebih baik dari kita sendiri dalam anggapanya yang dangkal.

Kebalikan sikap ini adalah mengumbar segala macam cerita, pengalaman, filsafat yang itu itu saja tetapi dengan penerapan yang sangat miskin. Disinilah pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya” itu berlaku, saudara. Orang yang menilai orang lain dari sisi luarnya saja, tentu akan dengan instant menilai bahwa orang ini hebat, kualitas unggul dsb karena perbedaan karakteristik, budaya, bahasa, dan segala macam tetek bengek label peradaban umat manusia di dunia. Banyak orang yang menganggap bahwa orang asing yang bukan dari lingkungan yang dikenalnya secara impulsif diartikan sebagai orang yang unggul dalam kualitas. Orang seperti ini akan dengan serta merta mau membuat keputusan yang menyangkut tentang keberlangsungan nasib dan hidupnya, menganggap menemukan orang hebat sebagai sandaran. Keputusan spontan yang hanya dilandasi penilaia dangkal terhadap kualitas orang asing semata beresiko membawa dampak panjang bernama penyesalan.

Saudara, mengukur kualitas manusia idealnya adalah dari kepekaan nuraninya yang tercermin dalam sikap, perilaku, tutur kata maupun tingkah keseharian dalam berinteraksi dengan mahluk hidup lainya. Cara orang memperlakukan sesama dan bagaimana menempatkan hormat dalam skala prioritas praktek interaksinya sangat jelas adalah refleksi dari bentuk kepribadian yang ditimbulkann oleh cara berfikir dan cara memandang orang tersebut terhadap tatanan kehidupan. Cara pandang dan berfikir, terbentuk oleh banyak sekali aspek pengamalan empiris emosional dan pengalaman spiritual yang diterjemahkan menjadi sikap mental. Usia yang menua bukan jaminan kematangan, juga pendidikan tidak mutlak menjadi galah pengukur. Kerendahan budi timbul oleh ketidak patuhan terhadap nuraninya sendiri, penggunaan hak ego yang melebihi kapasitas terhadap orang lain dan sebagainya. Sikap seperti ini sangat mudah dilihat dari orang orang yang punya kepribadian sebagai penguasa yang menganggap dengan keberadaan pribadinya dia merasa berhak dan harus memiliki porsi menguasai terhadap sesuatu dari kehidupan orang lain.

Pasifisme menuntun kita untuk dengan teliti menilai orang lain dari banyak sekali faktor, mulai dari bagaimana sikap dan tutur kata, yang akan berujung kepada bagaimana pola berfikir si empunya sikap itu. Sebab saudara, segala sesuatu adalah bermula dari fikiran, dan fikiran setiap individu memiliki karakternya sendiri sendiri yang diimplementasikan dalam menjalani kehidupan ditengah mahluk hidup dan mati lainya di muka bumi. Ketika kita berhadapan dengan orang yang samasekali tidak kita kenal, ada baiknya kita melepaskan kepercayaan tidak sepenuhnya, tetapi tetap menjunjung tinggi hormat dan penghargaan kita sebagai sesama manusia. Sebab sekali lagi, orangpun akan menilai kita dari bagaimana kita bersikap terhadapnya ketika masih sama sama asing. Dengan begitu saudara, sikap diam pasif justru lebih memberi peluang untuk menentukan pilihan yang tepat apabila suatu saat kita harus membuat keputusan apakah kita akan meneruskan bentuk hubungan (apapun bentuknya) dengan orang tersebut atau cukup berhenti disini karena kita tahu dari pendalaman si orang asing yang tiba tiba menyeruak masuk ke dalam kehidupan kita. Keputusan berhenti ini bisa kita ambil ketika sikap diam pasif kita mementerjemahkan dengan jitu bahwa menyekutukan diri dengan orang tersebut lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Orang yang sengaja mengabaikan perasaan orang lain dan mengatasnamakan pepentingan sendirilah yang patut kita pertimbangkan untuk membangun sebuah perhubungan.

Dan jika orang asing itu ternyata hanya manusia –maaf- brengsek (jenis ini banyak sekali dijumpai di kehidupan), maka hendaknya kita tetap konsisten menjaga sikap dan tutur kata kita, tanpa harus mengharap berlebih bahwa orang itu sesuai yang kita harap yakni barbudi luhur dan berhati nurani. Tinggal kita doakan saja semoga dilimpahi hidupnya di dunia dengan rahmat dan karuniaNya. Dan dari situ kita akan belajar betapa indahnya sikap diam pasif dalam mengenal orang baru dalam kehidupan kita…

Portacamp 38 Papua 060802
(Tertulis untuk NW – DDA)

Tuesday, August 01, 2006

Satu senja di tanah hitam

Hujan badai baru saja reda, pucuk pucuk cemara takluk menggigil dalam diamnya. Tanah basah, ranting ranting patah menghitung luka luka. Empat ekor burung beo melintas cepat diatas camp, memekik lalu menghilang di kegelapan rimba. Serombongan awan kelabu bergerombol berkejaran menghapus jejak mentari sore.

Pada mesin penyambung rasa, sepatah demi sepatah kata menguntai menjadi rantai yang mengikat rindu menimbun dalam kandungan membeban hampir tak tertahankan. Ditanah ini, menyusuri jejak kenangan yang membenalu dalam jiwa, mencoba mengeja satu demi satu maknanya, tersisa indah dan sekaligus perihnya. Darah belum mengering dan tawa belum lagi reda didalam sana, menggumpal mempertegas hitam putih hidup yang terlewati. Serombongan iblis muncul mengepung dari setiap balik semak, merampas tempat kosong dalam bilik jantung yang tak terawat karena ditinggal pergi pemiliknya.

Hawa hangat dari tanah seberang membelai wajah, mengabarkan tentang tempat tempat teduhan hati yang mengharap diri kembali kedalam kesempurnaan masa dimana dunia kehilangan pemiliknya dan menjadi medan makna yang sesungguhnya. Lekaslah pulang wahai hati yang merana, padamu telah kesediakan sebaskom air hangat cinta untuk membasuh segala letihmu setelah diperdaya fikiran durjana. Di pintu kedatangan akan kusambut hadirmu tanpa tari dan nyanyi nyanyi, hanya segunung rindu yang menyesakkan dadaku (ucapnya pada senja yang semakin menua).

Hati mulai merayu rayu meminta penebusan atas rindu yang memerihkan, sementara bilik ruang dan waktu kokoh menjadi penjara keleluasaan. Bahkan jikapun saatnya kelak diri bertolak, penjara lain lagi menanti, dengan mata mata bengis yang menjaganya, dengan kata kata perih yang akan menjadi imbalanya. Seperti layaknya mummi, tak ada masa depan dicetak dengan pasti. Hanya menjalani saja setiap utas usia dengan kenelangsaan yang membabi buta. Tempat ini sungguhlan bukan milik diri, juga tempat dimanapun dimuka bumi. Terpencil, jauh dan menyendiri menyadarkan diri bahwa kematianpun tidaklah cukup berarti ketika hidup telah kehilangan tempat pengabdian untuk aktualisasi diri. Jika bahkan sungaipun memiliki muara, pohonpun memiliki akar untuk alasan hidup, diri hanyalah menghirup dan menghembuskan nafas sepanjang hari dari pagi, siang, sore malam hingga bertemu pagi entah sampai kapan.

Senjapun luruh disela sela porta camp, diiring gemuruh mesih dan nyala lampu lampu listrik. Pohon pohon raksasa menyaksikan kehidupan berjalan, melupakan badai dan hujan dan terus setia menemani bumi berjalan dalam siklus ketidak menentuan. Malam sebentar lagi kan datang, sunyi dan gelap mengurung bumi melindapkan segala tingkah polah seharian penuh. Perenungan perenungan menjadi mantera pengundang iblis berkerumun dikepala mencacah harapan yang tersisa. Mereka tak jua mau pergi.

Porta camp 38 – Papua 060801