Tuesday, December 06, 2005

Balada seorang lelaki



Laki laki tua itu kini tinggal punya kenangan dan berjuta prasangka. Kakinya telanjang menjuntai diawang awang, jauh dari tanah bumi bernama kenyataan tempat dimana semestinya hidup dipijakkan. Melambung timbul tenggelam diantara bangkai kemewahan yang menobatkanya sebagai raja atas keinginan dan kesenangan hidup tanpa batas dimasa lalunya.

Dia kehilangan kebanggaanya sebagai laki laki, sebagai raja yang menciptakan tirani dengan kata katanya. Materi menjadi satu satunya nilai hidup, begitu miskin dengan penghargaan atas nilai kemanusaan bahkan tenggang rasa. Dalam kelumpuhann jiwa dan raganya, dia memberontak keadaannya sendiri yang tak boleh terjadi dan harus dia terima, yang tak menyempurnakan kesenanganya hingga ajal tiba. Dalam kealpaanya digugatnya zaman yang tak mau mengikuti kemauan individualnya. Kesulitan kehidupan sungguh menjadi monster yang menggerogoti kepribadianya, melupakan kodrat sebagai seorang manusia biasa yang menitiskan ruh dan raga kepada berpuluh puluh nyawa; anak anaknya.

Telinganya tuli, matanya buta, dan panca inderanya matirasa. Dia hanya tahu menjadi diri sendiri dan penguasa, tak peduli apa yang orang lain rasa. Hatinya gersang oleh cinta yang dimanifestasikan dalam pemenuhan hajat hidup yang sungguh kacau lagi bobrok tanpa format. Tanggung jawab adalah hal yang tak pernah dipelajari maupun dihayatinya. Seluruh penampilan fisiknya menterjemahkan status sosial yang bukan pakaianya; dia hidup di bangkai kemewahan masa mudanya, enggan kehilangan sesuatu yang bukan lagi menjadi miliknya. Dia petik hampir semua yang dikehendaki tanpa belajar menanam, menjadikan kesombongan sebagai kebanggaan, tak sadar dia telah kehilangan pengakuan.

Telah dihabiskanya seluruh energi dimasa muda untuk menghamburkan kesenangan manusiawi, tanpa menyisakan sedikitpun untuk masa tuanya. Dia menjadi manusia aneh dengan nilai manusia yang hampir nihil. Dunianya hayali bahkan tak ada Tuhan didalam sanubarinya. Diwariskanya kepada siapa saja yang bertalian darah dengannya sederet rongga kesengsaraan, berpuluh tahun terjalani dan akan bersambung berpuluh tahun lagi. Tak ada tauladan yang patut disimpan sebagai catatan sebagai seorang pelindung dan pembimbing atas nama kebijaksanaan. Patriark yang otoriter, feodal yang kolot dan sangat dangkal pemahaman tentang nurani.

Usia menunggu maut datang menjemput, dia mengharap kematian tak pernah ada. Dia hanya tinggal tahu, menindas orang orang yang mencintainya tanpa syarat, sebab hanya itu cara dia menjaga bangkai kemewahannya tetap terasa…




Jakarta, 5 Desember 2005