Saturday, February 12, 2011

Kekerasan Beragama

“kesalahan orang pintar adalah menganggap orang lainnya bodoh, sedangkan kesalahan orang bodoh adalah menganggap semua orang selain dirinya sendiri adalah pintar” (PAT-Arus Balik)

Ini kisah di suatu negeri, dimana hukum tidak tegak tetapi doyong sana sini, dimana pengadilan menjadi tempat jual beli keadilan, dimana kebebasan bisa ditebus dengan aksi tipu tipu.

Ini kisah suatu negeri yang kacau, dimana penguasanya memperpintar diri memaling harta Negara, dan rakyatnya terperosok kembali pada budaya jahilliyah, mendewakan anarki; homo homini lupus. Memuja kebencian dengan mengatasnamakan ajaran cinta kasih sesama mahluk.

Hanya dalam satu minggu saja, dua amuk massa besar yang mengatasnamakan agama meletus, di Cikeusik Jawa Barat dan di Temanggung Jawa Tengah. Aksi barbar disertai teriakan takbir yang mengagungkan kebesaran Tuhan, dan pada saat yang sama melecehkan ajaran Tuhan yang diteriakkannya dalam aksi brutal diluar batas pri kemanusiaan. Di Cikeusik itu selain kerugian musnahnya harta benda, tiga orang akhirnya mati ditangan para kriminal yang berjamaah. Mereka mati demi keyakinan yang ada dalam kalbunya, keyakinan akan baktinya kepada Tuhan yang sama, Tuhan yang diteriakkan para pembunuhnya.
Aneh!
Ironis!
Tragis!

Kejadian di Temanggung berbeda lagi, kali ini masih dengan teriakan yang sama, masih dengan semangat ammar ma’ruf nahi munkar yang sama, masih dengan pemahaman tentang ajaran agama yang salah kaprah yang sama. Tiga gereja dan sekian banyak fasilitas umum hancur atau hangus oleh amuk para begundal yang merasa punya hak menjadi polisinya Tuhan.

Pada dua kejadian tragis itu, polisi kelihatan hanya menonton, masih mencoba melakukan pendekatan persusif pada saat massa sudah beringas dan mengancam keselamatan harta benda maupun nyawa orang. Orang disini adalah warga negara yang punya hak untuk dilindungi, dan petugas polisinya semestinya adalah alat negara yang punya kewajiban untuk melindnginya. Bukankah demikian tujuan dibentuknya negara?! Di video amatir yang kemudian muncul di Youtube, yang lalu juga disiarkan berulang ulang di tivi nasional, orang orang yang “mirip” polisi nampak terjepit kebingungan antara apa yang harus mereka lakukan dan ketakutan akan terluka atau bahkan kehilangan nyawa. Para lelaki berseragam mirip polisi itu membiarkan anarki, bahkan pembantaian terjadi diepan mata mereka. Tepat didepan mata.
Sungguh t e r l a l u.

Jika benar orang mirip polisi itu adalah polisi, sungguh penduduk negeri ini disajikan dengan tontonan kenyataan pahit betapa impoten akutnya para penegak hukum di negeri ini. Secara institusi mereka kehilangan wibawa, sedangkan secara individual, tandatanya tentang integritas tugas menempel di jidat dan di pantat mereka. Mereka yang bertugas di lapangan tak mengerti makna tanggung jawab, tetapi hanya keharusan berada di tempat itu sesuai plotingan. Persis sama dengan orang orang berseragam mirip polisi yang berderet sepanjang MT Haryono di pagi hari, yang penting tampil di trotoar, melambai lambaikan tangan mirip jablay, tak tahu persis apa esensi maupun fungsi keberadaanya disana; menonton kemacetan lalulintas di pagi hari!

"Sekedar pencitraan" demikian jika meminjam istilah yang digunakan oleh beberapa petinggi negeri yang gemar mencela presidennya.
Orang menjadi makin berani menggelapkan mata melakukan pelanggaran dan kejahatan terorganisir mengetahui aparat hukumnya tak ubahnya manequin yang tak punya kreasi. Sistem hukum dan bahkan konstitusi tak ubahnya hanya retorika pemantas sebagai syarat adanya sebuah negara. Permainan permainan kotor di elit birokrat diadopsi menjadi konflik SARA di level wong cilik cilik. Dan, ketika nama agama (otomatis nama Tuhan) dipakai sebagai motif melakukan anarkisme, maka sesungguhnya hal itu adalah kontradiksi dari hakekat ajaran agama apapun yang hanya mengajarkan kebaikan; bukan keburukan.Dan kekerasan atas nama agama merajalela. Sebagian orang pelakunya membusung dada dalam kebodohannya, sebagian orang korbanya harus menanggungkan penderitaan seumur hidupnya.

Sudah semestinya kita mengembalikan makna agama sebagai ajaran nurani untuk panutan tingkah laku akhlakul karimah, dan tidak lagi menempatkan agama sebagai sebuah logika di kepala. Sebab agama dan Tuhan letaknya ada di kalbu tiap manusia.

Serang – Sunter 110212

Sunday, February 06, 2011

I am Not Rappaport

· Nat: Hey, Rappaport! I haven't seen you in ages. How have you been?
· Midge: I'm not Rappaport.
· Nat: Rappaport, what happened to you? You used to be a short fat guy, and now you're a tall skinny guy.
· Midge: I'm not Rappaport.
· Nat: Rappaport, you used to be a young guy with a beard, and now you're an old guy with a mustache.
· Midge: I'm not Rappaport.
· Nat: Rappaport, how has this happened? You used to be a cowardly little white guy, and now you're a big imposing black guy.
· Midge: I'm not Rappaport.
· Nat: And you changed your name, too


Orang yang dipanggil Rappaport makin terheran heran karena si pemanggil keukeuh dengan keyakinannya bahwa dia adalah Rappaport, orang yang dikenalnya sejak lama dan sekarang sudah berubah sedemikian rupa. Rasanya tidak ada argumentasi apapun yang dapat dipergunakan untuk mematahkan keyakinan yang salah itu, oleh sebab keyakinannya yang sedemikian kuat hingga mengkooptasi pemikiran hingga ke pemahaman.

Cuplikan dialog itu sebenarnya inti dari semua hakekat komunikasi. Ketika semua piranti sudah dipergunakan dan semua cara sudah dilakukan dan hanya membentur pada ketidak mengertian, kehilangan korelasi antara maksud pesan dan kenyataan, maka kebingungan akan mematahkan langkah pikiran selanjutnya, bahkan menghentikan gerakan yang seharusnya dilakukan.

Sebagian orang cenderung mengandalkan waktu saja berlalu, supaya semua kejadian terkubur oleh tumpukan waktu, dengan demikian maka anggapan subyektif membenarkan bahwa tidak ada peristiwa yang membentuk kejadian hari ini, alias tidak ada hubungan kejadian sebelumnya dengan kejadian yang sekarang. Padahal, sudah menjadi rumus kehidupan bahwa keberadaan masa kini tidak lain terbentuk dari apa yang pernah terjadi sebelumnya. Tapi bagi sebagian orang memang tidak perlu merasa bersalah jika mengingkari kejadian masa lalu, apalagi jika itu kejadian yang tidak menyenangkan hati.

Langkah pikiran memang tidak berjejak, kecuali dilahirkan dalam kalimat dan disampaikan dengan maksud memberi pemahaman akan sebuah keadaan. Namun ketika keadaan yang disampaikan (yang sebenarnya adalah kenyataan berdasarkan kebijaksanaan nurani sebagai tanggung jawab usia) tidak memenuhi harapan, maka yang terjadi kemudian adalah aborsi niat, pengguguran tekad. Bahasa langit dan kalimat tinggi dipergunakan sebagai sarana untuk mengaburkan esensi, lalu menghilang meninggalkan rasa bersalah, seolah memanen gundukan sampah di muara sungai.

Terkadang kata cukup terasa tidak cukup ketika pertanyaan demi pertanyaan dibiarkan mengambang di awang awang, bagai segumpal tahi yang hanyut di bantaran kali, menunggu waktu sang lumpur menguburnya pura pura mati. Semua kepentingan diri diabaikan wahai demi laku kearifan yang terbentuk dari ketaatan terhadap rasa bersalah sebab kaki sebelah telah melanggar rambu larangan. Rasa yang nelangsa tak sepadan dengan makna mulia dibalik petuah bijak yang lahir dari mulut yang dihormat. Petuah yang tumbuh dari cermin diri, atas pengalaman bertahun tahun hidup tenteram dalam kemuliaan penuh kehormatan.

Jarak yang sengaja diciptakan tidak melahirkan darah sebab tidak ada hati yang terkoyak. Ada kalanya pertaruhan kehidupan dimenangkan oleh logika, dan mempecundangkan keinginan hati sendiri. Maka menanglah logika dengan seribu satu teori yang tak satupun membenarkan tali hati yang terlarang. Kenangan menyisakan jutaan kegundahan yang rapi tersembunyi dalam diam, menunggu hari hari baru datang membawa penghiburan sebuah pengharapan akan tempat tempat yang jauh dimana hanya ada langit dan tanah sebagai pijakan.



Bambuapus 110206